Tag: Benjamin Netanyahu

  • 5 Negara G7 Akan Akui Kedaulatan Palestina, Bisakah Ubah Situasi Gaza?

    5 Negara G7 Akan Akui Kedaulatan Palestina, Bisakah Ubah Situasi Gaza?

    Jakarta

    Lima negara yakni Prancis, Kanada, Jepang, Kerajaan Bersatu (UK), dan Australia akan mengakui kedaulatan Palestina dengan beberapa syarat pada Sidang Umum PBB pada September nanti.

    Apabila Prancis dan Kerajaan Bersatu menepati pengakuan kedaulatan ini, maka Palestina akan didukung oleh empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

    Dua negara yang sudah mengakui kedaulatan Palestina adalah Rusia dan China. Hanya tersisa Amerika Serikat yang menolak dan diketahui merupakan sekutu terkuat Israel.

    Saat ini, negara Palestina sudah diakui oleh 147 dari 193 negara anggota PBB. Indonesia termasuk di dalamnya.

    Selain lima negara yang akan mengakui kedaulatan Palestina, Selandia Baru juga tengah mempertimbangkan langkahnya untuk memberikan pengakuan sebelum Sidang Umum PBB digelar.

    Pengakuan ini akan keluar dengan “menghidupkan kembali prospek solusi dua negara” dan “melihat komitmen Israel untuk menyetujui gencatan senjata”, kata Perdana Menteri Kerajaan Bersatu (UK) Sir Keir Starmer.

    Tapi jika pengakuan ini benar-benar terwujud, apa dampaknya?

    Apa arti pengakuan kedaulatan terhadap Palestina?

    Dengan status Palestina sebagai negara yang tak bisa berdaulat secara penuh saat ini, pengakuan yang dilakukan negara-negara tersebut bersifat simbolis. Namun, simbolisme ini bernilai kuat.

    Sebab, hal itu mewakili pernyataan moral dan politik yang berpotensi mengubah sedikit situasi di lapangan.

    Menteri Luar Negeri UK, David Lammy, menyatakan Britania Raya memiliki tanggung jawab khusus untuk mendukung solusi dua negara dalam pidatonya di PBB sekitar dua pekan lalu.

    Ini merujuk pada Deklarasi Balfour 1917 yang ditandatangani Arthur Balfour ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.

    Dalam deklarasi tersebut, ada pernyataan terkait dukungan Britania Raya terhadap “pembentukan sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina”.

    Menurut Lammy, deklarasi ini juga memuat janji yang serius mengenai “tidak akan dilakukan apa pun yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina”.

    Pasukan Inggris menurunkan Bendera untuk secara resmi mengakhiri kekuasaan Inggris di Palestina pada 1948. (Bettmann via Getty Images)

    Sayangnya, para pendukung Israel berdalih Balfour tidak merujuk secara jelas pada Palestina apalagi menyebutkan hak nasional warga Palestina.

    Wilayah yang sebelumnya secara keseluruhan dikenal sebagai Palestina pernah dikuasai Britania Raya sesuai mandat Liga Bangsa-bangsa dari 1922-1948 dan dianggap sebagai urusan internasional yang belum tuntas.

    Kendati demikian, Israel didirikan pada 1948. Alih-alih terwujud solusi dua negara, sengketa berkepanjangan Palestina dan Israel terus bergejolak.

    Akibat sengketa ini, Palestina menjadi tidak memiliki batas wilayah yang disepakati secara internasional, ibu kota, bahkan tentara.

    Meski sempat terjadi perjanjian damai pada 1990-an, Israel masih melakukan pendudukan militer di Tepi Barat. Akibat ini, otoritas Palestina yang dibentuk setelah perjanjian damai tidak sepenuhnya mengendalikan wilayah atau penduduknya.

    Kini, Gaza menjadi wilayah pendudukan Israel yang terus-menerus dihancurkan.

    Seperti yang dikatakan Lammy, ‘solusi dua negara’ selalu muncul sebagai jalan keluar dari para politisi di berbagai negara jika berbicara kedaulatan Palestina.

    Solusi dua negara merujuk pada pembentukan negara Palestina, berdampingan dengan Israel, di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza, secara umum mengikuti garis batas yang ada sebelum Perang Arab-Israel 1967.

    Namun, langkah internasional untuk mewujudkan solusi dua negara telah gagal. Kolonisasi Israel atas sebagian besar Tepi Barat, yang ilegal menurut hukum internasional, telah mengubah konsep tersebut menjadi slogan yang kosong.

    Upaya untuk menciptakan negara Palestina yang sejajar pun tak membuahkan hasil, karena berbagai alasan.

    Apakah dukungan UK dan negara lain berpengaruh?

    Britania Raya pada 2025 ini berbeda dengan 1917 ketika Deklarasi Balfour ditandatangani. Kemampuannya untuk memaksa negara lain mengikuti kehendaknya cukup terbatas.

    Akan tetapi, berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini mempengaruhi keputusan yang diambil pemerintah. Selain desakan yang makin keras dari para anggota parlemen dan kabinet, beberapa hal menjadi pertimbangan dari pemerintah.

    Antara lain, pemandangan kelaparan yang semakin parah di Gaza, kemarahan yang meningkat atas kampanye militer Israel, dan pergeseran besar dalam opini warga Inggris.

    Dalam debat di parlemen Inggris pekan lalu, Lammy diserang dari segala arah dengan pertanyaan mengapa UK masih belum mengakui negara Palestina.

    Menteri Kesehatan, Wes Streeting, mewakili pandangan banyak anggota parlemen ketika ia mendesak pemerintah untuk mengakui Palestina “selama masih ada negara Palestina yang bisa diakui”.

    Perdana Menteri UK, Sir Keir Starmer, pun memilih sejumlah syarat berkaitan dengan pengakuan kedaulatan Palestina.

    Syarat tersebut: Britania Raya akan bertindak kecuali pemerintah Israel mengambil langkah-langkah tegas untuk mengakhiri penderitaan di Gaza, mencapai gencatan senjata, menahan diri dari aneksasi wilayah di Tepi Baratlangkah yang secara simbolis diancam oleh parlemen Israel, Knesset, pekan lalu, dan berkomitmen pada proses perdamaian yang menghasilkan solusi dua negara.

    Starmer paham syarat tersebut hampir tidak mungkin dipenuhi hingga tenggat waktu September nanti mengingat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menentang pembentukan negara Palestina.

    Bahkan Netanyahu mengatakan keputusan Kerajaan Bersatu itu menghargai “terorisme keji Hamas”.

    Melihat situasi ini, pengakuan Kerajaan Bersatu terhadap Palestina pasti akan terjadi.

    “Skenario terburuk kelaparan saat ini sedang terjadi” di Jalur Gaza, para ahli keamanan pangan global yang didukung PBB memperingatkan (Reuters)

    Secara terpisah, Wakil Presiden AS JD Vance telah menegaskan kembali bahwa AS tidak memiliki rencana untuk mengakui negara Palestina, dengan alasan kurang berfungsinya pemerintahan di sana.

    Washington telah mengakui Otoritas Palestina, yang saat ini dipimpin oleh Mahmoud Abbas, sejak pertengahan 1990-an, tetapi belum mengakui negara Palestina secara resmi.

    Beberapa presiden AS telah menyatakan dukungan mereka terhadap pembentukan negara Palestina di masa depan, kecuali Donald Trump yang kini menjabat.

    Selama dua periode pemerintahan Trump, kebijakan AS sangat condong mendukung Israel.

    Tanpa dukungan dari sekutu terdekat dan paling kuat Israel yakni AS, sepertinya tidak mungkin melihat proses perdamaian yang mengarah pada solusi dua negara di masa depan.

    (ita/ita)

  • Rusia Ingatkan Israel yang Ingin Total Kuasai Gaza, Konsekuensinya Bakal Buruk

    Rusia Ingatkan Israel yang Ingin Total Kuasai Gaza, Konsekuensinya Bakal Buruk

    JAKARTA – Israel berencana memperluas operasi militernya di Jalur Gaza. Hal itu mendatangkan kecaman dari berbagai negara, termasuk Rusia.

    Pihak Rusia menilai rencana tersebut akan memperburuk situasi di wilayah kantong Palestina itu dan berdampak serius bagi seluruh kawasan Timur Tengah, pemerintah Rusia memperingatkan pada Sabtu, 9 Agustus.

    Peringatan itu disampaikan setelah pada Kamis, pemimpin Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana untuk menguasai seluruh Jalur Gaza guna membentuk perimeter keamanan, sebelum menyerahkannya kepada “pemerintahan sipil” yang baru.

    “Pelaksanaan keputusan dan rencana semacam itu, yang memicu kecaman dan penolakan, berisiko memperparah situasi yang sudah sangat dramatis di wilayah Palestina itu, yang menunjukkan semua tanda-tanda bencana kemanusiaan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova dalam pernyataannya, mengutip ANTARA pada 10 Agustus.

    Sehari kemudian, kantor Netanyahu menyatakan bahwa kabinet keamanan Israel telah menyetujui usulannya untuk menumpas Hamas dan merebut kendali atas Kota Gaza.

    Menurut dia, langkah itu akan sangat merusak upaya internasional untuk meredakan konflik dan menimbulkan konsekuensi negatif yang serius bagi stabilitas kawasan.

    Israel menghadapi gelombang kemarahan dunia atas perang genosida di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 61.000 warga Palestina sejak Oktober 2023. Operasi militer rezim Zionis telah menghancurkan wilayah itu dan menimbulkan bencana kemanusiaan, termasuk kelaparan.

  • Australia Berencana Segera Akui Negara Palestina

    Australia Berencana Segera Akui Negara Palestina

    Canberra

    Australia dilaporkan berencana untuk mengakui negara Palestina segera, atau dalam hitungan hari. Pengakuan resmi dari Canberra untuk negara Palestina ini menyusul langkah serupa yang diambil oleh Prancis, Inggris, dan Kanada.

    Rencana tersebut, seperti dilansir Reuters dan Bloomberg, Senin (11/8/2025), diungkapkan oleh media terkemuka Australia, Sydney Morning Herald (SMH) dalam laporan terbarunya, yang mengutip sejumlah sumber yang tidak disebutkan namanya.

    Laporan SMH itu menyebut bahwa Perdana Menteri (PM) Australia, Anthony Albanese, dan pemerintahannya dapat menyetujui langkah tersebut dalam beberapa hari ini, setelah rapat kabinet rutin digelar pada Senin (11/8) waktu setempat.

    Bahkan menurut laporan SMH, pemerintah Australia bisa saja mengumumkan pengakuan untuk negara Palestina paling cepat pada Senin (11/8) waktu setempat, atau dalam beberapa hari ke depan.

    Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Australia terkait rencana mengakui negara Palestina tersebut. Kantor PM Albanese belum memberikan tanggapan langsung atas laporan SMH.

    Rencana pemerintah Australia itu mencuat di tengah meningkatnya kekhawatiran bahwa operasi militer Israel di Jalur Gaza akan semakin menutup peluang bagi solusi dua negara. Terlebih diketahui bahwa hubungan antara Canberra dan Tel Aviv secara tradisional telah merenggang dalam beberapa bulan terakhir.

    Bulan lalu, Prancis dan Kanada mengumumkan rencana mereka untuk secara resmi mengakui negara Palestina. Sementara Inggris mengatakan akan mengikuti langkah tersebut, kecuali Israel mengatasi krisis kemanusiaan yang kini menyelimuti Jalur Gaza dan mencapai gencatan senjata.

    Israel telah mengecam keputusan negara-negara Barat untuk mendukung negara Palestina, yang disebutnya hanya akan menguntungkan kelompok Hamas.

    Saat berbicara kepada wartawan pada Minggu (10/8), PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa sebagian besar warga Israel menentang pembentukan negara Palestina karena mereka menganggap hal itu akan membawa perang, bukan perdamaian.

    Pernyataan Netanyahu itu disampaikan saat ribuan demonstran membanjiri jalanan Tel Aviv untuk menentang rencana sang PM Israel meningkatkan eskalasi perang yang telah berlangsung selama hampir dua tahun terakhir dan merebut Gaza City, kota terbesar di Jalur Gaza.

    “Melihat negara-negara Eropa dan Australia masuk ke dalam lubang kelinci seperti itu, jatuh ke dalamnya … ini mengecewakan, dan saya pikir itu sebenarnya memalukan, tetapi itu tidak akan mengubah posisi kami,” kata Netanyahu.

    Sementara itu, Albanese beberapa waktu terakhir menyerukan solusi dua negara, dengan pemerintahannya mendukung hak Israel untuk hidup dengan perbatasan yang aman dan mendukung hak Palestina untuk memiliki negara mereka sendiri.

    “Saya telah mengatakan bahwa ini persoalan kapan, bukan apakah,” ucap Albanese kepada wartawan di sela-sela kunjungan ke Selandia Baru pada Sabtu (9/8), saat ditanya wartawan mengenai sikap pemerintahannya terhadap negara Palestina.

    “Untuk jangka waktu lama, ada posisi bipartisan di Australia yang mendukung dua negara,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/imk)

  • Netanyahu Bilang Serangan Terbaru ke Gaza Segera Dimulai

    Netanyahu Bilang Serangan Terbaru ke Gaza Segera Dimulai

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, mengumumkan bahwa serangan militer terbaru terhadap Jalur Gaza akan segera dimulai. Netanyahu mengatakan bahwa dirinya berharap dapat menyelesaikan serangan terbaru ke Jalur Gaza dengan “cukup cepat”.

    Hal tersebut, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Senin (11/8/2025), disampaikan Netanyahu setelah rapat dengan kabinet keamanan Israel menyetujui rencana yang banyak dikritik untuk mengambil alih kendali atas Jalur Gaza.

    Dikatakan oleh Netanyahu, pada Minggu (10/8), bahwa dirinya tidak memiliki pilihan selain “menyelesaikan pekerjaannya” dan mengalahkan Hamas untuk membebaskan para sandera yang diculik dari wilayah Israel.

    Kantor Netanyahu mengatakan pada Minggu (10/8) malam bahwa sang PM Israel telah berbicara dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, untuk membahas “rencana Israel untuk menguasai sisa benteng Hamas di Gaza”.

    Netanyahu sebelumnya telah mengatakan bahwa serangan terbaru terhadap Jalur Gaza bertujuan untuk menyerang dua benteng Hamas yang tersisa, yang disebutnya sebagai satu-satunya pilihan karena penolakan kelompok yang didukung Iran tersebut untuk meletakkan persenjataan mereka.

    Hamas telah menegaskan bahwa mereka tidak akan melucuti persenjataan mereka kecuali negara Palestina yang merdeka didirikan.

    Tidak diketahui secara jelas kapan serangan terbaru Israel terhadap Jalur Gaza akan dimulai. Namun serangan terbaru ini akan menjadi bagian dari upaya Tel Aviv untuk membersihkan militan dari area Gaza City, kota terbesar di Jalur Gaza.

    “Kerangka waktu yang kami tetapkan untuk aksi ini cukup cepat. Kami ingin, pertama-tama, memungkinkan pembentukan zona aman agar para penduduk sipil Gaza City dapat pindah keluar,” ucap Netanyahu dalam pernyataannya.

    Dikatakan oleh Netanyahu bahwa para penduduk Gaza City, yang ditinggali satu juta orang sebelum perang berkecamuk, akan dipindahkan ke “zona-zona aman”. Namun banyak warga Palestina mengatakan bahwa zona aman tidak melindungi mereka dari serangan-serangan Israel sebelumnya.

    Panglima militer Israel, Eyal Zamir, menolak keras pendudukan sepenuhnya atas Jalur Gaza dan memperingatkan bahwa perluasan serangan dapat membahayakan nyawa para sandera yang masih ditahan Hamas di Jalur Gaza, serta menyeret pasukan Israel ke dalam perang gerilya yang berkepanjangan dan mematikan.

    Namun Netanyahu menegaskan bahwa tujuan dirinya bukanlah untuk menduduki Jalur Gaza.

    “Kami menginginkan sabuk keamanan tepat di sebelah perbatasan kami, tapi kami tidak ingin tetap berada di Gaza. Itu bukan tujuan kami,” kata Netanyahu.

    Hamas, dalam tanggapannya seperti dilansir AFP, menuduh Netanyahu berbohong. “Netanyahu terus berbohong, menipu dan berusaha untuk menyesatkan publik,” kata pejabat senior Hamas, Taher al-Nunu.

    “Semua yang dikatakan Netanyahu dalam konferensi pers adalah serangkaian kebohongan, dan dia tidak bisa menghadapi kebenaran; sebaliknya, dia bekerja untuk memutarbalikkan dan menyembunyikannya,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idn)

  • Keluarga Sandera Protes Rencana Israel Capok Gaza, Serukan Mogok Nasional

    Keluarga Sandera Protes Rencana Israel Capok Gaza, Serukan Mogok Nasional

    Jakarta

    Keluarga sandera Israel yang ditawan di Gaza menyerukan mogok nasional. Seruan itu sebagai bentuk protes atas keputusan kabinet keamanan Israel baru-baru ini untuk memperluas perang dan mengambil alih Kota Gaza.

    “Kami menutup negara ini untuk menyelamatkan tentara dan sandera,” kata keluarga para sandera di Tel Aviv, dilansir CNN, Senin (11/8/2025).

    Keluarga para sandera bergabung dengan Dewan 7 Oktober, yang mewakili keluarga tentara yang gugur pada awal perang. Para penyelenggara mengatakan inisiatif ini akan dimulai sebagai upaya akar rumput, terutama melalui perusahaan swasta dan warga negara yang akan mogok pada hari Minggu untuk menghentikan perekonomian.

    Dalam beberapa jam, Dewan 7 Oktober mengatakan “ratusan” perusahaan menyatakan akan berpartisipasi dalam pemogokan, serta “ribuan warga negara yang telah menyatakan akan mengambil cuti.”

    Serikat pekerja terbesar Israel, yang dikenal sebagai Histadrut, belum bergabung dalam rencana mogok ini. Keluarga para sandera tersebut diperkirakan akan bertemu dengan Ketua Histadrut, Arnon Bar-David, pada hari ini untuk meyakinkannya agar bergabung.

    Anat Angrest, ibu dari Matan, yang disandera di Gaza, memohon kepada para pemimpin industri ekonomi dan ketenagakerjaan, memperingatkan “keheningan kalian membunuh anak-anak kami.”

    “Saya tahu hati kalian bersama kami dan berduka – tetapi itu tidak cukup. Keheningan itu membunuh. Itulah sebabnya saya di sini hari ini untuk meminta sesuatu yang selama ini saya hindari – untuk meminta kepada para pemimpin industri: kalian punya kuasa,” kata Angrest.

    Histadrut sebelumnya telah menggelar aksi mogok umum untuk mendukung keluarga para sandera tahun lalu. Setelah pembunuhan enam sandera Israel oleh Hamas pada September 2024, serikat pekerja tersebut mengganggu sektor-sektor utama seperti transportasi, perbankan, layanan kesehatan, dan bergabung dalam protes dan demonstrasi yang meluas sepanjang hari.

    Namun, pemerintah Israel mengecam tindakan tersebut sebagai tindakan politis dan memutuskan untuk menghentikan aksi mogok tersebut melalui putusan pengadilan ketenagakerjaan.

    Meskipun Histadrut belum berkomentar secara terbuka tentang serangan tersebut, para pemimpin oposisi Israel telah mendukung dan menyambut inisiatif tersebut. Pemimpin oposisi, Yair Lapid, mengatakan, “Seruan keluarga para sandera untuk melakukan mogok umum dibenarkan dan tepat.”

    Ketua Partai Demokrat, Yair Golan, mengumumkan partainya akan bergabung dalam aksi mogok tersebut dan menyerukan “kepada seluruh warga negara Israel – siapa pun yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan dan tanggung jawab bersama – untuk mogok bersama kami, turun ke jalan, melawan, dan mengganggu.”

    Diketahui, Kabinet keamanan Israel telah memutuskan rencana kontroversial untuk memperluas perang dan mengambil alih Kota Gaza. Rencana tersebut telah memicu kritik keras dari keluarga 50 sandera yang tersisa di Gaza, 20 di antaranya diperkirakan masih hidup, dan memperingatkan bahwa langkah militer baru tersebut dapat membahayakan para sandera yang masih hidup dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membela eskalasi tersebut dalam konferensi pers. Ia bersikeras bahwa rencana tersebut adalah cara terbaik.

    “Bertentangan dengan klaim palsu, ini adalah cara terbaik untuk mengakhiri perang dan cara terbaik untuk mengakhirinya dengan cepat,” ujar Netanyahu kepada para wartawan.

    Netanyahu menggambarkan Kota Gaza dan kamp-kamp pusat di daerah kantong tersebut sebagai “dua benteng tersisa” Hamas, yang menurutnya harus diserang Israel untuk “menyelesaikan tugas dan merampungkan kekalahan Hamas.”

    Halaman 2 dari 2

    (yld/idn)

  • Kecaman Bertubi-tubi Buat Israel yang Bertekad Caplok Gaza

    Kecaman Bertubi-tubi Buat Israel yang Bertekad Caplok Gaza

    Jakarta

    Sejumlah negara kembali mengecam keras rencana Israel yang akan mengambil langkah baru memperluas operasional militernya di Gaza. Sejumlah negara khawatir rencana baru Israel tersebut akan membuat situasi di Palestina semakin parah.

    Dirangkum detikcom, Senin (11/8/2025), berdasarkan rencana yang baru disetujui kabinet Israel untuk mengalahkan kelompok Hamas, pasukan Israel akan bersiap untuk menguasai Kota Gaza, sambil mendistribusikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk sipil di luar zona pertempuran.

    Namun, dilansir kantor berita AFP, Sabtu (9/8/2025), Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dalam sebuah unggahan di media sosial X, menegaskan “kami tidak akan menduduki Gaza — kami akan membebaskan Gaza dari Hamas”.

    Ia mengatakan bahwa demiliterisasi wilayah tersebut dan pembentukan “pemerintahan sipil yang damai… akan membantu membebaskan para sandera kami” dan mencegah ancaman di masa mendatang.

    Israel menduduki Gaza sejak tahun 1967, tetapi menarik pasukan dan para pemukimnya pada tahun 2005.

    Kantor Netanyahu mengatakan pada Jumat (8/8) waktu setempat, kabinet telah mengadopsi “lima prinsip”, yakni perlucutan senjata Hamas, pemulangan semua sandera, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, demiliterisasi Jalur Gaza, kontrol keamanan Israel atas Jalur Gaza, dan keberadaan pemerintahan sipil alternatif yang bukan Hamas atau Otoritas Palestina

    Meskipun kabinet keamanan Israel telah menyetujui rencana untuk mengambil alih Kota Gaza, belum ada jadwal pasti kapan operasi tersebut akan dimulai.

    Laporan dari media Israel mengindikasikan bahwa militer tidak akan segera bergerak ke Kota Gaza, dan penduduk akan diminta untuk mengungsi terlebih dahulu.

    Sejumlah negara seperti Indonesia, Inggris, China, Turki, Arab Saudi, hingga Jerman sebelumnya telah mengecam rencana Israel tersebut. Kini kecaman tersebut kembali datang dari berbagai pihak lainnya, seperti Rusia, bahkan warga Israel sendiri yang menggelar demonstrasi.

    Rusia Kecam Rencana Israel

    Rusia mengecam dan menolak rencana Israel untuk memperluas operasi militernya di Jalur Gaza. Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan rencana tersebut akan memperburuk situasi di Palestina.

    “Implementasi keputusan dan rencana semacam itu, yang memicu
    kecaman dan penolakan, berisiko memperburuk situasi yang sudah sangat dramatis di wilayah kantong Palestina tersebut, yang memiliki semua ciri bencana kemanusiaan,” kata kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan, dilansir Reuters, Minggu (10/8/2025).

    Dilansir Anadolu, Rusia menambahkan, jika rencana tersebut dijalankan Israel, maka kemungkinan penduduk sipil di Gaza tidak akan tersisa. Menurut Rusia semua penduduk dapat berpotensi jadi sasaran pengusiran paksa.

    “Diperkirakan dalam waktu dekat tidak akan ada satu pun warga sipil yang tersisa di wilayah tersebut. Semua penduduk akan menjadi sasaran pengusiran paksa. Pihak Israel tidak menyembunyikan niatnya untuk secara bertahap merebut dan menduduki seluruh sektor tersebut pada tahap-tahap selanjutnya,” demikian pernyataan tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Rusia juga memperingatkan tindakan tersebut akan mempersulit upaya internasional untuk meredakan ketegangan di zona konflik, yang akan mengakibatkan konsekuensi negatif yang serius bagi seluruh Timur Tengah. Rusia mengingatkan pentingnya melakukan gencatan senjata di Gaza.

    Warga Israel Demo di Tel Aviv

    Ribuan orang turun ke jalan di Tel Aviv pada hari Sabtu untuk menuntut diakhirinya perang di Gaza. Demo ini berlangsung sehari setelah pemerintah Israel berjanji untuk memperluas konflik dan merebut Kota Gaza.

    Dilansir AFP, Minggu (10/8/2025), para demonstran melambaikan spanduk dan mengangkat foto-foto sandera yang masih ditahan di wilayah Palestina. Mereka mendesak pemerintah untuk menjamin pembebasan mereka.

    Para jurnalis AFP yang hadir di demonstrasi tersebut memperkirakan jumlah peserta mencapai puluhan ribu. Sementara sebuah kelompok yang mewakili keluarga para sandera mengatakan sebanyak 100.000 orang berpartisipasi.

    “Kami akan mengakhiri dengan pesan langsung kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu: jika Anda menyerbu sebagian wilayah Gaza dan para sandera dibunuh, kami akan mengejar Anda di alun-alun kota, dalam kampanye pemilu, dan di setiap waktu dan tempat,” ujar Shahar Mor Zahiro, kerabat seorang sandera yang dibunuh, kepada AFP.

    Arab Saudi Kecam Israel

    Pemerintah Arab Saudi menolak rencana Israel mengambil alih Gaza, Palestina. Arab Saudi mengutuk sekeras-kerasnya rencana itu.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (9/8/2025), Arab Saudi menolak rencana Israel untuk mengambil alih kota Gaza. Arab Saudi mengecam Israel karena kelaparan dan pembersihan etnis terhadap warga Palestina di wilayah yang diblokade tersebut.

    “Mengutuk dengan sekeras-kerasnya dan sekeras-kerasnya keputusan otoritas pendudukan Israel untuk menduduki Jalur Gaza,” pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab di akun X.

    Jerman Setop Ekspor Senjata ke Israel

    Pemerintah Jerman mengumumkan penghentian sementara semua izin ekspor senjata ke Israel. Penghentian ini dilakukan menyusul pernyataan Israel yang berencana menguasai jalur Gaza, Palestina.

    Dilansir kantor berita BBC, Jumat (8/8/2025), keputusan itu disampaikan langsung Kanselir Friedrich Merz. Hal itu sebagai reaksi Jerman terhadap rencana Israel untuk mengambil alih Kota Gaza.

    Merz mengatakan pemerintahnya tidak akan menyetujui ekspor peralatan militer apa pun ke Israel yang dapat digunakan di Gaza. Merz belum memerinci sampai kapan penghentian ekspor ini.

    “Dalam situasi ini, pemerintah Jerman tidak akan mengizinkan ekspor peralatan militer apa pun yang dapat digunakan di Jalur Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut,” kata Merz.

    Halaman 2 dari 4

    (yld/yld)

  • Keluarga Sandera Protes Rencana Israel Capok Gaza, Serukan Mogok Nasional

    Serangan Israel ke Gaza Tewaskan Jurnalis, Tuding Korban Terlibat Teroris

    Jakarta

    Militer Israel kembali melancarkan serangan ke Kota Gaza. Serangan tersebut menewaskan jurnalis Al Jazeera, Anas Al Sharif.

    Dilansir Reuters dan Al Jazeera, serangan dilancarkan pada Minggu (10/8) waktu setempat. Israel menuduh Al Sharif sebagai sebagai kepala sel Hamas.

    “Anas Al Sharif menjabat sebagai kepala sel teroris di organisasi teroris Hamas dan bertanggung jawab untuk memajukan serangan roket terhadap warga sipil Israel dan pasukan IDF,” kata militer Israel dilansir Reuters, Senin (11/8/2025).

    Direktur rumah sakit di Kota Gaza mengatakan bahwa serangan yang menghantam tenda yang menampung para jurnalis di luar pintu masuk Rumah Sakit Al-Shifa ditargetkan secara langsung kepada mereka.

    Jurnalis Al Jazeera, Anas al-Sharif, Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher dan Mohammed Noufal terbunuh dalam serangan beberapa waktu lalu.

    “Tujuan kami bukan untuk menduduki Gaza, tetapi untuk membentuk pemerintahan sipil di Jalur Gaza yang tidak berafiliasi dengan Hamas atau Otoritas Palestina,” kata Netanyahu dalam sebuah konferensi pers dilansir kantor berita AFP, Minggu (10/8/2025).

    Netanyahu juga berjanji untuk menciptakan koridor yang aman untuk penyaluran bantuan.

    Rencana Israel tersebut langsung menuai kecaman dunia. Beberapa negara mulai dari Indonesia, Inggris, China hingga Turki mengecam dan menolak rencana Israel tersebut.

    (wnv/wnv)

  • Inggris Kutuk Rencana Israel Caplok Gaza: Jalan Menuju Pertumparah Darah

    Inggris Kutuk Rencana Israel Caplok Gaza: Jalan Menuju Pertumparah Darah

    Jakarta

    Perwakilan Inggris untuk PBB, James Kariuki mengutuk rencana Israel untuk merebut Gaza. Dia menegaskan hal itu salah dan tidak akan mengakhiri konflik yang berkecamuk.

    “Memperluas operasi militer tidak akan melakukan apa pun untuk mengakhiri konflik ini. Itu tidak akan menjamin pembebasan para sandera. Ini hanya akan memperdalam penderitaan warga sipil Palestina di Gaza,” kata Kariuki dilansir Aljazeera, Senin (11/8/2025).

    “Ini bukan jalan menuju resolusi. Ini adalah jalan menuju pertumpahan darah,” imbuhnya.

    Dia mengatakan, rencana Israel tersebut akan membuat hampir 1 juta warga Palestina mengungsi. Dia juga mendesak agar kelaparan di Gaza segera dihentikan.

    “Ketidakmanusiawian ini tidak dapat dibenarkan,” kata dia.

    “Akses bantuan yang diberikan Israel pada akhir Juli lalu terbukti sangat tidak memadai. Kami memiliki pesan yang jelas untuk Israel: segera cabut semua pembatasan pengiriman bantuan,” tambahnya.

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya mengklaim bahwa rencananya untuk mengambil alih Gaza bukan untuk menjalankan pemerintahan di sana. Alih-alih, Netanyahu menyebut pihaknya ingin membebaskan wilayah Jalur Gaza dari kelompok Hamas.

    “Tujuan kami bukan untuk menduduki Gaza, tetapi untuk membentuk pemerintahan sipil di Jalur Gaza yang tidak berafiliasi dengan Hamas atau Otoritas Palestina,” kata Netanyahu dalam sebuah konferensi pers dilansir kantor berita AFP, Minggu (10/8).

    “Kami akan menetapkan koridor-koridor yang aman untuk perjalanan dan distribusi bantuan di Jalur Gaza,” ujarnya.

    Rencana Israel tersebut langsung menuai kecaman dunia. Beberapa negara mulai dari Indonesia, Inggris, China hingga Turki mengecam dan menolak rencana Israel tersebut.

    (wnv/wnv)

  • Israel Sebut Tak Niat Caplok Gaza, Hamas: Netanyahu Bohong, Menyesatkan!

    Israel Sebut Tak Niat Caplok Gaza, Hamas: Netanyahu Bohong, Menyesatkan!

    Jakarta

    Hamas mengecam Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu yang mengklaim tidak memiliki rencana untuk mengambil alih Gaza. Hamas menyebut Netanyahu berbohong terkait hal tersebut.

    “Netanyahu terus berbohong, menipu dan mencoba menyesatkan publik. Semua yang dikatakan Netanyahu dalam konferensi pers adalah serangkaian kebohongan, dan dia tidak bisa menghadapi kebenaran; sebaliknya, dia bekerja untuk memutarbalikkan dan menyembunyikannya,” kata pejabat senior Hamas, Taher al-Nunu dilansir kantor berita AFP, Senin (11/8/2025).

    Netanyahu sebelumnya mengklaim bahwa rencananya untuk mengambil alih Gaza bukan untuk menjalankan pemerintahan di sana. Alih-alih, Netanyahu menyebut pihaknya ingin membebaskan wilayah Jalur Gaza dari kelompok Hamas.

    “Tujuan kami bukan untuk menduduki Gaza, tetapi untuk membentuk pemerintahan sipil di Jalur Gaza yang tidak berafiliasi dengan Hamas atau Otoritas Palestina,” kata Netanyahu dalam sebuah konferensi pers dilansir kantor berita AFP, Minggu (10/8).

    Netanyahu juga berjanji untuk menciptakan koridor yang aman untuk penyaluran bantuan.

    “Kami akan menetapkan koridor-koridor yang aman untuk perjalanan dan distribusi bantuan di Jalur Gaza,” ujarnya.

    (wnv/wnv)

  • Hamas Tolak Lucuti Senjata, Israel Siapkan Serangan Lanjutan

    Hamas Tolak Lucuti Senjata, Israel Siapkan Serangan Lanjutan

    Jakarta

    Israel akan menyerang benteng-benteng Hamas yang tersisa di Kota Gaza dan kamp-kamp di Gaza tengah. Langkah itu diambil Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu lantaran Hamas menolak untuk melucuti senjata.

    Dilansir Aljazeera dan AFP, Minggu (10/8/2025), Netanyahu mengatakan Israel tidak memiliki pilihan selain mengalahkan Hamas.

    Netanyahu mengatakan langkah militer Israel selanjutnya akan menumpas benteng pertahanan Hamas yang tersisa di daerah kantong tersebut, yakni Kota Gaza dan sebidang tanah di pusat Gaza yang mencakup berbagai kamp pengungsi dan al-Mawasi.

    “Ini adalah cara terbaik untuk mengakhiri perang dan cara terbaik untuk mengakhirinya dengan cepat,” kata Netanyahu, Minggu.

    Netanyahu juga menguraikan lima prinsip untuk mengakhiri perang tersebut. Israel berjanji akan menggulingkan Hamas dari kekuasaan dan mengambil alih kontrol keamanan Gaza, termasuk dengan membangun “zona keamanan” di perbatasannya dengan Israel.

    Lima prinsip untuk mengakhiri perang yakni, Hamas dilucuti; semua tawanan Israel dibebaskan; Gaza didemiliterisasi; kontrol keamanan Israel yang menyeluruh didirikan; dan pemerintahan sipil non-Israel yang damai.

    “Saya tidak ingin berbicara tentang jadwal yang pasti, tetapi kami berbicara dalam hal jadwal yang cukup singkat karena kami ingin mengakhiri perang,” tuturnya.

    (wnv/fca)