Tag: Benjamin Netanyahu

  • Jerman Bimbang untuk Mengakui Negara Palestina

    Jerman Bimbang untuk Mengakui Negara Palestina

    Berlin

    Akhir pekan lalu, muncul video-video dari Hamas dan kaum jihadis yang memperlihatkan sandera-sandera yang tampak kelaparan di Jalur Gaza. Kelompok-kelompok militan Islamis dan para simpatisannya menculik para sandera dalam serangan berdarah ke Israel pada 7 Oktober 2023. Dalang dari serangan tersebut adalah Hamas, yang oleh AS, Uni Eropa, Jerman, dan beberapa negara lain diklasifikasikan sebagai organisasi teroris.

    Kini diberitakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemungkinan ingin menduduki seluruh Jalur Gaza. Perdana Menteri yang kontroversial itu mengklaim bahwa ia akan melakukan segalanya untuk membebaskan sandera-sandera. Sementara itu, kelaparan dan kematian di kalangan warga sipil Palestina di Gaza terus berlanjut.

    Kanselir Jerman Friedrich Merz menyatakan keterkejutannya atas gambar-gambar tersebut. “Hamas menyiksa para sandera, meneror Israel, dan menggunakan penduduknya sendiri di Jalur Gaza sebagai tameng manusia,” ujar Merz kepada surat kabar Bild.

    Presiden Prancis Emmanuel Macron menulis di platform X bahwa Hamas telah menunjukkan “ketidakmanusiawian yang tak berbatas.” Ia menegaskan bahwa pembebasan segera seluruh sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza merupakan “prioritas mutlak” bagi pemerintahannya.

    Merz juga menekankan kepada media Bild bahwa Hamas “tidak boleh memainkan peran apa pun di masa depan Gaza.” Macron menyuarakan hal serupa.

    Prancis dan Jerman tidak sepakat soal pengakuan Palestina sebagai negara

    Namun dalam hal pengakuan Palestina sebagai sebuah negara, Prancis dan Jerman saling bertolak belakang.

    Macron baru-baru ini mengumumkan bahwa ia berniat mengakui Palestina sebagai negara dalam Sidang Umum PBB bulan September mendatang. Israel segera mengutuk langkah tersebut setelah diumumkan oleh Prancis. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengkritik, bahwa ini sama saja dengan “memberi penghargaan pada terorisme.”

    Sebaliknya, pemerintah Jerman untuk saat ini tidak merencanakan langkah tersebut, dan menganggap pengakuan negara Palestina hanya masuk akal apabila sebagai hasil dari proses negosiasi.

    Apakah Palestina sudah menjadi sebuah negara?

    Ada tiga kriteria utama yang harus dipenuhi agar suatu wilayah dapat disebut sebagai negara, jelas pakar hukum internasional Aaron Dumont dari Institut Hukum Perlindungan Perdamaian dan Hukum Kemanusiaan Universitas Bochum dalam wawancara dengan DW.

    Kriteria tersebut adalah:

    Wilayah negara yang jelasPenduduk negaraPemerintahan yang menjalankan kekuasaan negara.

    “Dua dari tiga kriteria dasar tersebut sudah pasti terpenuhi. Yang sulit adalah soal kekuasaan negara. Bisa dikatakan bahwa hal itu belum dimiliki oleh Palestina. Karena itu, negara tersebut belum benar-benar ada.”

    Di kalangan pakar hukum internasional sendiri, definisi pengakuan negara masih diperdebatkan — dan dengan demikian juga pertanyaan apakah Palestina sudah menjadi sebuah negara.

    Pakar Timur Tengah, Muriel Asseburg dari Lembaga Ilmu dan Politik, mengatakan dalam wawancara dengan DW bahwa pengakuan Palestina oleh negara-negara lain tidak akan langsung berdampak pada kehidupan nyata warga di wilayah tersebut. Beberapa negara saat ini pun sudah memiliki hubungan diplomatik langsung dengan Palestina, yang diwakili oleh Otoritas Palestina.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Otoritas Palestina mengelola Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Pemimpin Palestina Mahmoud Abbas sejak 2013 menyatakan akan berhenti menggunakan istilah “Otoritas Palestina” dan mulai menyebutnya sebagai “Negara Palestina”. Namun, pemimpin berusia 89 tahun ini sendiri tidak populer di kalangan rakyatnya. Pemilu terakhir berlangsung hampir dua dekade lalu. Pemerintah Fatah yang dipimpinnya mengakui eksistensi negara Israel.

    Di Jalur Gaza, Hamas memegang kendali dan menciptakan rasa ketakutan serta teror, serta tidak mengakui negara Israel. Bagi sebagian besar negara yang telah mengakui Palestina sebagai negara, Hamas dianggap sebagai mitra negosiasi yang sama sekali tidak bisa diterima.

    Pengakuan negara juga menjadi rumit karena batas-batas antara Israel dan wilayah Palestina belum jelas, begitu pula status Yerusalem Timur. Israel secara de facto menguasai sebagian besar wilayah yang sebenarnya berada di bawah kendali Otoritas Palestina. Mahkamah Internasional dalam opini terakhirnya menyatakan bahwa pendudukan wilayah Palestina — Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza — adalah ilegal.

    Pakar politik Asseburg menjelaskan dalam wawancara dengan DW: “Pengakuan negara Palestina akan memberikan sinyal bahwa: Kita tidak hanya sekadar menuntut solusi dua negara secara abstrak, tetapi kita ingin berkontribusi agar negara Palestina benar-benar ada berdampingan dengan Israel. Untuk itu, harus ada langkah konkret untuk mengakhiri pendudukan Israel.”

    149 dari 193 negara anggota PBB sudah mengakui Palestina

    Saat ini, 149 dari total 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara yang berdaulat. Pakar hukum internasional Dumont menegaskan: “Tidak bisa dikatakan bahwa kalau sejumlah negara mengakui Palestina, maka otomatis menjadi sebuah negara.”

    Namun, keanggotaan penuh Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York masih dianggap tidak mungkin untuk saat ini. Pakar Timur Tengah Asseburg menjelaskan lebih lanjut:

    “Keanggotaan penuh Palestina di PBB tidak akan terjadi dalam waktu dekat, karena hal itu membutuhkan keputusan dari Dewan Keamanan PBB. Dan untuk itu dibutuhkan persetujuan Amerika Serikat — yang saat ini tampaknya tidak akan diberikan.”

    Sejak 2012, Palestina memiliki status pengamat di Sidang Umum PBB, jelas Asseburg. “Sejak memperoleh status pengamat, Palestina dapat bergabung dengan berbagai organisasi internasional lainnya — termasuk Mahkamah Pidana Internasional.”

    Status pengamat ini dianggap sebagai langkah awal menuju keanggotaan penuh di PBB.

    Komitmen Jerman terhadap Israel

    Tekanan terhadap pemerintah Jerman meningkat agar bersikap lebih kritis terhadap Israel. Setelah laporan mengenai niat Perdana Menteri Israel Netanyahu untuk menduduki seluruh Gaza, juru bicara partai kiri yang merupakan oposisi – Die Linke, Lea Reisner, menuntut:

    “Harus ada tekanan politik, termasuk terhadap sekutu.” Ia menyebut sikap pemerintah koalisi Jerman sejauh ini sebagai “kebangkrutan total dalam kebijakan luar negeri Jerman.”

    Permintaan agar Palestina diakui sebagai negara terus bermunculan. Namun, Jerman masih jauh dari langkah tersebut. Salah satu alasan utama yang dikemukakan pemerintah Jerman adalah komitmen khusus terhadap Israel karena holokaus, yakni pembunuhan jutaan orang Yahudi selama masa rezim Nazi. Dari situ lahirlah apa yang disebut “raison d’etat” Jerman — komitmen nasional untuk menjamin keamanan Israel.

    Meskipun begitu, Kanselir Jerman Friedrich Merz telah memperkeras nada terhadap Israel. Ia menuntut gencatan senjata permanen di Gaza dan lebih banyak bantuan kemanusiaan dari Israel bagi warga di sana. Namun, di saat yang bersamaan, ia tidak ingin membuat Israel, tersinggung.

    Menurut Merz, pengakuan Palestina hanya bisa dilakukan di akhir dari proses menuju solusi dua negara antara Israel dan Palestina. Saat ini, ia tidak menganggap pengakuan itu sebagai “langkah yang tepat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Jerman Desak Israel Beri Bantuan ke Gaza” di sini:

    (nvc/nvc)

  • Israel Perintahkan Militer Laksanakan Keputusan Pemerintah Soal Gaza

    Israel Perintahkan Militer Laksanakan Keputusan Pemerintah Soal Gaza

    Tel Aviv

    Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, menegaskan bahwa militer harus melaksanakan apa pun keputusan pemerintah terkait Jalur Gaza. Penegasan ini disampaikan Katz setelah mencuat laporan perselisihan internal mengenai prospek pendudukan sepenuhnya atas daerah kantong Palestina tersebut.

    Saat perang Gaza mendekati bulan ke-23, seperti dilansir AFP, Kamis (7/8/2025), tanda-tanda keretakan dalam strategi Israel telah muncul dengan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu bersiap mengumumkan rencana baru. Sejauh ini belum ada keputusan yang diumumkan secara resmi oleh Netanyahu.

    Netanyahu, menurut laporan media lokal Israel, diperkirakan akan kembali menggelar rapat kabinet keamanannya pada Kamis (7/8) waktu setempat untuk menyelesaikan keputusan mengenai perluasan serangan di Jalur Gaza.

    Dia mengatakan bahwa Israel harus “menuntaskan” kekalahan kelompok Hamas untuk mengamankan pembebasan para sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang tanpa henti.

    Media lokal Israel, yang mengutip para pejabat setempat yang berbicara secara anonim, telah memperkirakan peningkatan operasi militer, termasuk di area-area padat penduduk yang menjadi tempat para sandera ditahan, seperti Gaza City dan kamp-kamp pengungsi.

    Pada Rabu (6/8), militer Israel merilis seruan evakuasi terbaru untuk sebagian Gaza City di bagian utara dan di Khan Younis di bagian selatan, dengan seorang juru bicara militer Tel Aviv mengatakan pasukan darat sedang bersiap untuk “memperluas cakupan operasi tempur”.

    Laporan sejumlah media lokal Israel sebelumnya menyebut Netanyahu dan kabinetnya mungkin memerintahkan pendudukan militer sepenuhnya terhadap Jalur Gaza, yang diduga memicu perselisihan dengan panglima militer Israel atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir.

    Tonton juga video “Momen Seorang Anak di Gaza Lari Menghindari Tembakan Israel” di sini:

    Dalam rapat membahas opsi kelanjutan perang Gaza pada Selasa (5/8), menurut laporan televisi Kan, Zamir memperingatkan bahwa pendudukan sepenuhnya atas Jalur Gaza akan seperti “masuk ke dalam jebakan”.

    Laporan televisi Israel lainnya, Channel 12, menyebut bahwa Zamir menyarankan alternatif untuk pendudukan penuh, seperti mengepung wilayah-wilayah tertentu yang diyakini menjadi tempat persembunyian Hamas dan melancarkan serangan.

    Merespons pemberitaan yang muncul, Katz dalam pernyataan via media sosial X mengatakan bahwa meskipun “merupakan hak dan kewajiban kepala staf untuk menyatakan posisinya dalam forum-forum yang tepat, namun militer terikat oleh setiap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

    “Setelah keputusan diambil oleh eselon politik, IDF akan melaksanakannya dengan tekad dan profesionalisme,” tegas Katz.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Israel Mau Caplok Gaza, Komisi I DPR: Perburuk Derita Rakyat Palestina

    Israel Mau Caplok Gaza, Komisi I DPR: Perburuk Derita Rakyat Palestina

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono mengaku khawatir terhadap rencana Israel dalam menguasai seluruh jalur Gaza. Dave meyakini langkah Israel itu hanya akan memperburuk penderitaan rakyat Palestina.

    “Komisi I DPR RI memandang bahwa langkah tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa dan resolusi-resolusi PBB, tetapi juga mengancam stabilitas kawasan dan memperburuk penderitaan rakyat Palestina,” kata Dave saat dihubungi, Kamis (7/8/2025).

    Dave mengatakan pemerintah Indonesia harus bersuara lantang dalam menolak rencana Israel tersebut. Menurutnya, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bisa kembali aktif menggunakan jalur diplomasi untuk mengajak komunitas internasional menentang dan menggagalkan niat Israel menguasai Gaza.

    “Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, perlu memperkuat diplomasi aktif di berbagai forum internasional, termasuk PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), untuk mendorong gencatan senjata permanen dan penyelesaian damai yang adil,” ujar Dave.

    Selain upaya diplomasi, Dave mengatakan pemerintah Indonesia juga harus tetap memperhatikan kondisi warga Gaza yang saat ini dilanda kelaparan. Pengiriman bantuan dan obat-obatan harus tetap dilakukan.

    AS Tak Cegah Israel Caplok Gaza

    Israel telah menggunakan perintah pemindahan paksa untuk memaksa warga Palestina masuk ke kantong-kantong yang semakin mengecil di Gaza, mengubah 86 persen wilayah tersebut menjadi zona militerisasi.

    Ketika ditanya tentang laporan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memutuskan untuk menduduki seluruh wilayah Palestina tersebut, Trump mengatakan ia hanya fokus untuk “memberi makan orang-orang” di Gaza.

    “Selebihnya, saya benar-benar tidak bisa mengatakannya. Itu akan sangat tergantung pada Israel,” kata Trump kepada para wartawan pada Selasa (5/8) waktu setempat, dilansir Al-Jazeera, Rabu (6/8).

    (ygs/jbr)

  • PBNU Kecam Israel Ingin Caplok Seluruh Gaza: Langgar Hukum Internasional!

    PBNU Kecam Israel Ingin Caplok Seluruh Gaza: Langgar Hukum Internasional!

    Jakarta

    Israel telah mengambil ancang-ancang untuk menguasai seluruh wilayah jalur Gaza, Palestina. Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur mengecam langkah tersebut dan menyebutnya sebagai rencana jahat.

    “Rencana jahat itu jelas akan merusak semua upaya regional dan internasional yang bertujuan untuk mencapai perdamaian yang adil dan menyeluruh bagi rakyat Palestina,” kata Gus Fahrur saat dihubungi, Kamis (7/8/2025).

    Gus Fahrur menegaskan PBNU menolak sikap Israel yang berniat menguasai jalur Gaza. Dia menyebut tindakan itu telah melanggar hukum internasional.

    “Kita jelas menolak dan itu tidak boleh dilakukan karena melanggar hukum internasional. Penerapan rencana semacam itu oleh Israel hanya akan menimbulkan eskalasi dan destabilisasi lebih lanjut di Palestina,” jelas Gus Fahrur.

    PBNU mendesak komunitas internasional bersatu menolak rencana jahat Israel tersebut. Dewan Keamanan PBB, kata Gus Fahrur, harus berani mengambil peran dalam mencegah Israel menguasai Gaza.

    “Kita menyerukan komunitas internasional, Dewan Keamanan PBB, organisasi HAM dan semua masyarakat dunia untuk menolak tegas dan mengambil sikap serius menghentikan kekejian Israel dan memberikan perlindungan internasional bagi rakyat Palestina serta mengizinkan akses masuk tanpa syarat bagi bantuan kemanusiaan,” ujarnya.

    Rencana Israel Caplok Gaza

    Israel telah menggunakan perintah pemindahan paksa warga Palestina masuk ke kantong-kantong yang semakin mengecil di Gaza, mengubah 86 persen wilayah tersebut menjadi zona militerisasi.

    Namun, peningkatan operasi militer di sisa wilayah tersebut akan semakin membahayakan nyawa warga Palestina, yang sudah menanggung gempuran harian dan kelaparan.

    Rencana Netanyahu untuk menaklukkan Gaza juga menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan warga Israel yang masih disandera kelompok Hamas dan kelompok Palestina lainnya.

    Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Miroslav Jenca mengatakan bahwa pendudukan penuh atas Gaza akan “berisiko menimbulkan konsekuensi parah”.

    “Hukum internasional jelas dalam hal ini. Gaza adalah dan harus tetap menjadi bagian integral dari negara Palestina di masa depan,” ujar Jenca kepada Dewan Keamanan PBB.

    Pada Rabu (6/8), Netanyahu menggelar pertemuan dengan para pejabat keamanan senior Israel untuk menyelesaikan strategi baru perang. Dilansir Reuters, Rabu (6/8/2025), kantor Netanyahu menyatakan bahwa Netanyahu telah mengadakan ‘diskusi terbatas’ dengan para pejabat keamanan. Diskusi itu berlangsung sekitar tiga jam, di mana Kepala Staf Militer Eyal Zamir “mempresentasikan opsi untuk melanjutkan operasi di Gaza”.

    Seorang pejabat Israel sebelumnya mengatakan kepada Reuters bahwa Menteri Pertahanan Israel Katz dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, orang kepercayaan Netanyahu, juga menghadiri pertemuan tersebut untuk memutuskan strategi yang akan dibawa ke kabinet minggu ini.

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga telah mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menghalangi kemungkinan rencana Israel untuk mengambil alih seluruh wilayah Jalur Gaza.

    Ketika ditanya tentang laporan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memutuskan untuk menduduki seluruh wilayah Palestina tersebut, Trump mengatakan ia hanya fokus untuk “memberi makan orang-orang” di Gaza.

    “Selebihnya, saya benar-benar tidak bisa mengatakannya. Itu akan sangat tergantung pada Israel,” kata Trump kepada para wartawan pada Selasa (5/8) waktu setempat, dilansir Al-Jazeera, Rabu (6/8).

    Halaman 2 dari 2

    (ygs/dhn)

  • Wanti-wanti PBB soal Rencana Israel Caplok Gaza

    Wanti-wanti PBB soal Rencana Israel Caplok Gaza

    Jakarta

    Israel berencana mengambil Gaza, Palestina. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan keras Israel atas rencana itu.

    Dirangkum detikcom, Rabu (6/8/2025), PBB memperingatkan perluasan operasi militer Israel di Jalur Gaza akan berisiko memicu konsekuensi bencana. Pernyataan itu dilontarkan saat Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dilaporkan mempertimbangkan untuk melakukan pendudukan total atas daerah kantong Palestina tersebut.

    Peringatan itu, seperti dilansir AFP, disampaikan oleh Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Eropa, Asia Tengah, dan Amerika, Miroslav Jenca, saat berbicara di hadapan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB dalam rapat membahas para sandera yang ditahan di Jalur Gaza.

    Jenca mengatakan bahwa perluasan perang “akan berisiko menimbulkan konsekuensi bencana bagi jutaan warga Palestina dan dapat semakin membahayakan nyawa para sandera yang tersisa di Gaza”.

    “Tidak ada solusi militer untuk konflik di Gaza atau konflik Israel-Palestina yang lebih luas,” tegas Jenca dalam rapat terbaru Dewan Keamanan PBB yang digelar pada Selasa (5/8) waktu setempat.

    Tonton juga video “Respons Trump Saat Ditanya soal Rencana Israel Caplok Gaza” di sini:

    Dalam kunjungan ke fasilitas pelatihan militer Israel pada Selasa (5/8), Netanyahu mengatakan bahwa: “Penting untuk menuntaskan kekalahan musuh di Gaza, untuk membebaskan semua sandera kita, dan untuk memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel.”

    Dalam perang yang berkecamuk selama 22 bulan terakhir, pasukan Israel telah menghancurkan sebagian besar wilayah Jalur Gaza, dengan peringatan berulang kali soal kelaparan massal telah meningkatkan tekanan terhadap pemerintahan Netanyahu untuk menghentikan pertempuran melawan Hamas.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel, Gideon Saar, saat berbicara menjelang rapat Dewan Keamanan PBB mengatakan bahwa dirinya datang ke markas besar PBB untuk “menempatkan isu sandera di garis depan dan pusat perhatian dunia”.

    “Saya datang untuk menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat para sandera kami,” ucapnya.

    Sementara Jenca, dalam rapat Dewan Keamanan PBB, menyerukan agar “semua sandera yang ditahan di Gaza segera dibebaskan tanpa syarat”. Namun dia juga menyoroti minimnya bantuan kemanusiaan yang saat ini masuk ke Jalur Gaza.

    “Israel terus membatasi bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza, dan bantuan yang diizinkan masuk sangat tidak memadai,” ujarnya.

    “Kelaparan terjadi di mana-mana di Gaza, terlihat dari wajah anak-anak dan keputusasaan orang tua yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendapatkan pasokan paling dasar,” imbuh Jenca.

    Halaman 2 dari 3

    (whn/azh)

  • Geram, Eks PM Israel Bilang Netanyahu Jadikan Israel ‘Negara Kusta’

    Geram, Eks PM Israel Bilang Netanyahu Jadikan Israel ‘Negara Kusta’

    Tel Aviv

    Mantan Perdana Menteri (PM) Israel, Naftali Bennett, melontarkan kritikan terhadap PM Benjamin Netanyahu dan pemerintahannya. Bennett menyebut Netanyahu telah mengubah Israel menjadi “negara kusta” dan menyebut status Tel Aviv di Amerika Serikat (AS), sekutu terdekatnya, “tidak pernah seburuk ini”.

    Kecaman Bennett yang menjabat PM Israel untuk periode singkat tahun 2021-2022 itu, seperti dilansir The Times of Israel dan Middle East Eye, Rabu (6/8/2025), disampaikan setelah dia melakukan rangkaian kunjungan selama 10 hari ke AS, termasuk ke New York dan Washington DC.

    “Status Israel tidak pernah seburuk ini. Israel semakin dan semakin ditetapkan sebagai negara kusta di sini,” tulis Bennett dalam pernyataan panjang yang diposting ke akun media sosial X miliknya.

    Istilah “negara kusta” yang disebut Bennett itu diduga merujuk pada perumpamaan untuk negara yang terisolasi dari negara-negara lainnya.

    Dalam pernyataannya, Bennett berpendapat bahwa Israel telah kehilangan dukungan dari Partai Demokrat dan bahkan Partai Republik yang menaungi Presiden Donald Trump, yang selama bertahun-tahun merupakan pendukung kuat Tel Aviv di AS.

    “Meskipun beberapa anggota pemerintahan Trump yang masih bersimpati dengan Israel, terutama berkat Presiden Trump sendiri, banyak orang di sayap kanan di AS, termasuk gerakan MAGA (Make America Great Again), menjauhkan diri dari Israel,” sebutnya.

    “Bahkan mereka yang merupakan teman-teman kita pun kesulitan membela Israel,” kata Bennett dalam pernyataannya.

    “Kampanye ‘kelaparan’ di Gaza telah berkembang menjadi proporsi yang sangat besar, dan faktanya, bagi sebagian besar publik Amerika dan berbagai influencer, hal ini hampir menjadi kenyataan — Israel lebih dipandang sebagai beban bagi AS dan rakyat Amerika,” ujarnya.

    Bennett menyoroti soal peningkatan antisemitisme di AS yang membuat banyak orang menyalahkan orang Yahudi untuk masalah-masalah yang dihadapi AS.

    Dalam pernyataannya, Bennett menuduh pemerintahan Israel di bawah Netanyahu telah menimbulkan “kerusakan yang mengerikan” dan “masih belum memahami betapa besarnya bencana ini”.

    Dia juga menyalahkan para menteri radikal dalam kabinet Netanyahu, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang disebutnya “terus mengoceh dan memicu kerusakan yang tak terbayangkan dengan kutipan-kutipan yang menghancurkan”.

    “Apakah Anda benar-benar berpikir bahwa apa yang Anda katakan dalam wawancara di Israel tidak terdengar di luar negeri?!” tanya Bennett dalam pernyataannya.

    “Jika propaganda Netanyahu berhasil melawan musuh-musuh eksternal Israel bahkan hanya dengan sepersepuluh dari bakat, kecepatan, dan dedikasi yang mereka gunakan dalam mengoperasikan mesin propaganda melawan lawan-lawan politik mereka di dalam Israel, situasi kita akan luar biasa,” imbuhnya.

    Tonton juga video “Bisa-bisanya Netanyahu Bilang Tak Ada Kelaparan di Gaza” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Bantuan via Udara Tak Cukup Atasi Krisis Kemanusiaan di Gaza

    Bantuan via Udara Tak Cukup Atasi Krisis Kemanusiaan di Gaza

    Jakarta

    Merespon krisis kelaparan yang semakin parah di Gaza, Israel mengizinkan beberapa negara menyalurkan paket bantuan melalui udara ke wilayah tersebut. Pada Senin(4/8), pesawat dari Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Jerman, Belgia, dan Kanada menjatuhkan 120 paket bantuan, kata Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

    Sehari setelahnya, Israel mengatakan akan membuka kembali jalur masuk barang-barang dagang ke Gaza melalui pedagang lokal untuk mengurangi ketergantungan Gaza pada bantuan kemanusiaan.

    Namun, warga Palestina dan organisasi kemanusiaan menyebut bantuan tersebut tidak mencukupi dan terdistribusi dengan buruk.

    “Bantuan yang dijatuhkan lewat udara tidak sampai ke siapa pun kecuali mereka yang bisa bertarung untuk mendapatkannya,” kata Diaa al-Asaad, seorang ayah berusia 50 tahun yang mengungsi dengan enam anak di Kota Gaza, yang berbicara dengan DW melalui telepon. Jurnalis asing dilarang masuk ke Gaza.

    Beberapa zona khusus penjatuhan bantuan, sulit diakses, jelas al-Asaad, karena terletak di dekat atau di dalam area militer yang dikendalikan Israel, yang dikenal sebagai “zona merah.”

    “Kami membutuhkan bantuan yang didistribusikan secara adil kepada seluruh warga, bukan seperti ini,” katanya.

    Majed Ziad, seorang warga kamp pengungsi Nuseirat di Gaza, mengungkap hal serupa, “Solusinya bukan dengan melemparkan makanan kepada kami. Orang-orang membutuhkan akses normal dan manusiawi [ke makanan], bukan seperti hewan yang mengejar mangsa di hutan.”

    ‘Skenario terburuk sedang terjadi’

    Klasifikasi Global Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) yang didukung PBB memperingatkan bahwa “skenario terburuk kelaparan sedang terjadi,” sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat peningkatan tajam angka kematian akibat malnutrisi di kalangan anak-anak bulan lalu.

    Israel, yang mengendalikan perbatasan Gaza telah menghentikan masuknya pasokan bantuan makanan sejak awal Maret untuk menekan Hamas, organisasi yang disebut teroris oleh banyak negara. Sejak saat itu penyaluran bantuan didistribusikan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung AS. Ratusan orang tewas di dekat lokasi distribusi tersebut, diduga akibat tembakan Israel.

    Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berulang kali menyalahkan Hamas yang telah menjarah bantuan tersebut dan menuduh bahwa Israel menyebabkan krisis kelaparan di Gaza.

    “Mereka berbohong tentang kami. Mereka mengatakan bahwa kami sengaja membuat anak-anak Palestina kelaparan. Itu adalah kebohongan yang terang-terangan. Sejak awal perang, kami telah membiarkan masuk hampir 2 juta ton makanan,” katanya dalam video yang diunggah di X.

    Sejak perang dimulai pada Oktober 2023, otoritas kesehatan lokal yang dikelola Hamas telah melaporkan lebih dari 60.000 kematian, dengan banyak korban lainnya diperkirakan terjebak di bawah reruntuhan. Otoritas lokal tidak dapat membedakan antara militan Hamas atau warga sipil, sebagian besar korban dilaporkan adalah perempuan dan anak-anak.

    Kontroversi jembatan udara

    Pada Senin(4/8), seorang perawat di Gaza dilaporkan tewas tertimpa paket bantuan yang dijatuhkan lewat udara.

    Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menulis di X bahwa penyaluran bantuan lewat jembatan udara mahal dan kurang efektif dibandingkan pengiriman lewat jalur darat.

    “Jembatan udara setidaknya 100 kali lebih mahal daripada truk. Truk dapat mengangkut dua kali lipat bantuan dibandingkan pesawat,” tulisnya.

    Dalam kunjungan terbaru ke Israel, Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, mengakui keterbatasan penyaluran bantuan tersebut, menyerukan Israel untuk membuka jalur darat guna pengiriman bantuan yang efektif.

    “Rute darat sangat penting,” katanya. “Di sini, pemerintah Israel memiliki kewajiban untuk segera mengizinkan bantuan kemanusiaan dan medis yang cukup untuk melewati dengan aman, sehingga kematian massal akibat kelaparan dapat dicegah.”

    Dia mengakui bahwa lebih banyak truk bantuan masuk ke Gaza, tetapi menambahkan “masih belum cukup,” dan menyerukan “perubahan mendasar” dalam kebijakan Israel.

    Jeda militer belum sepenuhnya berhasil sampaikan bantuan

    Militer Israel mengumumkan jeda militer dan membuka koridor kemanusiaan untuk konvoi bantuan di tiga wilayah Gaza pekan lalu. Namun, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan bahwa bantuan yang masuk ke Gaza “masih belum memadai”, konvoi bantuan menghadapi bahaya dan tertunda. Misalnya, pengiriman bahan bakar masuk ke lokasi memakan waktu 18 jam dengan jarak tempuh 24 kilometer.

    Banyak warga Palestina tewas di dekat lokasi distribusi GHF atau saat menunggu konvoi bantuan. Truk bantuan seringkali tidak sampai ke penerima yang dituju karena penjarahan, baik oleh warga yang putus asa maupun para pedagang gelap.

    Dalia al-Affifi, seorang ibu dua anak di Kota Gaza, mengatakan bahwa sebagian besar bantuan tidak pernah sampai ke masyarakat. Harga barang-barang pokok, seperti tepung melonjak tajam, mencapai 100-120 shekel (470-560 ribu rupiah) per kilogram, harga yang sangat tidak terjangkau bagi banyak orang.

    Al-Affifi mengatakan bahwa sebagai seorang perempuan, dia tidak akan mampu berlari lebih cepat dari pemuda-pemuda yang berusaha mendapatkan makanan dari truk bantuan, ia pun takut mengirim anggota keluarganya.

    “Adik saya ada di sini, saya tidak ingin dia pergi ke sana dan mempertaruhkan nyawanya.”

    Diaa al-Asaad juga kesulitan memberi makan anak-anaknya. Pekan lalu, dia berjalan beberapa kilometer ke arah kawasan Zikim di utara Gaza untuk menunggu truk bantuan PBB lewat. “Saya mencoba mendapatkan tepung, tapi tidak mungkin. Saya berhasil mendapatkan beberapa kaleng kacang dan kacang arab. Saya hanya butuh makanan.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Kain Kafan Langka, Gaza Menderita di Bawah Genosida” di sini:

    (ita/ita)

  • Israel Pertimbangkan Mengambil Alih Gaza Sepenuhnya

    Israel Pertimbangkan Mengambil Alih Gaza Sepenuhnya

    Anda sedang menyimak Dunia Hari Ini, rangkuman sejumlah informasi utama dari berbagai negara yang terjadi dalam 24 jam terakhir.

    Berita dari Gaza menjadi pembuka edisi hari ini, Rabu, 6 Agustus 2025.

    Israel pertimbangkan mengambil alih Gaza

    Meskipun masyarakat internasional gencar mendorong gencatan senjata untuk mengatasi kelaparan di Gaza, upaya mediasi gencatan senjata antara Israel dan kelompok Palestina, Hamas, telah gagal.

    Media Israel melaporkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu dengan pejabat keamanan senior untuk menyelesaikan strategi baru perang di Gaza, di mana ia cenderung mengambil alih Gaza sepenuhnya melalui aksi militer.

    Namun, tidak jelas apakah Netanyahu berencana menduduki wilayah tersebut dalam jangka waktu yang panjang, atau lewat operasi jangka pendek dengan tujuan membubarkan Hamas dan membebaskan sandera Israel.

    Sementara itu Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan delapan orang lagi meninggal karena kelaparan atau malnutrisi dalam 24 jam terakhir, sementara 79 orang lainnya meninggal akibat tembakan Israel dalam serangan yang ditargetkan.

    Empat tewas akibat banjir bandang di India

    Saluran berita TV lokal menayangkan banjir dan lumpur yang mengalir deras, kemudian menghantam desa di negara bagian Uttarakhand, Himalaya, India utara.

    Setidaknya empat orang tewas dan lebih dari 50 lainnya hilang, menurut pihak berwenang kemarin (05/08).

    Tim dari tentara dan pasukan tanggap bencana sudah berusaha menyelamatkan orang-orang yang terjebak di bawah puing-puing dan lumpur.

    Uttarakhand adalah daerah rawan banjir dan tanah longsor, yang oleh beberapa ahli disebut sebagai akibat perubahan iklim.

    Setidaknya 200 orang tewas pada tahun 2021, ketika banjir bandang menyapu dua proyek pembangkit listrik tenaga air di negara bagian tersebut.

    Amerika akan berlakukan uang jaminan hingga Rp250 juta untuk visa turis

    Departemen Luar Negeri AS menyiapkan rencana untuk mengenakan jaminan hingga $15.000 (sekitar Rp250 juta) untuk visa turis dan bisnis tertentu, menurut dokumen yang bisa diakses publik sebelum dirilis.

    Program percontohan 12 bulan ini akan memberikan keleluasaan kepada petugas konsuler AS untuk menerbitkan uang jaminan kepada pengunjung dari negara-negara yang diidentifikasi “memiliki tingkat overstay visa yang tinggi,” bunyi publikasi itu Selasa kemarin.

    Pemberitahuan tersebut menambahkan jaminan juga dapat diterapkan ke negara-negara “di mana informasi penyaringan dan verifikasi dianggap kurang, atau ada skema tawaran kewarganegaraan melalui jalur Investasi, dan jika [pemohon] asing tersebut memperoleh kewarganegaraan tanpa persyaratan tempat tinggal”.

    Namun, pemberitahuan tersebut tidak merinci negara-negara yang dikenakan uang jaminan ini, dan hanya menyebut “hingga negara-negara Program Percontohan dipilih, Departemen tidak dapat memperkirakan jumlah pemohon visa yang akan masuk dalam cakupan.”

    Program visa percontohan ini dijadwalkan akan dimulai pada 20 Agustus dan berlangsung selama setahun penuh.

    Kebun binatang di Denmark dikecam

    Kebun binatang di Denmark mulai dibanjiri kecaman usai mempublikasikan permohonan di media sosialnya, yang menyatakan sedang mencari hewan-hewan untuk dijadikan makanan bagi hewan buas.

    “Jika Anda memiliki hewan yang, karena berbagai alasan, harus disingkirkan, Anda dipersilakan untuk menyumbangkannya kepada kami,” bunyi unggahan tersebut, yang secara khusus mencari ayam, kelinci, marmut, dan kuda.

    “Hewan-hewan tersebut akan disembelih dengan hati-hati oleh staf yang berkualifikasi dan kemudian digunakan sebagai makanan [binatang predator di kebun binatang],” katanya.

    Kebun binatang ini telah beberapa tahun terakhir menerima sumbangan hewan, dan hanya hewan sehat yang diterima.

    Kebun binatang kemudian menonaktifkan kolom komentar pada unggahan media sosial tersebut sebagai tanggapan atas apa yang disebutnya sebagai unggahan “bernada kebencian.”

  • Video PBB Khawatir Israel Perluas Operasi di Gaza: Bencana Warga Palestina

    Video PBB Khawatir Israel Perluas Operasi di Gaza: Bencana Warga Palestina

    Perserikatan Bangsa-Bangsa khawatir dengan pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang ingin memperluas operasi militer Israel di Gaza. PBB menilai hal ini dapat menjadi bencana bagi jutaan warga Palestina.

    Asisten Sekretaris Jenderal PBB Miroslav Jenca menegaskan bahwa Gaza harus tetap menjadi bagian integral dari negara Palestina di masa depan sesuai hukum internasional.

  • Bukan Cuma Duduki Gaza, Netanyahu Dapat Izin Trump Perluas Serangan

    Bukan Cuma Duduki Gaza, Netanyahu Dapat Izin Trump Perluas Serangan

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, tidak hanya memutuskan untuk menduduki Jalur Gaza sepenuhnya, tetapi juga mendapatkan “lampu hijau” atau izin dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, untuk memperluas operasi militer di Jalur Gaza.

    Keputusan Netanyahu untuk menduduki seluruh wilayah Jalur Gaza itu merupakan pergeseran besar dalam strategi Israel di daerah kantong Palestina tersebut, sejak perang melawan Hamas berkecamuk pada Oktober 2023.

    Keputusan Netanyahu tersebut, seperti dilansir Anadolu Agency, Selasa (5/8/2025), dilaporkan oleh sejumlah media lokal Israel yang mengutip pejabat senior Tel Aviv yang dekat dengan Netanyahu. Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari kantor PM Israel mengenai hal tersebut.

    “Keputusan sudah bulat — kami akan menduduki Jalur Gaza sepenuhnya,” kata seorang pejabat senior Israel yang dekat dengan Netanyahu, seperti dikutip oleh harian Yedioth Ahronoth.

    “Akan ada operasi bahkan di wilayah-wilayah yang menjadi tempat para sandera ditahan. Jika kepala staf IDF (Angkatan Bersenjata Israel) tidak setuju, dia harus mengundurkan diri,” ucap pejabat senior Israel yang enggan disebut namanya tersebut.

    Saluran televisi lokal Israel, Channel 12, dalam laporan terpisah mengatakan bahwa keputusan Netanyahu tersebut menandakan perubahan besar dalam strategi Israel di Jalur Gaza, dengan operasi militer kini diperkirakan akan dilakukan di area-area padat penduduk, termasuk kamp-kamp pengungsi di tengah-tengah Gaza.

    Televisi publik KAN, yang mengutip para menteri Kabinet Israel yang baru-baru ini berbicara dengan Netanyahu, melaporkan bahwa sang PM Israel telah memutuskan untuk memperluas operasi militer di Jalur Gaza meskipun ada penolakan dari badan-badan keamanan Israel.

    Netanyahu, menurut laporan KAN, menggunakan frasa “pendudukan Jalur Gaza” untuk menggambarkan tujuan mengalahkan Hamas.

    Laporan Yedioth Ahronoth mengklaim bahwa Trump telah memberikan “lampu hijau” kepada Netanyahu untuk melanjutkan serangan yang diperluas di Jalur Gaza.

    Menurut laporan Yedioth Ahronoth, para pejabat senior Israel yang dekat dengan Netanyahu mengatakan bahwa: “Kami sedang menuju pendudukan penuh di Jalur Gaza”, termasuk operasi militer di wilayah-wilayah yang diyakini menjadi tempat para sandera ditahan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)