Tag: Benjamin Netanyahu

  • Syarat Putin Terkait Rencana Damai Gaza yang Diusulkan Trump

    Syarat Putin Terkait Rencana Damai Gaza yang Diusulkan Trump

    Jakarta

    Presiden Rusia Vladimir Putin merespons rencana damai di Gaza yang diajukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Putin mendukung, tapi dengan beberapa syarat.

    Seperti diketahui, Presiden Trump mengusulkan 20 poin terkait perdamaian di Gaza, Palestina. Ke-20 poin itu mencakup seruan gencatan senjata, pembebasan semua sandera oleh Hamas dalam waktu 72 jam usai gencatan disepakati, pembebasan tahanan Palestina oleh Israel, perlucutan senjata Hamas, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza.

    Beberapa poin penting lainnya mencakup pengerahan “pasukan stabilisasi internasional sementara”, dan pembentukan otoritas transisi bernama “Board of Peace” atau Dewan Perdamaian yang dipimpin oleh Trump sendiri, dengan anggota beberapa tokoh lainnya termasuk mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair.

    Selain itu, ada tuntutan reformasi terhadap Otoritas Palestina, dan janji dari Israel untuk tidak melancarkan serangan lebih lanjut terhadap Qatar, yang telah berusaha berperan sebagai mediator dalam konflik tersebut.

    Dilansir DW, Selasa (30/9), poin lainnya mencakup rencana ekonomi untuk pertumbuhan Gaza, jaminan keamanan untuk Gaza yang dijaga oleh AS dan negara-negara kawasan, kesempatan bagi warga yang telah meninggalkan Gaza untuk kembali, tanpa ada pemaksaan bagi siapa pun yang masih tinggal di sana untuk pergi.

    Gaza nantinya akan dikelola oleh pemerintahan transisi. Mantan anggota Hamas bisa memilih untuk tetap tinggal dan ikut serta dalam rencana baru ini, atau diberi jalan aman untuk pindah ke negara lain yang tidak disebutkan.

    Selain itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) harus segera menghentikan semua operasinya setelah kesepakatan dan menyerahkan wilayah yang telah direbut. Israel juga harus berjanji tidak akan menduduki atau mencaplok wilayah Gaza. Komisi Penyelidikan di bawah Dewan HAM PBB baru-baru ini menyatakan bahwa Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina.

    Rencana ini juga mencakup jaminan bahwa bantuan dari lembaga internasional bisa masuk ke Gaza tanpa hambatan dari kedua pihak, meskipun tidak disebutkan soal Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung oleh Israel dan AS.

    Putin Minta Pembentukan Negara Palestina

    Putin lantas bereaksi atas usulan Trump tersebut. Ia mendukung asalkan rencana tersebut mengarah pada pembentukan negara Palestina berdampingan dengan Israel.

    Putin juga menyatakan optimismenya yang hati-hati terhadap 20 poin usulan Trump untuk mengakhiri pertempuran antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza. Presiden Rusia tersebut bahkan memuji usulan yang digagas oleh sang Presiden AS itu sebagai “cahaya di ujung terowongan”.

    Pernyataan tersebut disampaikan Putin saat berbicara dalam Klub Diskusi Valdai, yang merupakan forum para pakar Rusia, seperti dilansir Reuters dan Anadolu Agency, Jumat (3/10/2025). Forum diskusi tersebut digelar di kota Sochi, Rusia, pada Kamis (2/10) waktu setempat.

    Dalam forum tersebut, salah satu isu yang dibahas oleh Putin adalah rencana perdamaian untuk Jalur Gaza yang diusulkan Trump, yang telah mendapat dukungan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan negara-negara Arab, Muslim hingga Eropa. Kelompok Hamas sejauh ini masih mendiskusikan respons untuk usulan Trump tersebut.

    “Secara umum, Rusia siap mendukungnya. Tentu saja, asalkan mengarah pada tujuan akhir yang selalu kita bahas. Rusia selalu … menyokong pembentukan dua negara — baik Israel dan negara Palestina. Dan hal ini, menurut saya, adalah kunci solusi akhir bagi konflik Palestina-Israel,” tegas Putin.

    Namun Putin juga memperingatkan bahwa diplomasi unilateral Barat secara tradisional, yang seringkali “mengabaikan sejarah, tradisi, identitas, dan budaya masyarakat yang tinggal di sana”, tidak akan membawa perdamaian ke kawasan tersebut.

    Putin juga mengingatkan bahwa pandangan Palestina, negara-negara regional, dan Hamas harus menjadi pertimbangan dalam perjanjian apa pun.

    “Penting bagi kami bahwa Hamas juga mendukungnya, bahwa pemerintahan Palestina mendukungnya,” tegas Putin seperti dilansir TASS.

    Trump Beri Waktu Sampai Minggu

    Tak berhenti sampai di situ, Trump ternyata juga sudah mendesak agar rakyat Palestina dan Hamas menyetujui usulannya. Trump memberi mereka waktu hingga hari Minggu (5/10) mendatang.

    “Militan Palestina memiliki waktu hingga Minggu Malam pukul 18.00 waktu Washington, D.C,” tulis Trump di platform Truth Social miliknya, dilansir AFP, Jumat (3/10/2025).

    Trump mengancam akan memberi neraka total kepada Hamas jika menolak usulannya. “Jika kesepakatan KESEMPATAN TERAKHIR ini tidak tercapai, NERAKA total, yang belum pernah terjadi sebelumnya, akan melanda Hamas,” imbuhnya.

    Trump memastikan pihaknya akan memburu dan membunuh pasukan Hamas jika kesepakatan tidak juga dijawab. Ia mengaku hanya tinggal memberikan perintah untuk melakukan itu.

    “Sebagian besar pejuang Hamas terkepung dan terperangkan secara milier, hanya menunggu saya memberi perintah, ‘pergi,’ agar nyawa mereka segera dihabisi. Sedangkan sisanya, kami tahu di mana dan siapa Anda, dan Anda akan diburu, dan dibunuh,” kata Trump.

    Dalam unggahannya, Trump juga mengatakan warga Palestina yang tidak bersalah harus mengungsi dari area yang tidak ditentukan untuk mengantisipasi potensi serangan terhadap pasukan Hamas yang tersisa.

    “Saya meminta agar semua warga Palestina yang tidak bersalah segera meninggalkan daerah yang berpotensi menjadi tempat kematian besar di masa depan ini dan menuju wilayah Gaza yang lebih aman. Semua orang akan dirawat dengan baik oleh mereka yang siap membantu. Untungnya bagi Hamas, mereka akan diberi satu kesempatan terakhir!” tutur Trump.

    Halaman 2 dari 3

    (maa/lir)

  • Menteri Sayap Kanan Israel Desak Aktivis Global Sumud Flotilla Dipenjara daripada Dideportasi

    Menteri Sayap Kanan Israel Desak Aktivis Global Sumud Flotilla Dipenjara daripada Dideportasi

    JAKARTA – Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir menyatakan Israel seharusnya memenjarakan aktivis armada kemanusiaan yang ditahan selama beberapa bulan, alih-alih mendeportasi mereka kembali ke negara asal.

    Lebih dari 470 aktivis ditahan oleh Angkatan Laut Israel di atas 42 kapal yang tergabung dalam Global Sumud Flotilla (GSF) pada Rabu malam hingga Kamis.

    Kementerian Luar Negeri Israel sebelumnya menyatakan, empat orang telah dideportasi, sementara sisanya sedang dalam proses deportasi.

    Ben Gvir, yang memimpin partai ultranasionalis Otzma Yehudit, mengatakan dalam sebuah pernyataan video, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah membuat “kesalahan” dengan mendeportasi mereka.

    “Saya pikir mereka harus ditahan di sini selama beberapa bulan di penjara Israel, agar mereka terbiasa dengan bau sayap teroris,” ujarnya, dikutip dari The Times of Israel 3 Oktober.

    Ia berpendapat, PM Netanyahu tidak bisa terus-menerus memulangkan mereka ke negara asal, “karena ini membuat mereka kembali lagi dan lagi.”

    Dikutip dari Daily Sabah, politisi sayap kanan Israel itu mengkonfrontasi beberapa dari mereka secara langsung, menyebut kelompok itu “teroris”, tetapi suaranya tenggelam oleh teriakan “Kebebasan untuk Palestina” dari para aktivis.

    Adapun empat aktivis yang dideportasi berasal dari Italia, sedangkan ratusan lainnya masih ditahan, dikutip dari Anadolu.

    Dalam sebuah pernyataan di perusahaan media sosial X kementerian menuliskan “prosedur sedang berlangsung untuk menyelesaikan deportasi para peserta”, tanpa mengungkapkan nama-nama mereka yang telah dideportasi.

    החלטת ראש הממשלה לאפשר לתומכי הטרור שבמשט לחזור לארצותיהם – בטעות יסודה.

    אני חושב שחייבים להשאיר אותם כמה חודשים כאן בכלא הישראלי, כדי שהם יריחו את הריח של אגף המחבלים.

    הרי לא יכול להיות מצב שבו ראש הממשלה שולח אותם עוד פעם ועוד פעם ועוד פעם לארצותיהם – והשליחה הזו גורמת לכך… pic.twitter.com/2jnz04QwZ5

    — איתמר בן גביר (@itamarbengvir) October 3, 2025

  • Kecaman dari Mana-mana Usai Israel Cegat Kapal Global Sumud Flotilla

    Kecaman dari Mana-mana Usai Israel Cegat Kapal Global Sumud Flotilla

    Jakarta

    Israel mencegat armada Global Sumud Flotilla yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza. Aksi penghadangan ini menuai kecaman keras dari berbagai negara.

    Dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (3/10/2025), puluhan kapal dicegat oleh Israel. Termasuk kapal bernama Marinette, yang merupakan kapal terakhir dalam rombongan misi tersebut.

    “Marinette, kapal terakhir yang tersisa dari Global Sumud Flotilla, telah dicegat pada pukul 10.29 pagi waktu setempat (sekitar pukul 07.29 GMT), sekitar 42.5 mil laut dari Gaza,” demikian pernyataan Global Sumud Flotilla.

    Global Sumud Flotilla menyebut para penumpang kapal-kapal itu “diculik dengan cara yang melanggar hukum”.

    Misi Global Sumud Flotilla melibatkan lebih dari 40 kapal. Di mana, kapal-kapal itu membawa politisi dan aktivis dari berbagai negara. Akibat aksinya, Israel menuai kecaman internasional.

    Israel Dinilai Langgar Hukum Internasional

    Anggota Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal, mengecam tindakan Israel mencegat sejumlah armada Global Sumud Flotilla yang membawa bantuan kemanusiaan untuk Gaza. Syamsu Rizal meminta Indonesia untuk mengajak negara-negara yang tergabung dalam BRICS hingga Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk memutus diplomasi dengan Israel sebagai langkah tegas.

    “Apa yang dilakukan oleh Israel itu dengan memblokade, kemudian menghambat, bahkan menangkap aktivis internasional itu, pada dasarnya itu adalah pelanggaran hukum internasional. Karena Israel ini melanggar konvensi Jenewa, melanggar hukum humaniter internasional bahkan melanggar piagam PBB bahkan melanggar Surat Ketetapan Dewan Keamanan,” kata Syamsu Rizal saat dihubungi, Jumat (3/10).

    Syamsu Rizal mengatakan, jika negara-negara di dunia serempak memutus hubungan diplomatik dengan Israel maka sikap kesewenangan Israel bisa dihentikan. Ia menyebut tindakan yang dilakukan Israel mengganggu pola relasi internasional.

    “Sekarang tinggal seperti lembaga internasional seperti PBB dan beberapa lembaga lainnya itu bukan hanya sekadar mengecam, kalau kami secara pribadi atau di komisi ini mengecam. Pemerintah Republik Indonesia, harusnya mengecam,” ujar Legislator PKB ini.

    Anwar Ibrahim Desak Aktivis Malaysia Dibebaskan

    Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim juga turut mengecam tindakan Israel. Anwar menghubungi sejumlah pemimpin dunia. Hal ini dalam upaya menuntut pembebasan relawan dan aktivis Malaysia yang tergabung dalam kapal bantuan untuk Gaza, Global Sumud Flotilla.

    Pemimpin dunia yang dihubungi Anwar antara lain Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan hingga Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi.

    “Hingga sore ini, saya telah berdiskusi langsung dengan Perdana Menteri Qatar, Presiden Turki, dan Presiden Mesir untuk mendapatkan dukungan mereka dalam menuntut pembebasan segera para relawan dan aktivis Malaysia yang ditahan secara tidak adil,” kata Anwar Ibrahim dalam keterangannya di Kuala Lumpur, dilansir Antara, Jumat (3/10).

    Anwar bersama tim juga terus berkomunikasi erat dengan mitra-mitra kunci lainnya. Termasuk dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Marco Rubio, untuk mendesak intervensi segera tanpa penundaan.

    “Saya tegaskan kembali, dengan sekeras-kerasnya, bahwa kekejaman dan tindakan agresi yang dilakukan oleh rezim Israel harus segera dihentikan,” kata Anwar.

    Malaysia, kata Anwar, menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat semua tahanan. Ia juga meminta agar bantuan kemanusiaan dapat menjangkau rakyat Gaza dengan cepat dan tanpa hambatan.

    Cucu Nelson Mandela Turut Ditahan

    Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa juga mendesak Israel untuk membebaskan para aktivis yang ditahan. Terdapat cucu mantan Presiden Nelson Mandela di antara para aktivis yang ditahan Israel.

    Ramaphosa mengecam pencegatan yang dilakukan pasukan Israel terhadap puluhan kapal itu sebagai pelanggaran hukum internasional.

    “Pencegatan Global Sumud Flotilla merupakan pelanggaran berat lainnya yang dilakukan oleh Israel terhadap solidaritas dan sentimen global yang bertujuan untuk meringankan penderitaan di Gaza dan memajukan perdamaian di kawasan tersebut,” kata Ramaphosa dalam pernyataannya pada Kamis (2/10).

    Afrika Selatan telah menggugat Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ), menuduh negara Yahudi itu melakukan genosida atas perang yang menghancurkan di Jalur Gaza. Tuduhan itu telah dibantah keras oleh Israel.

    Turki Nilai Aksi Israel Bentuk Kejahatan

    Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut pencegatan kapal bantuan masuk Gaza oleh tentara Israel sebagai tindakan pembajakan. Dalam pidatonya di Turki, Erdogan mengatakan bahwa tindakan itu sebagai bukti bahwa Israel dalam kondisi yang sangat panik untuk menyembunyikan kejahatannya.

    “Pemerintah Netanyahu yang melakukan genosida tidak dapat menoleransi sekecil apa pun peluang perdamaian untuk terwujud,” kata Erdogan dilansir Al Jazeera, Kamis (2/10)

    Erdogan mengatakan tindakan itu menjadi contoh kesekian dalam kejahatan Israel di Gaza. Dia menyebut pencegatan kapal bantuan masuk ke Gaza sebagai wujud dari kebrutalan Israel.

    “Armada Sumud Global sekali lagi menunjukkan kepada dunia kebrutalan di Gaza dan wajah pembunuh Israel. Kami tidak akan meninggalkan saudara-saudari Palestina kami dan akan bekerja sekuat tenaga untuk mengamankan gencatan senjata dan memulihkan perdamaian,” tambahnya.

    Lihat Video ‘Israel Cegat Kapal Terakhir Flotilla yang Masih Berlayar ke Gaza’:

    Halaman 2 dari 5

    (amw/lir)

  • Hamas Masih Butuh Waktu Pelajari Rencana Damai Trump di Gaza

    Hamas Masih Butuh Waktu Pelajari Rencana Damai Trump di Gaza

    Jakarta

    Seorang pejabat Hamas mengatakan bahwa kelompok tersebut masih membutuhkan waktu untuk mempelajari rencana perdamaian di Gaza yang diajukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Proposal tersebut, yang didukung oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menyerukan gencatan senjata, pembebasan sandera dalam waktu 72 jam, perlucutan senjata Hamas, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Gaza.

    “Hamas masih melanjutkan konsultasi mengenai rencana Trump… dan telah memberi tahu para mediator bahwa konsultasi tersebut masih berlangsung dan membutuhkan waktu,” kata pejabat Hamas itu tanpa menyebut nama karena tidak berwenang untuk berbicara secara terbuka mengenai masalah tersebut.

    Sebelumnya, Trump pada hari Selasa lalu memberi Hamas ultimatum “tiga atau empat hari” untuk menerima rencana tersebut, yang telah disambut baik oleh negara-negara kekuatan dunia, termasuk negara-negara Arab dan Muslim.

    Mohammad Nazzal, seorang anggota biro politik Hamas, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat (3/10) bahwa “rencana tersebut memiliki beberapa poin yang mengkhawatirkan, dan kami akan segera mengumumkan posisi kami terkait hal tersebut.”

    “Kami sedang berkomunikasi dengan para mediator dan pihak-pihak Arab serta Islam, dan kami serius untuk mencapai kesepahaman,” tambahnya, dilansir kantor berita AFP, Jumat (3/10/2025).

    Seorang sumber Palestina yang dekat dengan pimpinan Hamas, mengatakan kepada AFP pada hari Rabu lalu, bahwa gerakan Islamis tersebut “ingin mengubah beberapa klausul seperti klausul tentang perlucutan senjata dan pengusiran Hamas dan kader-kader faksi.”

    Para pemimpin Hamas juga menginginkan “jaminan internasional untuk penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza” dan jaminan bahwa tidak akan ada upaya pembunuhan yang dilakukan di dalam maupun di luar wilayah itu, tambah sumber Hamas tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Dilindungi Tentara, Buldoser Israel Bangun Jalan Baru di Tepi Barat

    Dilindungi Tentara, Buldoser Israel Bangun Jalan Baru di Tepi Barat

    Tepi Barat

    Israel mengerahkan sejumlah buldoser untuk membangun ruas jalanan baru di wilayah Tepi Barat. Pembangunan ini mendapat penjagaan langsung oleh tentara-tentara Israel yang siaga dengan senjata api di dekat buldoser-buldoser tersebut.

    Ashraf Samara, salah satu warga Tepi Barat, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Jumat (3/10/2025), mengatakan bahwa dirinya melihat sejumlah buldoser di sekitar desa Beit Ur al-Fauqa yang menjadi tempat tinggalnya.

    Dengan dikelilingi oleh para tentara bersenjata, mesin berat yang dikerahkan Israel itu menggali tanah untuk membuat rute baru bagi permukiman Yahudi, membagi wilayah di sekitar desa tersebut dan menciptakan hambatan baru bagi pergerakan warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat.

    “Ini untuk mencegah para penduduk menjangkau dan menggunakan wilayah ini,” kata Samara, yang merupakan anggota dewan desa Beit Ur al-Fauqa.

    Dia mengatakan kepada Reuters bahwa langkah tersebut akan “menjebak desa-desa dan komunitas permukiman” dengan membatasi mereka hanya pada area tempat tinggal mereka.

    Dengan setiap jalanan baru yang memudahkan pergerakan para pemukim Yahudi, warga-warga Palestina di Tepi Barat yang biasanya dilarang menggunakan rute tersebut menghadapi rintangan baru untuk mencapai kota-kota terdekat, tempat kerja mereka, atau lahan pertanian.

    Setelah beberapa negara besar Eropa, termasuk Inggris dan Prancis, pada September lalu bergabung dengan negara-negara lainnya yang mengakui negara Palestina, permukiman Israel di Tepi Barat berkembang pesat di bawah pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu seiring perang Gaza berkecamuk.

    Palestina dan sebagian besar negara di dunia ini menganggap permukiman semacam itu ilegal menurut hukum internasional. Israel menolak hal tersebut.

    Hagit Ofran, salah satu anggota kelompok aktivis Israel, Peace Now, mengatakan bahwa ruas jalanan baru yang dibangun di sekitar Beit Ur al-Fauqa dan wilayah sekitarnya merupakan upaya Israel untuk menguasai lebih banyak tanah Palestina.

    “Mereka melakukannya untuk menetapkan fakta di lapangan. Sebanyak mereka memiliki kemampuan, mereka akan menghabiskan uangnya,” sebutnya, sembari menyebut Israel telah mengalokasikan dana 7 miliar Shekels (Rp 35 triliun) untuk membangun jalan di Tepi Barat sejak serangan Hamas pada Oktober 2023.

    “Yang sedang dilakukan pemerintah sekarang adalah membangun infrastruktur bagi jutaan pemukim yang ingin mereka tarik ke Tepi Barat,” kata Ofran.

    “Tanpa jalan, mereka tidak bisa melakukannya. Jika ada jalan, pada akhirnya, hampir secara alami, para pemukim akan datang,” ucapnya.

    Permukiman Israel, yang semakin luas dan semakin banyak sejak Israel merebut Tepi Barat dalam perang tahun 1967, membentang jauh ke dalam wilayah tersebut, dengan didukung oleh sistem jalan dan infrastruktur lainnya di bawah kendali Tel Aviv.

    Kantor Netanyahu dan militer Israel belum memberikan tanggapan.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Sopir Truk Yordania Tembak Mati 2 Warga Israel di Tepi Barat”
    [Gambas:Video 20detik]
    (nvc/ita)

  • Prancis Bilang Hamas Harus Mau Menyerah Sesuai Rencana Damai Trump

    Prancis Bilang Hamas Harus Mau Menyerah Sesuai Rencana Damai Trump

    Jakarta

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Prancis Jean-Noel Barrot mengatakan bahwa kelompok Hamas telah kalah dalam pertempuran di Gaza. Dia menyebut Hamas harus menerima “penyerahan diri” berdasarkan rencana perdamaian yang diajukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Kelompok militan Palestina tersebut saat ini sedang mempertimbangkan tanggapannya terhadap rencana Trump tersebut, yang telah disetujui secara terbuka oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    “Hamas memikul tanggung jawab yang sangat berat atas bencana yang dialami oleh Palestina,” kata Barrot, dilansir kantor berita AFP, Jumat (3/10/2025) di Arab Saudi, tempat ia menghadiri pertemuan tentang masalah keamanan global.

    “Mereka telah kalah. Mereka harus menerima penyerahan diri mereka sendiri,” tambahnya, merujuk pada resolusi PBB baru-baru ini yang menyerukan agar Hamas dikeluarkan dari kepemimpinan negara Palestina di masa depan.

    Barrot menegaskan kembali dukungan Prancis terhadap rencana Trump tersebut pada hari Kamis (2/10) waktu setempat. Dia mengatakan bahwa pihaknya siap untuk “mengerjakan implementasinya untuk mengakhiri perang, kelaparan, dan penderitaan di Gaza”.

    Ia menolak berspekulasi tentang apa yang mungkin terjadi jika Hamas menolak kesepakatan tersebut.

    Rencana damai Trump di Gaza menyerukan gencatan senjata, pembebasan sandera dalam 72 jam, perlucutan senjata Hamas, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Gaza.

    Hamas belum membuat keputusan akhir terkait proposal tersebut, menurut sumber Palestina yang dekat dengan para pemimpin kelompok tersebut.

    Barrot juga membela keputusan Prancis untuk melanjutkan dialog dengan pemerintah Iran mengenai program nuklirnya, meskipun sanksi PBB dan Eropa baru-baru ini diberlakukan kembali.

    “Prancis akan melakukan upaya terbaiknya menuju solusi yang dinegosiasikan,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Fantastis, Israel Bayar Influencer Rp 116 Juta Per Postingan di Medsos

    Fantastis, Israel Bayar Influencer Rp 116 Juta Per Postingan di Medsos

    Tel Aviv

    Otoritas Israel mengerahkan pasukan influencer di media sosial untuk mempengaruhi opini publik mengenai perang yang terus berkecamuk di Jalur Gaza. Setiap influencer dilaporkan mendapatkan bayaran fantastis hingga mencapai sebesar US$ 7.000 atau setara Rp 116,2 juta per postingan propaganda Israel.

    Langkah semacam itu, seperti dilansir Middle East Monitor, Jumat (3/10/2025), dilakukan saat opini publik global mulai bergeser secara tajam dalam menentang perang yang dikobarkan Israel di di Jalur Gaza, dengan tuduhan genosida terhadap negara Yahudi itu semakin meluas.

    Dalam operasi yang digencarkan di media sosial, Israel semakin mengintensifkan upaya-upaya untuk mendominasi ruang informasi melalui jaringan influencer berbayar, manipulasi algoritma, content framing melibatkan AI, dan kemitraan media secara rahasia atau diam-diam.

    Praktik itu terungkap dari dokumen yang diajukan berdasarkan Undang-undang Pendaftaran Agen Asing Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan bagaimana kampanye Israel secara luas dirancang untuk mendistorsi wacana publik, terutama di kalangan muda, dan menangkis tuduhan genosida yang semakin meningkat.

    Kementerian Luar Negeri Israel, melalui kontraktor Bridges Partners, dilaporkan telah membayar hingga US$ 7.000 (Rp 116,2 juta) per postingan kepada para influencer untuk memposting konten pro-Israel di platform seperti TikTok dan Instagram.

    Menurut laporan Responsible Statecraft, operasi “Kampanye Influencer” ini memiliki anggaran sebesar US$ 900.000 (Rp 14,9 miliar) yang mencakup pembayaran 75-90 postingan antara Juni hingga September 2024. Konten tersebut diproduksi di bawah sebuah inisiatif yang disebut “Proyek Esther”.

    Nama tersebut mirip dengan inisiatif terpisah oleh lembaga think-tank sayap kanan AS, Heritage Foundation, yang meluncurkan “Proyek Esther” mereka pada Oktober 2024. Kampanye ini fokus mengidentifikasi dan melawan retorika “antisemitisme” di kampus-kampus AS dan dalam wacana publik.

    Kedua proyek itu, menurut Responsible Statecraft, tidak berkaitan secara resmi, namun memiliki tujuan ideologis yang sama, yakni mengkategorikan solidaritas Palestina dan kritikan terhadap Israel sama dengan ekstremisme demi mendelegitimasi perbedaan pendapat.

    Strategi lebih luas tidak hanya melibatkan konten pro-Israel, tetapi juga upaya mengubah arsitektur platform informasi. Upaya ini melibatkan perusahaan bernama Clock Tower X LLC, yang mendapatkan kontrak senilai US$ 6 juta dari pemerintah Israel untuk menyebarkan pesan pro-Israel kepada Gen Z.

    Kontrak Clock Tower mencakup upaya mempengaruhi bagaimana perangkat AI, seperti ChatGPT, merespons pertanyaan tentang Israel dan Palestina. Upaya ini bertujuan memastikan perangkat AI lebih cenderung menyuarakan poin-poin pro-Israel — bukan karena faktanya benar, tetapi karena internet telah secara strategis disemai dengan perspektif tersebut melalui cara khusus.

    Berbicara kepada para influencer Israel pekan lalu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengakui bahwa ruang digital menjadi garda terdepan yang “paling penting” dalam upaya Israel untuk menjustifikasi perangnya.

    “Anda tidak bisa berperang hari ini dengan pedang, itu tidak efektif. (Senjata) Yang paling penting adalah media sosial,” sebutnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Syarat Putin Terkait Rencana Damai Gaza yang Diusulkan Trump

    Putin Dukung Rencana Damai Gaza yang Diusulkan Trump, Asalkan…

    Moskow

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan negaranya siap mendukung rencana perdamaian untuk Jalur Gaza yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, asalkan rencana tersebut mengarah pada pembentukan negara Palestina berdampingan dengan Israel.

    Putin juga menyatakan optimismenya yang hati-hati terhadap 20 poin usulan Trump untuk mengakhiri pertempuran antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza. Presiden Rusia tersebut bahkan memuji usulan yang digagas oleh sang Presiden AS itu sebagai “cahaya di ujung terowongan”.

    Pernyataan tersebut disampaikan Putin saat berbicara dalam Klub Diskusi Valdai, yang merupakan forum para pakar Rusia, seperti dilansir Reuters dan Anadolu Agency, Jumat (3/10/2025). Forum diskusi tersebut digelar di kota Sochi, Rusia, pada Kamis (2/10) waktu setempat.

    Dalam forum tersebut, salah satu isu yang dibahas oleh Putin adalah rencana perdamaian untuk Jalur Gaza yang diusulkan Trump, yang telah mendapat dukungan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan negara-negara Arab, Muslim hingga Eropa. Kelompok Hamas sejauh ini masih mendiskusikan respons untuk usulan Trump tersebut.

    “Secara umum, Rusia siap mendukungnya. Tentu saja, asalkan mengarah pada tujuan akhir yang selalu kita bahas. Rusia selalu … menyokong pembentukan dua negara — baik Israel dan negara Palestina. Dan hal ini, menurut saya, adalah kunci solusi akhir bagi konflik Palestina-Israel,” tegas Putin.

    Namun Putin juga memperingatkan bahwa diplomasi unilateral Barat secara tradisional, yang seringkali “mengabaikan sejarah, tradisi, identitas, dan budaya masyarakat yang tinggal di sana”, tidak akan membawa perdamaian ke kawasan tersebut.

    Rencana perdamaian yang diusulkan Trump itu, terdiri atas 20 poin, mencakup seruan gencatan senjata, pembebasan semua sandera oleh Hamas dalam waktu 72 jam usai gencatan disepakati, pembebasan tahanan Palestina oleh Israel, perlucutan senjata Hamas, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza.

    Beberapa poin penting lainnya mencakup pengerahan “pasukan stabilisasi internasional sementara”, dan pembentukan otoritas transisi bernama “Board of Peace” atau Dewan Perdamaian yang dipimpin oleh Trump sendiri, dengan anggota beberapa tokoh lainnya termasuk mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair.

    “Kita sekarang semakin memahami inisiatif-inisiatif Presiden Trump, dan menurut saya mungkin ada secercah cahaya di ujung terowongan,” ucapnya memuji usulan sang Presiden AS itu.

    Secara khusus membahas soal penempatan Gaza di bawah pemerintahan internasional, Putin menekankan bahwa penting untuk memahami berapa lama hal tersebut akan berlangsung dan bagaimana kekuasaan akan dialihkan ke otoritas lokal.

    Putin juga mengingatkan bahwa pandangan Palestina, negara-negara regional, dan Hamas harus menjadi pertimbangan dalam perjanjian apa pun.

    “Penting bagi kami bahwa Hamas juga mendukungnya, bahwa pemerintahan Palestina mendukungnya,” tegas Putin seperti dilansir TASS.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • PBB Harusnya Dilibatkan Awasi Masa Depan Gaza

    PBB Harusnya Dilibatkan Awasi Masa Depan Gaza

    JAKARTA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ditegaskan sebagai lembaga yang memiliki legitimasi internasional untuk mengawasi rencana masa depan Jalur Gaza, wilayah Palestina yang masih terkepung.

    Pernyataan itu disampaikan Profesor Ben Saul, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) dan kontra-terorisme, saat menjawab pertanyaan di National Press Club of Australia terkait kenegaraan Palestina dan rencana gencatan senjata Presiden AS Donald Trump untuk Gaza.

    Dalam rencana itu, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair akan memegang peran penting.

    Namun, Saul mengkritik rekam jejak Blair yang sebelumnya terlibat dalam proses Quartet, forum yang dibentuk tahun 2002 oleh Uni Eropa, Rusia, PBB, dan Amerika Serikat untuk memfasilitasi perdamaian di Timur Tengah, namun dinilai gagal membawa hasil.

    “Jika ingin pengawasan internasional yang sah terhadap masa depan Gaza, gunakan PBB. Itulah fungsi yang seharusnya dijalankan sejak awal,” ujarnya dilansir ANTARA, Kamis, 2 Oktober.

    Ia juga menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap sikap Australia atas perang Israel di Gaza.

    Menurut dia, pengakuan resmi Australia terhadap Palestina baru terwujud bulan lalu setelah 100 ribu warga berunjuk rasa di Jembatan Sydney Harbour dan menekan para politikus agar bersikap tegas.

    Bulan lalu pada Sidang Umum PBB ke-80, Australia mengakui Palestina sebagai negara merdeka.

    PBB memiliki “legitimasi karena melibatkan semua pihak, dan tidak bergantung pada kehendak Donald Trump, seperti halnya dewan tersebut,” ujarnya.

    Rencana Trump berisi 20 poin yang diumumkan di Gedung Putih bersama pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu. Isinya mencakup penghentian permusuhan, pembebasan sandera, serta pembentukan otoritas transisi untuk mengelola Gaza.

    Rencana itu menekankan pembentukan “komite teknokrat Palestina non-politis” yang diawasi lembaga baru bernama Board of Peace (Dewan Perdamaian), dipimpin langsung Trump dengan melibatkan tokoh internasional termasuk Blair.

    Menurut Saul, legitimasi PBB terletak pada keterlibatan semua negara anggota, berbeda dengan rencana Trump yang dianggap bergantung pada kehendak pribadi.

    Sementara itu, Pakar hukum HAM internasional asal Australia, Chris Sidoti, menyebut perang Israel di Gaza sebagai konflik yang paling berbeda dari konflik lainnya karena warga Palestina di wilayah itu tidak memiliki jalur untuk melarikan diri.

    Ia menyoroti sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 66 ribu warga Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak.

    Kondisi itu, menurut Sidoti, berbeda dengan perang di Ukraina atau konflik Sudan, di mana warga sipil masih bisa menyeberang perbatasan untuk menyelamatkan diri.

    “Di Gaza, dua juta orang terjebak di wilayah yang luasnya hanya separuh Canberra. Mereka tidak bisa lari dari serangan udara, kelaparan, kekurangan obat-obatan, akses rumah sakit, hingga pendidikan anak-anak. Itu membuat situasi ini benar-benar berbeda,” ujarnya.

    Sidoti menegaskan sejak hari pertama, Israel menjalankan operasi penghancuran total terhadap Gaza, sehingga jutaan warga sipil hidup dalam kondisi terperangkap tanpa jalan keluar.

     

  • 400 Aktivis Pro-Palestina di Kapal Bantuan Ditahan, Netanyahu Beri Pujian

    400 Aktivis Pro-Palestina di Kapal Bantuan Ditahan, Netanyahu Beri Pujian

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu memuji angkatan laut Israel usai mencegat kapal armada bantuan menuju Gaza. Netanyahu menganggap upaya ini mematahkan blokade Israel di wilayah Palestina.

    “Saya memuji para prajurit dan komandan angkatan laut yang menjalankan misi mereka pada Hari Yom Kippur dengan cara yang paling profesional dan efisien,” kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan, dilansir AFP, Jumat (3/10/2025).

    Netanyahu menyebut ada puluhan kapal yang dicegat tentaranya.

    “Tindakan penting mereka mencegah puluhan kapal memasuki zona perang dan menggagalkan kampanye delegitimasi terhadap Israel,” ujarnya.

    Lebih dari 400 aktivis pro-Palestina yang berada di atas 41 kapal dalam armada bantuan menuju Gaza ditahan oleh pasukan angkatan laut Israel, ungkap seorang pejabat Israel, Kamis.

    “Dalam operasi yang berlangsung sekitar 12 jam, personel Angkatan Laut Israel menggagalkan upaya penyerbuan besar-besaran oleh ratusan orang di atas 41 kapal yang telah menyatakan niat mereka untuk melanggar blokade keamanan maritim yang sah di Jalur Gaza,” kata pejabat tersebut.

    “Di akhir operasi, lebih dari 400 peserta dipindahkan dengan selamat ke pelabuhan Ashdod untuk diproses oleh polisi Israel,” tambahnya.

    Global Sumud Flotilla, yang melibatkan sekitar 45 kapal yang membawa para politisi dan aktivis dari berbagai negara termasuk aktivis Swedia Greta Thunberg, berangkat dari Spanyol bulan lalu dengan tujuan menembus blokade Israel atas Jalur Gaza, yang menurut PBB sedang dilanda kelaparan.

    Pasukan Israel mencegat kapal-kapal itu pada Rabu (1/10) waktu setempat, setelah memberikan peringatan agar mereka tidak memasuki perairan yang, menurut Tel Aviv, berada di bawah blokadenya. Kapal yang membawa Thunberg termasuk di antara kapal yang dicegah untuk berlayar lebih

    Lihat juga Video ‘Warga Los Angeles Demo Pro-Palestina, Protes Penangkapan Greta Cs’:

    (azh/azh)