Tag: Benjamin Netanyahu

  • Saya Bertekad Bebaskan Warga-Lenyapkan Hamas

    Saya Bertekad Bebaskan Warga-Lenyapkan Hamas

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengecam warganya yang diculik oleh Hamas. Netanyahu bertekad akan membebaskan warganya dari penjara bawah tanah Hamas.

    Dirinya juga bertekad untuk bisa melenyapkan Hamas dan memastikan Gaza tidak menjadi ancaman bagi warga Israel.

  • Hamas Tolak Lucuti Senjata hingga Negara Palestina Terbentuk

    Hamas Tolak Lucuti Senjata hingga Negara Palestina Terbentuk

    Gaza

    Hamas telah menegaskan tidak akan setuju untuk melucuti senjata kecuali negara Palestina yang berdaulat didirikan. Hal itu merupakan tanggapan atas salah satu tuntutan utama Israel dalam perundingan gencatan senjata di Gaza.

    Dilansir BBC, Minggu (3/8/2025), kelompok bersenjata Palestina tersebut mengatakan mereka menanggapi pernyataan yang dikaitkan dengan utusan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, bahwa Hamas telah ‘menyatakan kesediaannya’ untuk meletakkan senjata.

    Israel menganggap perlucutan senjata Hamas sebagai salah satu dari beberapa syarat utama bagi kesepakatan apa pun untuk mengakhiri konflik. Negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas untuk mengamankan gencatan senjata dan pembebasan sandera terhenti pekan lalu.

    Dalam beberapa hari terakhir, pemerintah Arab telah mendesak Hamas untuk melucuti senjata dan menyerahkan kendali atas Gaza. Desakan itu muncul setelah sejumlah negara Barat, termasuk Prancis dan Kanada, mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina. Inggris mengatakan akan melakukannya jika Israel tidak memenuhi persyaratan tertentu pada bulan September.

    Hamas yang dianggap kelompok teror terlarang di AS, Inggris, dan Uni Eropa menyatakan mereka tidak dapat melepaskan haknya untuk melakukan perlawanan dan persenjataannya kecuali negara Palestina yang merdeka dan berdaulat penuh dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya didirikan.

    Letnan Jenderal Eyal Zamir dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF) memperingatkan pertempuran di Gaza tidak akan berhenti jika negosiasi pembebasan sandera yang ditawan oleh Hamas gagal. Keluarga sandera, Evyatar David, mengeluarkan pernyataan setelah Hamas merilis video yang memperlihatkan sandera itu bertelanjang dada dan kurus kering di sebuah terowongan remang-remang.

    Mereka menuduh Hamas membuatnya kelaparan sebagai bagian dari kampanye propaganda dan meminta pemerintah Israel dan Amerika Serikat untuk melakukan segala yang mungkin untuk menyelamatkannya. Witkoff telah mengunjungi Israel sementara pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan yang semakin besar atas memburuknya kondisi kemanusiaan di Gaza.

    Badan-badan PBB telah memperingatkan adanya kelaparan massal akibat ulah Israel di Gaza. Israel selama ini mengendalikan masuknya pasokan makanan ke Gaza. Israel bersikeras tidak ada pembatasan pengiriman bantuan dan tidak ada kelaparan.

    Angka terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan setidaknya 1.373 warga Palestina telah tewas saat mencari makanan sejak akhir Mei. Mayoritas korban tewas dibunuh oleh militer Israel di dekat lokasi distribusi Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung Israel dan AS.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/imk)

  • Profesor Ini Kritik Keras Negara Muslim Soal Nasib Gaza & Afghanistan

    Profesor Ini Kritik Keras Negara Muslim Soal Nasib Gaza & Afghanistan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Seorang profesor mengkritik habis-habisan para negara muslim terkait krisis di Gaza dan Afghanistan. OKI yang merupakan kumpulan dari 57 negara mayoritas muslim juga dinilai banyak retorika namun sangat kurang dalam tindakan.

    Ini diungkapkan Profesor Emeritus Studi Timur Tengah dan Asia Tengah Universitas Nasional Australia, Amin Saikal dalam tulisannya yang dimuat di The Conversation tanggal 31 Juli 2025.

    “Dalam penanganan dua krisis terbesar saat ini di dunia Muslim, kehancuran Gaza dan kekuasaan kejam Taliban di Afghanistan, negara-negara Arab dan Muslim sangat tidak efektif,” jelas Saikal, dikutip Sabtu (2/8/2025).

    “Badan utama mereka, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), kuat dalam retorika namun kurang bertindak serius dan nyata,” dia menambahkan.

    Saikal yang juga Wakil Rektor Rekan Strategis Universitas Victoria mengatakan OKI sebenarnya diharapkan bisa bertindak sebagai badan perwakilan dan konsultatif. Selain itu juga membuat keputusan dan rekomendasi soal isu utama di dunia Muslim.

    Namun yang terjadi sebaliknya. OKI dianggap tak berbuat banyak saat serangan Israel kepada Gaza dan melawan pemerintahan Taliban di Afghanistan.

    Salah satu contoh ketidakberdayaan OKI pada serangan Gaza adalah tidak dapat membujuk negara tetangga Israel, khususnya Mesir dan Yordania agar dapat membuka perbatasan untuk masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.

    Selain itu juga tidak bisa memaksa berbagai negara, yakni Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko untuk menangguhkan hubungan dengan Israel. Dengan begitu Israel bisa menyetujui solusi dua negara.

    Seruan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan pelapor khusus PBB untuk Palestina Franseca Albanese untuk menangguhkan Israel dari PBB juga tidak diadopsi oleh OKI.

    “Tidak bisa mendesak anggota Arabnya yang kaya minyak, khususnya Arab Saudi dan UEA untuk memanfaatkan sumber daya untuk mendorong Presiden AS Donald Trump menyetop pasokan senjata ke Israel dan menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengakhiri perang,” kata Saikal.

    Sementara untuk masalah Afghanistan, OKI juga dinilai tak berbuat banyak. Termasuk gagal menekan pada Taliban yang ultra-ektremis.

    Salah satunya terkait larangan Taliban untuk anak perempuan mendapatkan pendidikan. Pada Desember 2022, Sekretaris Jenderal OKI Hissein Brahim Taha pernah menyerukan penyatuan ulama Islam dan otoritas agama untuk melawan keputusan tersebut.

    Sayang seruan itu tak pernah jadi kenyataan dan dalam waktu sebulan keputusan OKI berubah drastis. Karena kelompok itu meminta komunitas internasional tidak ikut campur dalam urusan Afghanistan.

    Hingga kini tak ada negara Muslim yang mengakui pemerintahan Taliban. Namun mereka, dan juga OKI tak mengambil tindakan apapun untuk kelompok tersebut.

    “Sebagian besar anggota OKI terlibat dengan Taliban untuk tingkat politik, ekonomi, keuangan dan perdagangan,” tegasnya.

    Dalam tulisan tersebut, Saikal mengatakan beberapa alasan OKI tak efektif dalam dua krisis itu. Salah satunya negara-negara anggota belum menjadi pembangun jembatan untuk mengembangkan strategi terkait tujuan dan tindakan saat mengatasi perbedaan geopolitik dan sektarian.

    OKI juga dinilai hanya sebagai ajang diskusi. Mengingat saat ini terjadi persaingan antar negara anggota, juga dengan wilayah lain di AS dan China.

    “Sudah saatnya melihat fungsi OKI dan menentukan caranya lebih efektif dalam menyatukan umat,” tutur Saikal.

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Aksi Israel Bikin Krisis di Gaza di Luar Imajinasi

    Aksi Israel Bikin Krisis di Gaza di Luar Imajinasi

    Jakarta

    Perbuatan Israel membuat krisis di Gaza, Palestina, di luar imajinasi. Kondisi ini tidak bisa ditoleransi lagi.

    Dirangkum detikcom, Jumat (1/8/2025), hal tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman, Johann Wadephul, dalam konferensi pers di Yerusalem, pada Kamis (31/7) setelah dia melakukan pertemuan dengan para pejabat tinggi Israel dalam kunjungannya, termasuk Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dan Menlu Gideon Saar.

    Wadephul menyebut situasi kemanusiaan saat ini di Jalur Gaza, yang terus dilanda perang, sungguh di luar imajinasi. Berlin terus meningkatkan tekanan terhadap Israel untuk bertindak cepat di tengah semakin meningkatnya kritikan atas perang yang menghancurkan tersebut.

    “Bencana kemanusiaan di Gaza di luar imajinasi,” sebut Wadephul dalam pernyataannya.

    Tonton juga video “Trump: Kelaparan di Gaza Sungguh Mengerikan” di sini:

    Ditegaskan oleh Wadephul bahwa Israel harus “dengan cepat dan secara aman mengirimkan bantuan kemanusiaan dan medis yang mencukupi untuk menghindari kematian massal” akibat kelaparan di Jalur Gaza.

    Dia juga menegaskan bahwa “benar-benar tidak dapat ditoleransi” ketika “pria, wanita, dan anak-anak terbunuh setiap hari saat mati-matian mencari makanan”.

    Israel sedang berada di bawah tekanan internasional yang semakin meningkat untuk menyetujui gencatan senjata dan mengizinkan lonjakan bantuan makanan masuk ke wilayah Jalur Gaza, di mana para pakar yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan “kelaparan kini meluas”.

    Kanada, pada Rabu (30/7), menjadi negara Barat terbaru yang mengumumkan rencana untuk secara resmi mengakui negara Palestina, setelah langkah serupa dari Prancis dan Inggris.

    Jerman sendiri menunda janji untuk mengakui negara Palestina dan mempertahankan pendirian sejak lama bahwa pengakuan hanya dapat diberikan setelah negosiasi antara Israel dan Palestina.

    “Kami melihat pengakuan negara Palestina pada akhir proses negosiasi, sebuah proses yang harus segera dimulai,” sebut Wadephul dalam pernyataannya.

    Dia memperingatkan bahwa “celah” mungkin telah terbuka antara Israel dan Uni Eropa, dan menyerukan “kedua belah pihak” untuk memastikan hal ini tidak terjadi.

    “Kami membutuhkan kejelasan dari Israel bahwa tidak ada kebijakan pengusiran, tidak ada kebijakan aneksasi. Menurut penilaian saya, kita berada dalam fase yang menentukan, di mana Jerman harus mengambil sikap,” ucap Wadephul.

    Pekan lalu, mayoritas anggota parlemen Israel meloloskan mosi tidak mengikat yang mendesak pemerintah untuk menganeksasi Tepi Barat. Beberapa anggota koalisi pemerintahan sayap kanan Netanyahu bahkan secara terang-terangan menyerukan pendudukan jangka panjang atas Jalur Gaza.

    Jerman telah berulang kali menyuarakan penolakan terhadap Israel yang mencaplok Tepi Barat dan berulang kali menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza, yang dilanda perang selama 23 bulan terakhir.

    Tonton juga video “Netanyahu Nominasikan Trump Raih Nobel Perdamaian” di sini:

    Halaman 2 dari 3

    (whn/isa)

  • Proses Damai Menuju Negara Palestina Harus Segera Dimulai

    Proses Damai Menuju Negara Palestina Harus Segera Dimulai

    Jakarta

    Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul memperingatkan, Israel menghadapi risiko isolasi internasional jika kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza tidak segera membaik. Peringatan itu disampaikannya usai melakukan pembicaraan dengan para pemimpin Israel di Yerusalem.

    “Dalam banyak hal, proses perdamaian di Timur Tengah berada di persimpangan jalan, dan pada akhirnya seluruh kawasan,” ujar Wadephul, Kamis (25/7), merujuk pada perdebatan di Uni Eropa terkait wacana penjatuhan sanksi terhadap Israel, serta bertambahnya jumlah negara-negara Eropa yang siap mengakui negara Palestina.

    “Dengan adanya ancaman terbuka untuk menganeksasi Palestina dari sebagian elemen dalam pemerintahan Israel, semakin banyak negara — termasuk banyak di Eropa — kini bersiap untuk mengakui negara Palestina, bahkan tanpa didahului proses negosiasi,” kata Wadephul. “Karena itu, kawasan dan proses perdamaian Timur Tengah berada di titik kritis.”

    Pernyataan itu muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap arah kebijakan pemerintah Israel. Koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mencakup dua partai sayap kanan ekstrem yang menyerukan penaklukan penuh Gaza , dan pendirian kembali permukiman Yahudi di wilayah tersebut. Dua menteri senior Israel pada hari Kamis juga menyatakan dukungan, untuk menganeksasi Tepi Barat yang saat ini diduduki Israel.

    Teguran dari sekutu dekat

    Di Yerusalem, Wadephul bertemu dengan Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, serta Presiden Isaac Herzog.

    Terkait situasi kelaparan di Gaza, Wadephul menyatakan betapa “situasinya benar-benar tidak dapat diterima dan harus segera berubah.” Dia menekankan perlunya “perbaikan mendasar bagi warga sipil di Jalur Gaza.”

    Wadephul juga menyerukan gencatan senjata penuh, menilai jeda pertempuran harian tidak lagi memadai. “Sudah waktunya untuk mengakhiri perang ini,” tegasnya, dengan menyasar pernyataannya terutama kepada kelompok militan Palestina, Hamas.

    Menteri luar negeri Jerman yang baru menjabat pada Mei lalu itu, dijadwalkan bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah pada Jumat (1/8), guna membahas meningkatnya kekerasan oleh pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

    Sebelumnya, Wadephul mendesak Israel untuk membuka akses darat dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Penyaluran bantuan dengan menggunakan truk , betapapun juga merupakan satu-satunya cara paling efektif untuk meringankan penderitaan di Gaza yang disebutnya “tak terbayangkan.”

    “Hanya melalui jalur darat bantuan dapat mencapai warga dalam jumlah yang cukup,” ujarnya. “Karena itu saya mendesak pemerintah Israel agar mengizinkan PBB dan organisasi bantuan internasional untuk mengakses wilayah tersebut secara aman, serta mendistribusikan bantuan secara aman dan efektif.”

    Wadephul tiba di Tel Aviv pada Kamis sore sebelum melanjutkan perjalanan ke Yerusalem.

    Kematian di Gaza capai ‘tingkat yang tak terbayangkan’

    Sebelum keberangkatannya, Wadephul menekankan bahwa Israel harus “segera memperbaiki situasi bencana di Jalur Gaza secara menyeluruh dan berkelanjutan.” Menurutnya, operasi militer teranyar telah menimbulkan kematian dan penderitaan pada “tingkat yang tak terbayangkan.”

    Menurut otoritas kesehatan Gaza, jumlah korban jiwa dalam perang hampir dua tahun antara Israel dan kelompok militan Hamas telah melampaui 60.000 jiwa minggu ini. Jumlah warga sipil yang meninggal karena kelaparan dan malnutrisi terus meningkat.

    Sementara itu, foto dan video anak-anak kelaparan yang berseliweran di dunia maya mengguncang opini publik global, dan memperkuat kritik terhadap Israel terkait blokade bantuan ke wilayah Palestina.

    Wadephul menegaskan bahwa Jerman akan tetap mendukung Israel untuk memastikan Hamas membebaskan para sandera yang tersisa, termasuk warga negara Jerman.

    Milisi Islam Palestina itu, menurutnya, harus dilucuti dan tak lagi dibiarkan berkuasa di wilayah Palestina. “Hamas tidak boleh lagi menjadi ancaman bagi Israel,” ujarnya.

    Namun di saat yang sama, dia juga memperingatkan Israel, untuk tidak terus meningkatkan eskalasi konflik. “Jerman juga akan dipaksa untuk merespons langkah-langkah sepihak,” terhadap keutuhan wilayah Palestina, tandasnya.

    “Jika langkah-langkah sepihak diambil, maka Jerman pun akan terdorong untuk merespons.”

    Belum ada pengakuan negara Palestina

    Wadephul menegaskan, saat ini Jerman belum mempertimbangkan untuk mengakui negara Palestina, dan bahwa solusi dua negara yang dinegosiasikan tetap menjadi satu-satunya jalan bagi kedua pihak untuk hidup dalam damai, aman, dan bermartabat. Menurutnya, bagi Jerman, “pengakuan negara Palestina lebih mungkin dilakukan di akhir proses perdamaian. Dan proses itu harus dimulai sekarang,” tambahnya, seperti dilansir kantor berita Jerman dpa.

    Kanselir Friedrich Merz menyatakan, arah pembicaraan yang sedang berlangsung dapat memengaruhi keputusan Jerman terkait kemungkinan mendukung sanksi terhadap Israel, mitra dekatnya.

    Berbeda dengan sejumlah negara lain, Jerman sejauh ini enggan menjatuhkan sanksi terhadap sekutunya itu. Namun Merz mengatakan bahwa pemerintah Jerman tetap membuka opsi untuk mengambil langkah terkait jika perlu.

    Komisi Eropa sejauh ini telah merekomendasikan untuk menutup sebagian akses bagi Israel untuk menerima program pendanaan riset Horizon Europe. Belum jelas, apakah Jerman akan mendukung langkah tersebut.

    Tekanan politik di dalam negeri

    Sebelum keberangkatan Wadephul ke Tel Aviv, Partai Sosial Demokrat (SPD) – mitra koalisi junior dalam pemerintahan Merz – mendesak pemerintah agar menekan Israel untuk mengizinkan pengiriman bantuan ke Gaza melalui jalur darat.

    Wakil ketua fraksi parlemen SPD, Siemtje Mller, mengatakan kepada stasiun ARD, harus ada “tekanan nyata” untuk mengakhiri penderitaan di Gaza. Mller, yang turut dalam rombongan Wadephul ke kawasan tersebut, juga menegaskan kembali posisi SPD bahwa pengiriman senjata yang digunakan untuk tindakan yang melanggar hukum internasional, seperti yang terjadi di Gaza, tidak boleh lagi diizinkan.

    Franziska Brantner, ketua bersama Partai Hijau yang kini berada di kursi oposisi, juga menyatakan keinginannya agar Wadephul mendorong “dengan seluruh kekuatannya” bantuan kemanusiaan ke Gaza, pembebasan para sandera, serta dimulainya proses politik untuk mengakhiri perang.

    Brantner menyebutkan, posisi Jerman yang kuat mendukung Israel, menjadi penghambat aksi kolektif di level Eropa, sebagaimana disampaikannya dalam wawancara dengan radio Jerman.

    Editor: Agus Setiawan

    Tonton juga video “Jerman Desak Israel Beri Bantuan ke Gaza” di sini:

    (ita/ita)

  • Kamboja Nominasikan Trump untuk Raih Nobel Perdamaian

    Kamboja Nominasikan Trump untuk Raih Nobel Perdamaian

    Phnom Penh

    Pemerintah Kamboja mengumumkan pihaknya akan menominasikan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, untuk meraih Nobel Perdamaian. Pencalonan ini menyusul intervensi langsung Trump dalam menghentikan konflik perbatasan antara Kamboja dengan Thailand baru-baru ini.

    Saat ditanya via pesan teks soal rencana Kamboja menominasikan Trump, seperti dilansir Reuters, Jumat (1/8/2025), Wakil Perdana Menteri Kamboja, Sun Chanthol, menjawab: “Iya.”

    Berbicara kepada wartawan sebelumnya di Phnom Penh, Chanthol berterima kasih kepada Trump karena telah membawa perdamaian.

    Dia mengatakan bahwa Trump pantas dinominasikan untuk Nobel Perdamaian, penghargaan internasional tertinggi yang diberikan kepada individu atau organisasi yang dianggap telah melakukan yang terbaik untuk “memajukan persahabatan antarbangsa”.

    Sebelum Kamboja, Pakistan terlebih dahulu mengatakan pada Juni lalu bahwa mereka akan merekomendasikan Trump sebagai peraih Nobel Perdamaian atas jasanya dalam membantu menyelesaikan konflik dengan India.

    Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, juga mengumumkan bulan lalu bahwa dirinya telah mencalonkan Trump untuk penghargaan perdamaian itu.

    Seruan dari Trump, pekan lalu, berhasil memecah kebuntuan dalam upaya mengakhiri pertempuran terberat selama satu dekade terakhir yang berlangsung antara Thailand dan Kamboja. Konflik itu berujung dengan gencatan senjata yang dinegosiasikan dan diwujudkan dalam pertemuan kedua negara di Malaysia.

    Tonton juga video “Kamboja Tuduh Thailand Tangkap 20 Tentara Setelah Gencatan Senjata” di sini:

    Menyusul pengumuman gencatan senjata antara Bangkok dan Phnom Penh pada awal pekan ini, juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt mengatakan Trump-lah yang mewujudkan gencatan senjata itu.

    “Berikan dia Hadiah Nobel Perdamaian!” cetus Leavitt pada saat itu.

    Sedikitnya 43 orang tewas dalam bentrokan sengit di perbatasan kedua negara yang berlangsung selama lima hari, dan memaksa total lebih dari 300.000 orang mengungsi di kedua sisi perbatasan.

    “Kami mengapresiasi upaya besarnya (Trump-red) untuk perdamaian,” kata Chanthol, yang juga merupakan negosiator perdagangan utama Kamboja.

    Dalam pernyataannya, Chanthol juga mengucapkan terima kasih kepada Trump atas penurunan tarif AS sebesar 19 persen. Washington awalnya mengancam tarif sebesar 49 persen, kemudian menurunkannya menjadi 36 persen, yang mengancam sektor garmen dan alas kaki di Kamboja.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Aksi Israel Bikin Krisis di Gaza di Luar Imajinasi

    Krisis Gaza di Luar Imajinasi, Jerman Tekan Israel untuk Bertindak!

    Yerusalem

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman, Johann Wadephul, menyebut situasi kemanusiaan saat ini di Jalur Gaza, yang terus dilanda perang, sungguh “di luar imajinasi”. Berlin terus meningkatkan tekanan terhadap Israel untuk bertindak cepat di tengah semakin meningkatnya kritikan atas perang yang menghancurkan tersebut.

    Pernyataan Wadephul itu, seperti dilansir AFP, Jumat (1/8/2025), disampaikan dalam konferensi pers di Yerusalem, pada Kamis (31/7), setelah dia melakukan pertemuan dengan para pejabat tinggi Israel dalam kunjungannya, termasuk Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dan Menlu Gideon Saar.

    “Bencana kemanusiaan di Gaza di luar imajinasi,” sebut Wadephul dalam pernyataannya.

    Ditegaskan oleh Wadephul bahwa Israel harus “dengan cepat dan secara aman mengirimkan bantuan kemanusiaan dan medis yang mencukupi untuk menghindari kematian massal” akibat kelaparan di Jalur Gaza.

    Dia juga menegaskan bahwa “benar-benar tidak dapat ditoleransi” ketika “pria, wanita, dan anak-anak terbunuh setiap hari saat mati-matian mencari makanan”.

    Israel sedang berada di bawah tekanan internasional yang semakin meningkat untuk menyetujui gencatan senjata dan mengizinkan lonjakan bantuan makanan masuk ke wilayah Jalur Gaza, di mana para pakar yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan “kelaparan kini meluas”.

    Kanada, pada Rabu (30/7), menjadi negara Barat terbaru yang mengumumkan rencana untuk secara resmi mengakui negara Palestina, setelah langkah serupa dari Prancis dan Inggris.

    Jerman sendiri menunda janji untuk mengakui negara Palestina dan mempertahankan pendirian sejak lama bahwa pengakuan hanya dapat diberikan setelah negosiasi antara Israel dan Palestina.

    “Kami melihat pengakuan negara Palestina pada akhir proses negosiasi, sebuah proses yang harus segera dimulai,” sebut Wadephul dalam pernyataannya.

    Dia memperingatkan bahwa “celah” mungkin telah terbuka antara Israel dan Uni Eropa, dan menyerukan “kedua belah pihak” untuk memastikan hal ini tidak terjadi.

    “Kami membutuhkan kejelasan dari Israel bahwa tidak ada kebijakan pengusiran, tidak ada kebijakan aneksasi. Menurut penilaian saya, kita berada dalam fase yang menentukan, di mana Jerman harus mengambil sikap,” ucap Wadephul.

    Pekan lalu, mayoritas anggota parlemen Israel meloloskan mosi tidak mengikat yang mendesak pemerintah untuk menganeksasi Tepi Barat. Beberapa anggota koalisi pemerintahan sayap kanan Netanyahu bahkan secara terang-terangan menyerukan pendudukan jangka panjang atas Jalur Gaza.

    Jerman telah berulang kali menyuarakan penolakan terhadap Israel yang mencaplok Tepi Barat dan berulang kali menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza, yang dilanda perang selama 23 bulan terakhir.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Utusan Trump ke Israel untuk Bahas Gencatan Senjata Gaza

    Utusan Trump ke Israel untuk Bahas Gencatan Senjata Gaza

    Jakarta

    Utusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Steve Witkoff akan tiba di Israel pada hari Kamis (31/7) waktu setempat, dalam upaya menyelamatkan perundingan gencatan senjata Gaza dan mengatasi krisis kemanusiaan di wilayah Palestina tersebut.

    Perundingan gencatan senjata tidak langsung antara Israel dan kelompok Hamas di Doha, Qatar berakhir dengan kebuntuan pekan lalu. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas kebuntuan tersebut.

    Kunjungan Witkoff dilakukan di tengah meningkatnya tekanan internasional terkait Gaza, dengan jumlah warga Palestina yang tewas dalam hampir dua tahun perang, kini telah melampaui 60.000 jiwa. Utusan khusus AS untuk Timur Tengah itu akan mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    Dilaporkan bahwa aksi-aksi protes rencananya akan digelar di Tel Aviv dan Yerusalem untuk menuntut pemerintah mengakhiri perang di Gaza.

    Netanyahu telah mengatakan ia tidak akan mengakhiri perang sampai Hamas tidak lagi menguasai wilayah tersebut dan meletakkan senjatanya. Hamas telah menolak seruan untuk melucuti senjatanya.

    Qatar dan Mesir, yang memediasi upaya gencatan senjata, mendukung deklarasi pada hari Selasa (29/7) lalu yang dipelopori oleh Prancis dan Arab Saudi, yang menguraikan langkah-langkah untuk solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina.

    Deklarasi tersebut menyatakan Hamas “harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina”.

    Deklarasi yang dikeluarkan dalam konferensi internasional di Markas PBB di New York tersebut, menandai kecaman pertama terhadap kelompok Hamas dari negara-negara Arab.

    “Dalam konteks mengakhiri perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina, dengan keterlibatan dan dukungan internasional, sejalan dengan tujuan Negara Palestina yang berdaulat dan merdeka,” demikian bunyi deklarasi tersebut.

    “Setelah gencatan senjata, sebuah komite administratif transisi harus segera dibentuk untuk beroperasi di Gaza di bawah naungan Otoritas Palestina,” bunyi deklarasi tersebut.

    “Kami mengutuk serangan yang dilakukan Hamas terhadap warga sipil pada 7 Oktober,” tambah deklarasi tersebut. “Kami juga mengutuk serangan Israel terhadap warga sipil di Gaza dan infrastruktur sipil, pengepungan, dan kelaparan, yang telah mengakibatkan bencana kemanusiaan yang dahsyat dan krisis perlindungan,” imbuh deklarasi tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Menteri Israel Bicara Kemungkinan Caplok Sebagian Gaza

    Menteri Israel Bicara Kemungkinan Caplok Sebagian Gaza

    Jakarta

    Seorang menteri Israel mengatakan bahwa negaranya bisa mengancam akan mencaplok sebagian wilayah Gaza untuk meningkatkan tekanan terhadap kelompok militan Hamas.

    Hal itu disampaikan Zeev Elkin, menteri yang menjadi anggota kabinet keamanan pimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Israel pada Rabu (30/7), sehari setelah Inggris menyatakan akan mengakui negara Palestina pada bulan September. Inggris mengatakan akan mengumumkan pengakuan negara Palestina, kecuali Israel mengambil langkah-langkah untuk meringankan penderitaan di Gaza dan mencapai gencatan senjata dalam perang dengan Hamas.

    Menuduh Hamas mencoba mengulur-ulur perundingan gencatan senjata untuk mendapatkan konsesi Israel, Elkin mengatakan kepada media publik Kan, bahwa Israel mungkin akan memberikan ultimatum kepada kelompok tersebut untuk mencapai kesepakatan sebelum memperluas aksi militernya.

    “Hal yang paling menyakitkan bagi musuh kami adalah kehilangan tanah,” katanya, dilansir Arab News, Kamis (31/7/2025).

    “Klarifikasi kepada Hamas bahwa saat mereka mempermainkan kami, mereka akan kehilangan tanah yang tidak akan pernah mereka dapatkan kembali, akan menjadi alat tekanan yang signifikan,” imbuh pejabat Israel tersebut.

    Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Selasa lalu, mengecam keputusan pemerintah Inggris untuk mengakui negara Palestina. Dia menyebut keputusan Inggris tersebut “memberikan ganjaran bagi terorisme mengerikan Hamas.”

    Israel membuat komentar serupa pekan lalu setelah Prancis juga mengumumkan akan mengakui negara Palestina pada September mendatang.

    Sementara itu, negara-negara Arab dan Muslim, termasuk Arab Saudi, Qatar, Mesir, Yordania, dan Turki, menandatangani deklarasi bersama, yang untuk pertama kalinya mengutuk serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Mereka juga menyerukan kelompok militan Palestina tersebut untuk melucuti persenjataannya, membebaskan semua sandera yang ditawan dan mengakhiri kekuasaannya di Gaza.

    Dilansir Newsweek, Kamis (31/7/2025), sebanyak 17 negara, ditambah Liga Arab yang beranggotakan 22 negara dan seluruh Uni Eropa, mendukung deklarasi yang disepakati pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang menghidupkan kembali solusi dua negara bagi Israel dan Palestina.

    “Dalam konteks mengakhiri perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina, dengan keterlibatan dan dukungan internasional, sejalan dengan tujuan Negara Palestina yang berdaulat dan merdeka,” bunyi deklarasi tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Inggris Akan Akui Negara Palestina Jika Israel Tak Hentikan Perang Gaza

    Inggris Akan Akui Negara Palestina Jika Israel Tak Hentikan Perang Gaza

    Jakarta

    Inggris akan mengakui negara Palestina pada September, kecuali Israel mengambil langkah signifikan untuk mengakhiri “kondisi yang sangat memprihatinkan” di Gaza dan memenuhi beberapa syarat lainnya, kata Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, pada Selasa (29/07).

    “Tujuan kami tetap sama: Israel yang aman, berdampingan dengan negara Palestina yang layak dan berdaulat,” ujar Starmer dalam pernyataannya dari Downing Street.

    Ia menyampaikan bahwa pemerintah Inggris sebenarnya sudah lama berniat mengakui negara Palestina “sebagai kontribusi terhadap proses perdamaian demi memberikan dampak maksimal bagi solusi dua negara,” yang menurutnya “kini sedang terancam.”

    “Sebagai bagian dari proses menuju perdamaian ini, saya mengonfirmasi bahwa Inggris akan mengakui negara Palestina di Sidang Umum PBB pada September, kecuali pemerintah Israel mengambil langkah nyata untuk mengakhiri kondisi yang memprihatinkan di Gaza,” tegas Starmer.

    Starmer: Krisis kemanusiaan ini butuh solusi jangka panjang

    Starmer juga menyerukan agar Israel “menyetujui gencatan senjata dan berkomitmen pada perdamaian jangka panjang dan berkelanjutan, serta menghidupkan kembali prospek solusi dua negara.”

    Ini termasuk “mengizinkan PBB untuk kembali menyalurkan bantuan kemanusiaan, dan menegaskan bahwa tidak akan ada aneksasi di Tepi Barat,” lanjutnya.

    Ia juga kembali menegaskan sikap pemerintahannya terhadap Hamas, kelompok militan Palestina yang didukung Iran dan menguasai Jalur Gaza.

    Di tengah kekhawatiran besar akan kelaparan massal di Gaza, Starmer menyerukan agar lebih banyak bantuan dapat menjangkau rakyat Palestina di wilayah tersebut.

    “Kita perlu memastikan sedikitnya 500 truk masuk ke Gaza setiap hari. Namun, pada akhirnya satu-satunya cara untuk mengakhiri krisis kemanusiaan ini adalah melalui penyelesaian jangka panjang,” jelasnya.

    PM Inggris ini juga menyatakan dukungannya terhadap upaya mediasi yang dilakukan oleh AS, Mesir, dan Qatar untuk mencapai “gencatan senjata yang sangat penting.”

    “Gencatan senjata itu harus berkelanjutan dan mengarah pada rencana perdamaian yang lebih luas, yang sedang kami kembangkan bersama mitra-mitra internasional kami,” tambahnya.

    Sama seperti AS, Uni Eropa dan Israel, Inggris telah menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris. Jika Hamas nantinya tetap terlibat dalam pemerintahan, hal ini dapat mempersulit upaya pengakuan kenegaraan Palestina.

    Israel: Inggris telah ‘memberi hadiah’ pada Hamas

    Pernyataan Starmer ini muncul setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengatakan akan secara resmi mengakui negara Palestina pada September.

    Tekanan internasional terhadap Israel terus meningkat selama beberapa minggu terakhir, mulai dari desakan untuk mengakhiri kampanye militer hingga mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan. Desakan ini juga diiringi dengan peringatan dari kelompok bantuan serta PBB mengenai ancaman kelaparan di Jalur Gaza.

    Sejauh ini, Israel justru meremehkan atau bahkan menolak klaim tentang kelaparan massal tersebut.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa pernyataan Starmer “memberi hadiah pada terorisme keji Hamas dan menghukum para korbannya”

    “Negara jihadis di perbatasan Israel HARI INI akan mengancam Inggris BESOK,” tulis Netanyahu dalam unggahan di platform X.

    Kementerian Luar Negeri Israel juga menolak pernyataan Starmer tersebut dengan mengatakan bahwa Inggris “menyusul langkah Prancis dan tekanan politik dalam negeri, merupakan hadiah bagi Hamas dan merusak upaya untuk mencapai gencatan senjata di Gaza serta kerangka kerja pembebasan para sandera.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani

    Editor: Tezar Aditya dan Prita Kusumaputri

    (ita/ita)