Tag: Benjamin Netanyahu

  • Hamas Peringatkan Israel, Gencatan Senjata Bisa Gagal Jika Tak Dipatuhi – Halaman all

    Hamas Peringatkan Israel, Gencatan Senjata Bisa Gagal Jika Tak Dipatuhi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang pejabat senior Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) memperingatkan Israel bahwa ketidakpatuhan mereka terhadap gencatan senjata di Jalur Gaza telah menempatkannya dalam bahaya kehancuran.

    “Apa yang kita lihat dari penundaan dan kurangnya komitmen untuk melaksanakan tahap pertama… tentu saja membahayakan perjanjian ini dan dengan demikian dapat terhenti dan runtuh,” kata Bassem Naim, anggota biro politik Hamas, kepada Agence France-Presse (AFP) pada Sabtu (8/2/2025).

    Ia juga menekankan Hamas tidak ingin kembali “berperang” dengan Israel, yang dimulai setelah Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, dan mengatakan, “Kembali berperang tentu bukan keinginan atau keputusan kami.”

    Pejabat Hamas tersebut mengatakan kelompoknya bersedia melanjutkan perundingan gencatan senjata dengan Israel di Jalur Gaza.

    “Kami masih siap untuk berpartisipasi dalam tahap kedua perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza dengan Israel, namun Israel menunda-nunda memulai perundingan ini,” jelasnya.

    Netanyahu Kirim Delegasi ke Qatar

    Komentar pejabat Hamas tersebut muncul setelah media Israel melaporkan pada hari Sabtu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengirim delegasi ke Doha, Qatar, untuk menemui mediator dan berpartisipasi dalam tahap berikutnya dari perundingan gencatan senjata dengan Hamas.

    “Delegasi Israel yang akan berangkat ke ibu kota Qatar besok, Minggu (9/2/2025), tidak berwenang membahas tahap kedua kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata dengan Hamas,” lapor Otoritas Penyiaran Israel pada hari Sabtu.

    Otoritas Penyiaran Israel menjelaskan delegasi tersebut akan mencakup koordinator urusan tahanan dan orang hilang, Brigadir Jenderal (purn.) Gal Hirsch, dan mantan wakil kepala dinas keamanan internal (Shabak), tanpa mengungkapkan namanya.

    “Mengenai kewenangan delegasi Israel yang akan tiba di Doha, tidak berwenang untuk membahas tahap kedua kesepakatan tersebut,” lapornya.

    “Mandat yang diberikan tingkat politik kepada delegasi sejauh ini hanyalah mandat untuk membahas kelanjutan fase pertama kesepakatan,” lanjutnya.

    Laporan tersebut mengatakan pihak berwenang Israel mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ingin memperpanjang fase pertama kesepakatan tersebut selama mungkin.

    Negosiasi mengenai mekanisme pelaksanaan tahap kedua perjanjian itu dijadwalkan dimulai Senin (3/2/2025) lalu, pada hari ke-16 gencatan senjata, tetapi Haaretz mengutip seorang anggota delegasi Netanyahu (yang tidak disebutkan namanya) ke Washington yang mengatakan Netanyahu tidak akan berkomitmen untuk melaksanakan tahap kedua perjanjian tanpa menghilangkan Hamas.

    Sebelumnya, implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas mulai berlaku pada 19 Januari 2025 dan akan mencakup tiga tahap yang masing-masing berlangsung selama 42 hari.

    Selama tahap pertama, negosiasi diadakan untuk memulai tahap kedua dan ketiga, dengan mediasi Mesir dan Qatar serta dukungan dari sekutu Israel, Amerika Serikat.

    Sementara itu, warga Palestina di Jalur Gaza yang sebelumnya mengungsi ke berbagai wilayah kemudian kembali ke rumah mereka masing-masing sejak implementasi perjanjian gencatan senjata dimulai.

    Tim layanan kesehatan Gaza kembali melakukan pencarian korban tewas yang tertimbun reruntuhan selama serangan Israel di Jalur Gaza, meningkatkan jumlah kematian setidaknya 48.181 orang tewas dan 111.638 lainnya terluka menurut data hingga tanggal 8 Februari 2025, dikutip dari Anadolu.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

  • Sanksi Trump ke ICC Serangan Serius Atas Supremasi Hukum

    Sanksi Trump ke ICC Serangan Serius Atas Supremasi Hukum

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjatuhkan sanksi kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) karena melakukan penyelidikan menargetkan AS dan sekutu dekatnya, Israel. Sanksi yang dijatuhkan Trump tersebut dianggap serangan serius atas supremasi hukum.

    Dilansir AFP, Jumat (7/2), sanksi ini resmi dijatuhkan Trumpa setelah menandatangani perintah eksekutif yang menyebut ICC “menyalahgunakan kekuasaannya” dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, yang berkunjung ke Gedung Putih pada Selasa (4/2).

    Perintah eksekutif Trump yang diumumkan Gedung Putih itu juga menyebut ICC terlibat dalam “tindakan tidak sah dan tidak berdasar yang menargetkan Amerika dan sekutu dekat kami, Israel”. Hal ini tampaknya merujuk pada penyelidikan ICC atas dugaan kejahatan perang oleh personel militer AS di Afghanistan dan pasukan Israel di Jalur Gaza.

    Dalam penjatuhan sanksi, Trump memerintahkan pembekuan aset-aset dan larangan perjalanan terhadap para pejabat ICC, para pegawainya dan anggota keluarga mereka, ke AS. Sanksi itu juga berlaku untuk siapa pun yang dianggap membantu penyelidikan ICC terhadap AS dan Israel.

    Langkah Trump menjatuhkan sanksi untuk ICC itu menjadi bentuk dukungan setelah Netanyahu berkunjung ke Gedung Putih, yang diwarnai pengumuman mengejutkan soal rencana AS mengambil alih Jalur Gaza setelah merelokasi warganya ke negara-negara lainnya di Timur Tengah.

    79 Negara Kecam Trump

    Foto: Donald Trump (Getty Images via AFP/CHIP SOMODEVILLA)

    Sanksi yang dijatuhkan Trump kepada ICC ternyata mendapat kecaman keras dari sejumlah negara yang merupakan bagian dari ICC. Total ada 79 negara yang mengutuk keras tindakan Trump.

    Dalam pernyataan bersama, seperti dilansir AFP, Jumat (7/2/2025), pemberian sanksi kepada ICC meningkatkan risiko impunitas untuk kejahatan serius.

    Pernyataan bersama tersebut dipimpin oleh Slovenia, Luksemburg, Meksiko, Sierra Leone, dan Vanuatu.

    Pihak-pihak di ICC juga mengungkap kekhawatiran keputusan tersebut akan mengikis aturan hukum internasional.

    “Langkah-langkah tersebut meningkatkan risiko impunitas untuk kejahatan paling serius dan mengancam akan mengikis aturan hukum internasional, yang sangat penting untuk mempromosikan ketertiban dan keamanan global,” kata pernyataan bersama tersebut, yang dipimpin oleh Slovenia, Luksemburg, Meksiko, Sierra Leone, dan Vanuatu.

    Sanksi Trump Serangan Serius Atas Supremasi Hukum

    Foto: Donald Trump (Getty Images via AFP/CHIP SOMODEVILLA)

    Presiden Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Tomoko Akane mengecam sanksi Amerika Serikat (AS) yang diumumkan terhadap lembaganya. Tomoko menggambarkannya sebagai serangan serius terhadap tatanan hukum global.

    Perintah Presiden AS Donald Trump terhadap mahkamah tersebut adalah “serangan terbaru dalam serangkaian serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan meningkat yang bertujuan untuk melemahkan kemampuan Mahkamag untuk menegakkan keadilan”, kata Tomoko Akane dalam sebuah pernyataan dilansir AFP, Sabtu (8/2/2025).

    “Ancaman dan tindakan koersif seperti itu merupakan serangan serius terhadap Negara-Negara Pihak Mahkamah, tatanan internasional berdasarkan supremasi hukum dan jutaan korban,” tambahnya.

    Akane pun tegas menolak upaya Trump memengaruhi independensi ICC. “Kami dengan tegas menolak segala upaya untuk memengaruhi independensi dan imparsialitas Mahkamah atau mempolitisasi fungsi peradilan kami,” imbuh Akane.

    Ia mengatakan bahwa telah mencatat dengan “penyesalan yang mendalam” perintah Trump dan menekankan bahwa ICC “sangat diperlukan” mengingat kekejaman yang terjadi di seluruh dunia.

    Halaman 2 dari 3

    (maa/maa)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • bela Palestina, Parlemen Inggris Kecam Pernyataan Netanyahu Soal Pendirian Negara di Arab Saudi: Biadab

    bela Palestina, Parlemen Inggris Kecam Pernyataan Netanyahu Soal Pendirian Negara di Arab Saudi: Biadab

    PIKIRAN RAKYAT – Anggota parlemen dari Partai Buruh Inggris mengecam Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menyarankan agar warga Palestina mendirikan negara di Arab Saudi, bukan di tanah air mereka.

    Selama setahun terakhir, Arab Saudi bersikeras bahwa jalur yang jelas menuju negara Palestina merupakan prasyarat untuk menjalin hubungan resmi dengan Israel, sebuah gagasan yang dicemooh Netanyahu dalam sebuah wawancara dengan televisi.

    “Saudi dapat mendirikan negara Palestina di Arab Saudi; mereka memiliki banyak tanah di sana,” kata Netanyahu, menepis desakan kerajaan untuk mendirikan negara Palestina.

    ‘Netanyahu Biadab’

    Anggota Parlemen Buruh Afzal Khan, wakil ketua UK’s All-Party Parliamentary Group on British Muslims, menyebut usulan Netanyahu biadab.

    “Warga Palestina tidak membutuhkan lebih banyak pengungsian. Mereka membutuhkan tanah air yang bebas,” katanya.

    “Usulan biadab Netanyahu adalah pemindahan paksa penduduk dan rencana untuk membersihkan Gaza secara etnis,” ia menambahkan.

    Partai Buruh saat ini berkuasa, dan Khan mengatakan pemerintah telah menyatakan penolakan tegas terhadap rencana apa pun untuk menggusur warga Palestina.

    “Kami tegas menentang pelanggaran hukum internasional yang mencolok tersebut,” ujarnya.

    Ia mendesak Netanyahu untuk terlibat dengan rencana yang diusulkan Arab Saudi untuk memastikan warga Palestina dapat kembali ke negara Palestina yang merdeka dan memungkinkan Israel yang aman.

    Anggota parlemen Partai Buruh lainnya, Kim Johnson, mengatakan bahwa komentar Netanyahu tidak masuk akal dan menghina.

    “Masa depan Palestina harus ditentukan oleh rakyat Palestina, bukan didikte oleh kekuatan eksternal,” katanya, mendesak pemerintah untuk segera mengakui negara Palestina.

    “Menteri luar negeri harus menolak usulan Netanyahu dengan tegas,” lanjutnya.

    Kantor luar negeri Inggris menolak mengomentari pernyataan Netanyahu, tetapi pernyataan Perdana Menteri Keir Starmer bahwa warga Palestina harus diizinkan untuk membangun kembali.

    “Dan kita harus bersama mereka dalam perjalanan menuju solusi dua negara,” tegasnya.

    ‘Perkataan Penjahat Perang’

    Anggota Parlemen Independen Adnan Hussain juga menyerang komentar Netanyahu.

    “Saya tidak berpikir perkataan penjahat perang dengan surat perintah penangkapan atas namanya harus diberi kredibilitas atau kepentingan yang terlalu tinggi,” katanya.

    “Mimpinya tentang pemindahan massal rakyat Palestina adalah pengakuannya atas keinginannya untuk melakukan kejahatan perang yang lebih mengerikan,” tambahnya.

    Perkembangan terbaru ini terjadi ketika Arab Saudi dan Israel tampaknya semakin menjauh dari normalisasi hubungan, lebih dari setahun setelah pejabat AS mengklaim kesepakatan sudah dekat.

    Chris Doyle, ketua Council for Arab-British Understanding, mengatakan bahwa perdana menteri Israel tampaknya menentang Saudi untuk menegaskan maksudnya.

    Hubungan Saudi-Israel

    Netanyahu menyampaikan pernyataan tersebut saat melakukan kunjungan resmi kenegaraan ke AS, beberapa hari setelah Presiden Donald Trump mengumumkan rencananya untuk mengusir warga Palestina dari Gaza guna menjadikan daerah kantong itu sebagai “Riviera Mediterania”, dan AS mengambil alih wilayah tersebut.

    Trump mengklaim bahwa Arab Saudi tidak bersikeras pada negara Palestina sebagai syarat normalisasi, yang mendorong kementerian luar negeri Saudi untuk mengeluarkan pernyataan pada yang menegaskan bahwa sikap kerajaan terhadap negara Palestina tegas dan tidak tergoyahkan.

    Andreas Krieg, seorang profesor madya di Departemen Studi Pertahanan King’s College London,  mencatat bahwa pernyataan Netanyahu sama sekali tidak selaras dengan kebijakan sekitar 193 negara anggota PBB di luar AS dan Israel”, yang semuanya setuju bahwa Palestina memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dalam batas-batas historis Palestina.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Israel: Kelaparan Gaza Cuma Propaganda, 3 Sandera yang Dibebaskan Hamas Kurus Bak Korban Nazi – Halaman all

    Israel: Kelaparan Gaza Cuma Propaganda, 3 Sandera yang Dibebaskan Hamas Kurus Bak Korban Nazi – Halaman all

    Tuduh Kelaparan Gaza Cuma Propaganda, Israel Sebut 3 Sandera yang Dibebaskan Hamas Kurus Bak Korban Nazi

    TRIBUNNEWS.COM – Seolah menutup mata terhadap kondisi mengenaskan puluhan warga Gaza yang kelaparan, Israel memberi perhatian pada kondisi 3 sandera warga mereka yang baru dibebaskan Hamas pada Sabtu (8/2/2025).

    Tanpa melihat kondisi warga Gaza yang jauh lebih menderita, Israel menyatakan kalau tiga sandera mereka berada dalam kondisi kurus kering.

    “Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memerintahkan “tindakan yang tepat” untuk diambil bagi tiga sandera yang dalam kondisi kekurangan gizi parah,” tulis laporan media Israel, The Jerusalem Post, Sabtu.

    Diketahui, Pemimpin Israel tersebut saat ini sedang mengunjungi para pejabat Amerika Serikat (AS) di Washington, DC pada saat ketiga sandera Israel tersebut dibebaskan Hamas.

    Ketiga sandera tersebut, Or Levy, Eli Sharabi, dan Ohad Ben Ami dilaporkan media Israel telah kehilangan sekitar 30 persen dari berat badan keseluruhan mereka, menurut pemeriksaan medis awal yang dilaporkan ke Tel Aviv Sourasky Medical Center dan Sheba Medical Center, yang akan merawat mereka.

    Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Israel, Forum Sandera dan Keluarga Hilang, bahkan membandingkan gambar-gambar dari pembebasan hari Sabtu dengan gambar-gambar di kamp-kamp kematian Nazi, Jerman pada masa lampau.

    PEMBEBASAN SANDERA – Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic yang diambil pada Sabtu (8/2/2025), menunjukkan sandera Israel yang dibebaskan Hamas. Sebagai ganti 3 sandera, Israel akan membebaskan 183 tahanan Palestina. (Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic)

    LSM Israel itu menyatakan, “Gambar-gambar mengerikan dari Ohad, Eli, dan Or mengungkap korban yang sangat menyedihkan dari 491 hari penahanan Hamas. Mereka adalah orang-orang yang telah menanggung neraka itu sendiri. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.”

    “Gambar-gambar yang mengganggu ini menunjukkan kepada seluruh dunia kenyataan menyedihkan yang dihadapi setiap sandera yang masih ditahan di Gaza. Gambar-gambar ini mengingatkan kita pada gambar-gambar mengerikan dari pembebasan kamp-kamp pada tahun 1945, babak tergelap dalam sejarah kita (Israel),”

    Forum tersebut menyerukan “tahap kedua dari kesepakatan penyanderaan harus segera dilaksanakan.”

    Presiden Israel, Isaac Herzog mengatakan penurunan berat badan yang drastis dan kondisi serius yang dialami para sandera yang dibebaskan merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam sebuah unggahan di X/Twitter pada Sabtu.

    “Seluruh dunia harus melihat langsung ke Ohad, Or, dan Eli—yang kembali setelah 491 hari di neraka, kelaparan, kurus kering—dieksploitasi dalam tontonan sinis dan kejam oleh para pembunuh keji,” lanjutnya.

    “Kita terhibur dengan kenyataan bahwa mereka dikembalikan hidup-hidup ke pelukan orang-orang yang mereka cintai.”

    Presiden Israel menekankan pentingnya menyelesaikan kesepakatan penyanderaan, dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan “tugas kemanusiaan, moral, dan Yahudi.”

    Selain kelaparan, jutaan warga Gaza dibayangi ancaman risiko penyebaran penyakit dan wabah saat musim dingin tiba. Karena hujan yang membasahi tenda pengungsian Palestina akan menyebabkan penumpukan banjir limbah di area rendah. (Al Jazeera)

    Tuding Kondisi Kelaparan Warga Gaza Cuma Propaganda

    Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar menekankan kepada rekan-rekan internasionalnya di seluruh dunia pada Sabtu betapa beratnya kejahatan yang dilakukan Hamas terhadap para sandera Israel yang mereka tawan.

    Sa’ar justru menuding kondisi kelaparan serius ratusan ribu warga Gaza cuma propagada.

    “Selama lebih dari setahun, seluruh masyarakat internasional telah menari mengikuti alunan suara palsu dari apa yang disebut propaganda ‘kelaparan’ di Gaza.”

    “Namun, foto-foto itu tidak berbohong: Hamas dan penduduk Gaza tampak hebat. Para sandera Israel tampak seperti korban Holocaust dan merupakan satu-satunya orang dalam foto yang tampaknya menderita kelaparan. “

    “Hamas melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap warga sipil yang diculik,” lanjutnya. “Kejahatan Hamas-Nazi harus diberantas.”

    UNRWA: Kondisi Gaza Memburuk

    Tudingan Israel kalau kondisi warga Gaza cuma propaganda jelas bertolak belakangan dengan apa yang digambarkan Badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA.

    Badan PBB itu memperingatkan adanya potensi kelaparan akut yang akan menyerang lebih dari dua juta orang pengungsi di Jalur Gaza.

    Potensi ini diungkap setelah hujan deras telah memperparah situasi warga Palestina yang mengungsi akibat serangan selama 13 bulan.

    “Lebih dari dua juta orang telantar di Jalur Gaza yang hancur berisiko kelaparan dan kehausan karena memperoleh makanan telah menjadi tugas yang mustahil bagi keluarga di tengah pengeboman Israel yang tiada henti,” kata UNRWA.

    Dalam cuitan di media sosial X, badan tersebut mengatakan persediaan makanan yang masuk ke Gaza saat ini tidak memenuhi 6 persen dari kebutuhan penduduknya karena pengetatan yang dilakukan otoritas Israel.

    Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya penjarahan sistematis terhadap konvoi bantuan kemanusiaan yang ditujukan untuk warga Palestina.

    Alasan ini yang membuat dua juta pengungsi terancam mengalami kelaparan kehausan akut, akibat kurangnya pasokan makanan, di tengah pemboman brutal di wilayah utara Gaza, mengutip dari Arab News.

    Wabah Penyakit Mengancam Nyawa Pengungsi Gaza

    Selain kelaparan, jutaan warga Gaza dibayangi ancaman resiko penyebaran penyakit dan wabah saat musim dingin tiba.

    Juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Basal, berkata kepada Al Jazeera bahwa wilayah Gaza sedang mengalami kondisi tragis yang semakin sulit dengan turunnya hujan.

    Hujan yang membasahi kamp pengungsian Palestina menyebabkan penumpukan banjir limbah di area rendah.

    Hal ini dikhawatirkan akan memperburuk kondisi kesehatan masyarakat disana, terutama bagi mereka yang sudah mengalami kekurangan gizi.

    “Orang-orang yang sudah kekurangan gizi akan menjadi semakin rentan terhadap penyakit, karena semua ini berkontribusi terhadap kondisi kesehatan yang semakin buruk,” kata Louise Wateridge, juru bicara UNRWA.

    Tak hanya itu, banjir akibat hujan dan air pasang juga turut menghancurkan tenda-tenda darurat, membuat banyak pengungsi kehilangan tempat berlindung.

    Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan bahwa sekitar 10 ribu tenda hanyut atau rusak akibat badai. Sebanyak 81 persen tenda bahkan tak bisa lagi digunakan.

    Beberapa pengungsi bahkan terpaksa menggali parit untuk mengalirkan air keluar dari tenda yang mereka tinggali.

    Keadaan ini menunjukkan betapa penderitaan mereka tidak hanya berasal dari perang, tetapi juga dari alam yang menambah kesulitan hidup.

    “Curah hujan telah menyebabkan kerusakan parah pada tenda-tenda yang menampung ribuan orang pengungsi, air mengalir ke dalam tenda-tenda dan merusak barang bawaan serta kasur,” tutur Basal.

    Mengantisipasi situasi Gaza yang semakin memburuk, Kantor Media Pemerintah Gaza mendesak komunitas internasional untuk memberikan tenda bagi warga Gaza yang mengungsi agar bisa melindungi mereka dari hujan dan dingin.

    Organisasi internasional juga turut menyerukan pembukaan jalur bantuan tanpa hambatan agar kebutuhan dasar seperti makanan, perlindungan, dan obat-obatan dapat segera terpenuhi.

    Rumah Sakit Gaza dalam Kondisi Kritis

    Terpisah, ditengah situasi Gaza yang memprihatinkan Rumah Sakit Al-Aqsa di Deir el-Balah, Gaza tengah, dan rumah sakit lain di seluruh Jalur Gaza saat ini menghadapi kondisi sangat buruk.

    Rekan medis yang berada di Rumah Sakit Al-Aqsa mengatakan bahwa mereka kewalahan, dan sumber daya medisnya telah terkuras karena mengatasi masuknya ratusan pasien, dengan staf dan ruang operasi yang sangat terbatas.

    Seorang pejabat kesehatan di Gaza telah memperingatkan bahwa semua rumah sakit di daerah kantong yang diblokade itu terpaksa menghentikan atau mengurangi layanan dalam waktu 48 jam.

    “Kami mengeluarkan peringatan mendesak karena semua rumah sakit di Gaza akan berhenti beroperasi atau mengurangi layanan mereka dalam waktu 48 jam. Pendudukan (Israel) menghalangi masuknya bahan bakar,” kata Direktur Rumah Sakit Lapangan Gaza, Marwan Al-Hams.

     

    (oln/tjp/aja/*)

     

  • ‘Kami Adalah The Day After’, Al-Qassam Kirim Pesan Menentang Israel Saat Pembebasan Sandera – Halaman all

    ‘Kami Adalah The Day After’, Al-Qassam Kirim Pesan Menentang Israel Saat Pembebasan Sandera – Halaman all

    “Kami Adalah The Day After’, Al-Qassam Kirim Pesan Menentang Israel Saat Pembebasan Sandera

    TRIBUNNEWS.COM – Brigade Al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Palestina Hamas, mengibarkan spanduk besar di lokasi pertukaran tahanan kelima di Gaza pada Sabtu (8/2/2025), dengan tulisan: “Kami adalah banjir… Kami adalah hari berikutnya.” 

    Pesan tersebut, yang ditulis dalam bahasa Arab, Ibrani, dan Inggris, secara luas dinilai sebagai respons langsung terhadap tuntutan Israel agar Hamas melepaskan kendali atas Gaza.  

    Israel belakangan memang sibuk membahas ‘The Day After’ seputar siapa yang akan mengelola Gaza pasca-perang.

    Israel menyatakan, tidak mau Hamas berkuasa di wilayah kantung Palestina tersebut namun gagal melenyapkan gerakan tersebut dalam bombardemen buta selama 15 bulan agresi militer darat.

    Spanduk tersebut menampilkan bendera Palestina di samping gambar kepalan tangan yang terangkat, melambangkan pembangkangan. 

    Frasa “Kami adalah hari berikutnya”  (We Are The Day After) muncul beberapa hari setelah laporan kalau Israel mengusulkan pengasingan pemimpin Hamas dari Gaza sebagai syarat untuk melanjutkan negosiasi gencatan senjata tahap dua.

    Presiden AS Donald Trump juga baru-baru ini merujuk pada usulan untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza ke Mesir, Yordania, atau negara lain.  

    Menurut situs berita Israel, Walla, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan kepada pejabat AS di Washington kalau setiap perjanjian di masa depan mengenai Gaza harus mencakup kepergian pimpinan senior Hamas. 

    Sementara itu, Otoritas Penyiaran Israel (KAN) melaporkan kalau sejumlah beberapa pejabat Israel memang bersedia menerima keberlanjutan eksistensi politik Hamas, namun mereka menentang kehadirannya di Gaza.

    Mereka juga membandingkan rencana deportasi para pemimpin Hamas itu dengan pengasingan pemimpin gerakan PLO ke Tunisia pada tahun 1980-an.  

     Proses pertukaran tahanan dilanjutkan di Deir al-Balah, Gaza tengah, dengan peningkatan kehadiran para petempur Al-Qassam yang mengawasi penyerahan tersebut. 

    Kerumunan warga Palestina berkumpul di lokasi tersebut untuk menyaksikan pemindahan tahanan ke Komite Palang Merah Internasional.  

    Dengan selesainya gelombang kelima, Al-Qassam telah membebaskan total 16 tawanan Israel sebagai ganti tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel.

    PEMBEBASAN SANDERA – Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic yang diambil pada Sabtu (8/2/2025), menunjukkan 3 sandera Israel yang dibebaskan pada hari yang sama, berdiri di atas panggung bersama pejuang Hamas. (Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic)

    Foto Bersama di Atas Panggung

    Pada Sabtu Israel akan membebaskan 183 tahanan Palestina, termasuk 18 orang yang menjalani hukuman seumur hidup sebagai imbalan pembebasan 3 sanderanya.

    Para sandera Israel itu adalah Eli Sharabi (52), Or Levy (34), dan Ohad Ben Ami (56) dibebaskan dari lokasi di Deirel Balah, Gaza tengah.

    Keputusan ini merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata yang telah dijalin antara Israel dan Hamas.

    Dalam pembebasan tersebut, Hamas menyiapkan sebuah panggung yang dimeriahkan oleh puluhan pejuang Hamas.

    Dalam suasana tersebut, ketiga sandera tersebut bahkan terlihat berfoto bersama di atas panggung sebelum serah terima dilakukan.

    Setelah proses pembebasan, mereka dibawa oleh anggota Komite Internasional Palang Merah untuk memastikan keselamatan mereka.

    Sebagai imbalan atas pembebasan tiga sandera ini, Israel sepakat untuk melepaskan 183 tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel.

    Menurut laporan dari Times of Israel, kelompok tahanan ini akan dibebaskan dari dua lokasi berbeda:

    Penjara Keziot di Israel selatan dan Penjara Ofer di Tepi Barat yang diduduki.

    Di antara 183 tahanan yang dibebaskan, tujuh di antaranya akan diasingkan.

    Apa Langkah Selanjutnya Setelah Pembebasan?

    Mengutip Al Jazeera, gencatan senjata ini tidak hanya tentang pembebasan tawanan.

    Setelah ini, militer Israel dijadwalkan untuk menarik diri sepenuhnya dari Koridor Netzarim.

    Selain itu, Israel diharuskan untuk mengizinkan pergerakan bebas antara bagian selatan dan utara Jalur Gaza.

    Koridor Netzarim, yang telah dikuasai oleh militer Israel sejak awal perang, telah menghambat mobilitas di kawasan tersebut.

    Namun, warga diimbau untuk tetap berhati-hati saat melintasi area yang masih rawan tersebut.

    Bagaimana Dengan Negosiasi Selanjutnya?

    Dalam perkembangan berikutnya, negosiasi lanjutan diharapkan dimulai minggu ini untuk fase kedua gencatan senjata di Gaza.

    Negosiasi ini diharapkan dapat mencakup pertukaran lebih lanjut serta pengaturan peta jalan untuk mengakhiri perang.

    Namun, proses ini sempat terhambat setelah adanya konsultasi antara Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    Donald Trump melontarkan rencana yang menuai banyak kritik, yaitu rencana di mana AS akan mengambil alih Gaza sementara sebagian besar penduduk diungsikan.

    Sementara itu, situasi di Tepi Barat yang diduduki tetap tegang, dengan serangan militer Israel yang terus berlanjut, terutama di wilayah Jenin, Tulkarm, Tammun, dan kamp pengungsi Al-Fara.

    Hingga saat ini, puluhan orang telah tewas dan banyak yang ditahan dalam serangkaian operasi militer ini.

     

    (oln/PC/*)

  • Sandera Israel: Pemerintah Kami Gagal, Terima Kasih Al-Qassam Sudah Menjaga Saya Tetap Aman – Halaman all

    Sandera Israel: Pemerintah Kami Gagal, Terima Kasih Al-Qassam Sudah Menjaga Saya Tetap Aman – Halaman all

    Sandera Israel: Pemerintah Kami Gagal, Terima Kasih Al Qassam Sudah Menjaga Saya Tetap Aman

     

    TRIBUNNEWS.COM – Sandera Israel yang dibebaskan Hamas dalam putaran kelima tahap pertama pertukaran sandera-tahanan demi gencatan senjata Gaza mengirim pesan kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan pemerintah Israel, Sabtu (8/2/2025).

    Seperti diketahui, ada tiga sandera Israel yang dibebaskan Hamas dalam putaran kelima dengan imbalan pembebasan 183 tahanan Palestina dari penjara Israel.

    Tiga sandera itu adalah Eli Sharabi (52), Or Levy (34), dan Ohad Ben Ami (56) dibebaskan dari lokasi di Deir al Balah, Gaza tengah.

    Laporan PC, menyebutkan seorang sandera Israel menyatakan kalau pemerintah negaranya gagal dalam mencapai target di agresi militer di Gaza.

    Dia juga menyatakan rasa terima kasihnya kepada Brigade Al-Qassam yang justru bisa menjaganya secara aman dari bombardemen buta Israel selama agresi.

    “Pemerintah kami gagal, dan saya berterima kasih kepada Brigade Al-Qassam karena telah menjaga saya tetap aman,” kata seorang sandera Israel setelah dibebaskan Hamas, seperti dilansir PC, Sabtu.

    Adapun laporan RNTV menyatakan, sandera Israel yang dibebaskan, Or Levi, menyerukan upaya lanjutan untuk menyelesaikan tahapan perjanjian gencatan senjata dan memajukan negosiasi untuk fase kedua kesepakatan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.

    Dalam pernyataan setelah pembebasannya, Levi mendesak pemerintah Israel untuk terus melanjutkan negosiasi, sambil menekankan pentingnya melanjutkan upaya untuk mengakhiri agresi.

    Ia juga mengirim pesan kepada keluarga tawanan Israel, mendesak mereka untuk melanjutkan upaya mereka untuk menyelesaikan kesepakatan secara penuh.

    Hal ini terjadi saat negosiasi internasional terus berlanjut mengenai tahap kedua perjanjian, dengan tekanan dari pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai resolusi yang memastikan pembebasan lebih banyak tahanan dan tawanan. 

    “Di sisi lain, keluarga tawanan Israel menyampaikan urgensi tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada waktu lagi yang terbuang dan menyerukan agar semua tawanan yang tersisa segera dipulangkan,” kata laporan RNTV.

    Dalam sebuah pernyataan, komite keluarga sandera Israel yang berada di tangan Hamas menekankan perlunya melanjutkan upaya hingga tawanan terakhir dibebaskan dari Gaza.

    Pernyataan itu muncul saat negosiasi untuk pertukaran tahanan lebih lanjut masih belum pasti, dengan meningkatnya tekanan dari keluarga dan mediator internasional untuk mengamankan pembebasan tambahan.

    SANDERA ISRAEL DIBEBASKAN – Foto ini diambil pada Selasa (4/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (1/2/2025), menunjukkan sandera Israel, Keith Siegel, melambaikan tangan kepada warga Palestina dengan didampingi anggota Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) selama pertukaran tahanan ke-4 pada Sabtu (1/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza. Tiga sandera Israel; Ofer Calderon, Yarden Bibas, dan Keith Siegel, dibebaskan dengan imbalan 183 tahanan Palestina. (Telegram Brigade Al-Qassam)

    Pengakuan Keith Siegel

    Pernyataan sandera Israel dalam pembebasan Sabtu ini mengingatkan pada pernyataan mantan sandera Israel, Keith Siegel, yang baru-baru ini dibebaskan setelah 15 bulan di Gaza.

    Saat dibebaskan Hamas, Keith menyatakan kalau pejuang perlawanan Palestina, Hamas, memastikan untuk memenuhi semua kebutuhannya selama masa penahanan.

    Dilansir PressTV, warga negara ganda AS-Israel tersebut, termasuk di antara tiga tawanan yang dibebaskan pada Sabtu (1/2/2025).

    Sebelum dibebaskan, Siegel merekam pesan video sebagai ucapan perpisahan dan terima kasih kepada Brigade Al-Qassam, sayap bersenjata Hamas.

    “Anda telah memperlakukan kami dengan baik selama 15 bulan terakhir,” ujarnya.

    Brigade Al-Qassam kemudian merilis video tersebut pada Minggu.

    “Para pejuang yang menjaga saya selama periode ini memastikan semua kebutuhan saya terpenuhi, mulai dari makanan, minuman, obat-obatan, vitamin, hingga perawatan mata, monitor tekanan darah, dan kebutuhan lainnya.”

    “Hamas juga memastikan makanan yang disediakan sesuai dengan kondisi kesehatan saya, seperti makanan vegetarian tanpa minyak.”

    “Para penjaga memperlakukan saya dengan baik,” tambahnya.

    PEMBEBASAN SANDERA – Tangkap layar yang diambil pada Senin (3/2/2025) menampilkan sandera Israel Keith Siegel diserahkan ke Palang Merah dan meninggalkan Kota Gaza, Sabtu (1/2/2025). Keith Siegel menyatakan Hamas memastikan untuk memenuhi semua kebutuhannya selama masa penahanan. (Tangkap layar YouTube Al Jazeera English)

    Di sisi lain, Siegel mengkritik pemerintah Israel karena tidak berbuat cukup untuk mencapai kesepakatan pembebasan para tahanan, sehingga memperpanjang perang yang menyebabkan banyak korban dan kerusakan.

    Gadi Moses, 80 tahun, tawanan tertua dan orang pertama yang dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, juga memberi tahu keluarganya bahwa ia “diperlakukan dengan hormat” selama di Gaza.

    Moses dibebaskan setelah 482 hari ditawan di Gaza pada Kamis (30/1/2025).

    Dalam pesan yang disampaikan kepada keluarganya, putranya mengatakan bahwa Moses hidup dalam kondisi yang sama dengan para penculiknya dan memakan makanan yang sama.

    “Ia hidup dalam kondisi yang sama dengan para penculiknya dan makan apa yang mereka makan bersama.”

    “Mereka juga memberinya buku-buku tentang lingkungan dan Islam serta kacamata baca.”

    “Pengeboman Israel sangat menakutkan baginya,” tambahnya.

    Hamas sebelumnya menyatakan, militer Israel berulang kali dan sengaja menargetkan lokasi tempat para tawanan Israel ditahan.

    Mereka menuduh Israel berusaha menyingkirkan tawanan mereka dengan segala cara.

    Seorang tawanan Israel lainnya yang dibebaskan pada akhir November lalu mengatakan bahwa para pejuang perlawanan melindunginya selama pemboman Israel di Gaza.

    Chen Goldstein-Almog dan tiga anaknya ditawan selama Operasi Banjir al-Aqsa pada Oktober 2023.

    Chen mengenang bahwa mereka tinggal di suatu tempat di belakang sebuah supermarket ketika serangan udara Israel menghantam di dekatnya.

    “Para penjaga kami, penculik kami, berdiri di atas kami, melindungi kami dengan tubuh mereka dari serangan.”

    Wanita Israel itu juga menceritakan, ia sempat bertanya kepada anggota Hamas apakah mereka akan dibunuh.

    “Tetapi mereka menjawab: Kami akan mati sebelum kalian.”

    Bus Tahanan Palestina Tiba di Ramallah

    Dalam laporan perkembangan pertukaran sandera-tahanan putaran kelima ini, RNTV memberikan update kalau bus-bus yang membawa tahanan politik Palestina yang dibebaskan tiba di Ramallah, Tepi Barat.

    Kantor Informasi Tahanan Palestina mengumumkan bahwa Israel akan membebaskan 183 tahanan politik Palestina pada hari Sabtu sebagai bagian dari gelombang kelima dari fase pertama kesepakatan pertukaran tahanan.

    Daftar tersebut mencakup 18 tahanan yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, 54 lainnya dengan hukuman berat, dan 111 tahanan dari Gaza yang ditangkap setelah 7 Oktober 2023.

    Berikut ini adalah pembagian tahanan Palestina yang akan dibebaskan dari Penjara Israel dalam gelombang ke-5:

    42 dari Tepi Barat
    Tiga dari Yerusalem
    27 dari Gaza
    111 tahanan politik dari Gaza ditangkap setelah 7 Oktober

    (oln/RNTV/*)

  • Pertukaran Tawanan Hari Ini: 3 Sandera Israel Dibebaskan Hamas, Apa yang Terjadi Selanjutnya? – Halaman all

    Pertukaran Tawanan Hari Ini: 3 Sandera Israel Dibebaskan Hamas, Apa yang Terjadi Selanjutnya? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pada Sabtu, 8 Februari 2025, Hamas membebaskan tiga sandera Israel.

    Eli Sharabi (52), Or Levy (34), dan Ohad Ben Ami (56) dibebaskan dari lokasi di Deirel Balah, Gaza tengah.

    Keputusan ini merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata yang telah dijalin antara Israel dan Hamas.

    Dalam pembebasan tersebut, Hamas menyiapkan sebuah panggung yang dimeriahkan oleh puluhan pejuang Hamas.

    Dalam suasana tersebut, ketiga sandera tersebut bahkan terlihat berfoto bersama di atas panggung sebelum serah terima dilakukan.

    Setelah proses pembebasan, mereka dibawa oleh anggota Komite Internasional Palang Merah untuk memastikan keselamatan mereka.

    Sebagai imbalan atas pembebasan tiga sandera ini, Israel sepakat untuk melepaskan 183 tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel.

    Menurut laporan dari Times of Israel, kelompok tahanan ini akan dibebaskan dari dua lokasi berbeda:

    Penjara Keziot di Israel selatan dan Penjara Ofer di Tepi Barat yang diduduki.

    Di antara 183 tahanan yang dibebaskan, tujuh di antaranya akan diasingkan.

    Apa Langkah Selanjutnya Setelah Pembebasan?

    Mengutip Al Jazeera, gencatan senjata ini tidak hanya tentang pembebasan tawanan.

    Setelah ini, militer Israel dijadwalkan untuk menarik diri sepenuhnya dari Koridor Netzarim.

    Selain itu, Israel diharuskan untuk mengizinkan pergerakan bebas antara bagian selatan dan utara Jalur Gaza.

    Koridor Netzarim, yang telah dikuasai oleh militer Israel sejak awal perang, telah menghambat mobilitas di kawasan tersebut.

    Namun, warga diimbau untuk tetap berhati-hati saat melintasi area yang masih rawan tersebut.

    Bagaimana Dengan Negosiasi Selanjutnya?

    Dalam perkembangan berikutnya, negosiasi lanjutan diharapkan dimulai minggu ini untuk fase kedua gencatan senjata di Gaza.

    Negosiasi ini diharapkan dapat mencakup pertukaran lebih lanjut serta pengaturan peta jalan untuk mengakhiri perang.

    Namun, proses ini sempat terhambat setelah adanya konsultasi antara Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    Donald Trump melontarkan rencana yang menuai banyak kritik, yaitu rencana di mana AS akan mengambil alih Gaza sementara sebagian besar penduduk diungsikan.

    Sementara itu, situasi di Tepi Barat yang diduduki tetap tegang, dengan serangan militer Israel yang terus berlanjut, terutama di wilayah Jenin, Tulkarm, Tammun, dan kamp pengungsi Al-Fara.

    Hingga saat ini, puluhan orang telah tewas dan banyak yang ditahan dalam serangkaian operasi militer ini.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Anggota Parlemen Inggris Kecam Seruan Biadab Netanyahu yang Sarankan Negara Palestina di Tanah Saudi – Halaman all

    Anggota Parlemen Inggris Kecam Seruan Biadab Netanyahu yang Sarankan Negara Palestina di Tanah Saudi – Halaman all

    Anggota Parlemen Inggris Kecam Seruan Netanyahu yang Sarankan Negara Palestina di Tanah Arab Saudi

    TRIBUNNEWS.COM- Anggota parlemen dari Partai Buruh Inggris mengecam Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menyarankan agar warga Palestina mendirikan negara di Arab Saudi dan bukan di tanah air mereka.

    Riyadh telah menegaskan selama setahun terakhir bahwa jalur yang jelas menuju negara Palestina merupakan prasyarat untuk menjalin hubungan resmi dengan Israel, sebuah gagasan yang dicemooh Netanyahu dalam wawancaranya dengan Channel 14 Israel pada hari Kamis.

    “Saudi dapat mendirikan negara Palestina di Arab Saudi; mereka punya banyak tanah di sana,” kata Netanyahu, menepis desakan kerajaan itu untuk mendirikan negara Palestina.

    Dalam komentar yang disampaikan kepada Middle East Eye, Anggota Parlemen Partai Buruh Afzal Khan, wakil ketua Kelompok Parlemen Semua Partai Inggris untuk Muslim Inggris, menyebut usulan Netanyahu sebagai “biadab”.

    “Warga Palestina tidak membutuhkan lebih banyak pengungsian. Mereka membutuhkan tanah air yang bebas,” ungkapnya, seraya menambahkan, “Usulan biadab Netanyahu adalah pemindahan paksa penduduk dan rencana pembersihan etnis di Gaza.”

    Partai Buruh saat ini berkuasa, dan Khan mengumumkan bahwa pemerintah “telah menyatakan penolakan tegas terhadap rencana apa pun untuk menggusur warga Palestina. Kami berdiri teguh menentang pelanggaran hukum internasional yang mencolok tersebut”.

    Ia mendesak Netanyahu untuk “terlibat dengan rencana yang diusulkan Arab Saudi untuk memastikan warga Palestina dapat kembali ke negara Palestina yang merdeka dan memungkinkan terciptanya Israel yang aman”.

    Anggota parlemen Partai Buruh lainnya, Kim Johnson, mengatakan kepada MEE bahwa komentar Netanyahu “tidak masuk akal dan menghina”.

    “Masa depan Palestina harus ditentukan oleh rakyat Palestina, bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal,” imbuhnya, seraya mendesak pemerintah untuk segera mengakui negara Palestina.

    “Menteri luar negeri harus menolak usulan Netanyahu dengan tegas.”

    Kantor luar negeri Inggris menolak mengomentari pernyataan Netanyahu, tetapi mengarahkan MEE pada pernyataan Perdana Menteri Keir Starmer pada hari Rabu bahwa Palestina “harus diizinkan untuk membangun kembali, dan kita harus bersama mereka dalam perjalanan menuju solusi dua negara”.

    Anggota parlemen independen Adnan Hussain juga menyerang komentar Netanyahu.

    “Saya tidak menganggap perkataan seorang penjahat perang yang surat perintah penangkapannya ditulis atas namanya harus diberi kredibilitas atau kepentingan yang tinggi,” katanya kepada MEE.

    “Mimpinya tentang pemindahan massal rakyat Palestina merupakan pengakuannya atas keinginannya untuk melakukan kejahatan perang yang lebih mengerikan,” lanjutnya, seraya menambahkan, “Inggris harus memainkan perannya dalam mengakui dan menegakkan hak dan prinsip yang ditetapkan dengan jelas dalam hukum internasional.”

    Perkembangan terkini ini terjadi saat Arab Saudi dan Israel tampaknya semakin menjauh dari normalisasi hubungan – lebih dari setahun setelah pejabat AS mengklaim kesepakatan sudah dekat.

    Chris Doyle, ketua Council for Arab-British Understanding, mengatakan kepada MEE bahwa perdana menteri Israel tampaknya “menentang Saudi untuk menyampaikan maksudnya”.

    “Ia mencoba menunjukkan sikap negosiasi bahwa ia tidak putus asa untuk mencapai kesepakatan dengan Arab Saudi,” kata Doyle, seraya menambahkan, “Namun ia menginginkan kesepakatan. Ia menginginkan perjanjian bersejarah yang akan memisahkan Arab Saudi dari perjuangan Palestina.”

    Netanyahu menyampaikan pernyataan tersebut saat melakukan kunjungan resmi kenegaraan ke AS, beberapa hari setelah Presiden Donald Trump mengumumkan rencananya pada hari Selasa untuk mengusir warga Palestina dari Gaza dan menjadikan daerah kantong itu sebagai “Riviera Mediterania”, dengan AS mengambil alih wilayah tersebut.

    Trump mengklaim bahwa Arab Saudi tidak memaksakan negara Palestina sebagai syarat normalisasi, sehingga mendorong Kementerian Luar Negeri Saudi mengeluarkan pernyataan pada pukul 4 pagi yang menegaskan bahwa sikap kerajaan terhadap negara Palestina adalah “tegas dan tidak tergoyahkan”.

    Doyle mengatakan Riyadh menyadari “mereka tidak mampu meninggalkan Palestina saat ini, di dalam negeri jika tidak ada alasan lain. Kemarahannya akan sangat ekstrem.”

    Andreas Krieg, seorang profesor madya di Departemen Studi Pertahanan King’s College London, setuju.

    “Saya kira Saudi tidak memandang normalisasi sebagai sesuatu yang realistis dengan adanya pemerintahan Israel saat ini,” katanya kepada MEE.

    “Ini adalah komentar politik yang dibuat oleh Netanyahu untuk menenangkan basisnya, yang khawatir bahwa Netanyahu harus membuat konsesi kepada Palestina untuk mendapatkan normalisasi dengan Arab Saudi,” tambahnya.

    “Seperti halnya Trump, ini adalah narasi politik populis yang dapat berubah jika Israel serius terlibat dengan Arab Saudi.”

    Krieg mencatat bahwa pernyataan Netanyahu “sama sekali tidak sejalan dengan kebijakan sekitar 193 negara anggota PBB di luar AS dan Israel”, yang semuanya setuju bahwa Palestina memiliki “hak untuk menentukan nasib sendiri dalam batas-batas historis Palestina”.

    SUMBER: IFPNEWS

  • Ukraina Doakan Agar ICC Bisa Lanjutkan Pekerjaannya dan Adili Penjahat Perang Rusia – Halaman all

    Ukraina Doakan Agar ICC Bisa Lanjutkan Pekerjaannya dan Adili Penjahat Perang Rusia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk memberikan sanksi kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memicu beragam reaksi.

    Sanksi ini dianggap dapat meningkatkan risiko impunitas untuk kejahatan serius dan melemahkan hukum internasional.

    Ukraina juga berkomentar terkait keputusan Trump.

    Kyiv berharap Pengadilan Pidana Internasional dapat melanjutkan pekerjaannya untuk mengadili penjahat perang Rusia.

    Dikutip dari The Guardian, ICC sedang menyelidiki tuduhan kejahatan perang Rusia yang dilakukan selama invasinya ke Ukraina.

    Pada tahun 2023 mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Putin.

    “Kami berharap bahwa [sanksi] tersebut tidak akan memengaruhi kemampuan pengadilan untuk mencapai keadilan bagi para korban agresi Rusia,” kata Juru bicara kementerian luar negeri Ukraina, Georgiy Tykhy, Jumat (7/2/2025).

    “Ukraina terus bekerja sama dengan ICC untuk memajukan kasus-kasus tersebut,” tambahnya.

    Reaksi Pemimpin Dunia 

    Para pemimpin dunia juga mengirim reaksi keras terhadap sanksi Trump ke ICC.

    Pernyataan Bersama dari 79 Negara

    Pada Jumat (7/2/2025), 79 negara yang merupakan sekitar dua pertiga dari keanggotaan ICC, mengeluarkan pernyataan mendukung pengadilan tersebut.

    Mereka menegaskan, sanksi yang dijatuhkan Trump akan mengikis aturan hukum internasional yang penting untuk ketertiban dan keamanan global.

    Pernyataan tersebut dipimpin oleh Slovenia, Luksemburg, Meksiko, Sierra Leone, dan Vanuatu, serta didukung oleh negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, Jerman, Kanada, Brasil, dan Bangladesh.

    Dampak Sanksi

    Sanksi ini, yang termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap pejabat ICC dan keluarga mereka, dapat membahayakan kerahasiaan informasi sensitif dan keselamatan para korban serta saksi.

    “Sebagai pendukung kuat ICC, kami menyesalkan segala upaya untuk merusak independensi, integritas, dan imparsialitas pengadilan,” kata pernyataan tersebut.

    Langkah Trump diambil setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza.

    ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk para pemimpin Hamas terkait dugaan kejahatan perang.

    Omar Shakir, direktur Israel-Palestina di Human Rights Watch, mengkritik sanksi tersebut.

    Ia menyatakan, Trump menempatkan AS di pihak penjahat perang.

    “Negara-negara harus membela ICC karena telah melakukan tugasnya memastikan tidak seorang pun kebal hukum,” tegasnya.

    Dukungan dari Belanda

    Perdana Menteri Belanda Dick Schoof menyatakan, negaranya akan berupaya memastikan ICC dapat terus beroperasi meskipun ada sanksi AS.

    “Sebagai negara tuan rumah, kami memiliki tanggung jawab untuk menjamin kelancaran fungsi pengadilan pidana setiap saat,” ungkap Schoof.

    Belanda berkomitmen untuk mendukung ICC dan menegaskan pentingnya pengadilan tersebut dalam menjaga perdamaian dan keadilan global.

    Keputusan Trump untuk menjatuhkan sanksi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara pendukung ICC, yang khawatir akan dampak jangka panjang terhadap hukum internasional dan upaya penegakan keadilan global.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Trump Jatuhkan Sanksi ICC: Reaksi Uni Eropa dan Aktivis HAM – Halaman all

    Trump Jatuhkan Sanksi ICC: Reaksi Uni Eropa dan Aktivis HAM – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini menandatangani Perintah Eksekutif yang menjatuhkan sanksi kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan stafnya.

    Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap penyelidikan ICC terhadap Israel, sekutu dekat AS, terkait dugaan kejahatan perang.

    Reaksi Internasional

    Keputusan Trump ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa dan organisasi hak asasi manusia.

    Presiden Dewan Eropa, Antonio Costa, menyatakan bahwa sanksi tersebut mengancam independensi ICC dan merusak sistem peradilan pidana internasional secara keseluruhan.

    Belanda, sebagai negara tuan rumah ICC, juga menyesalkan langkah ini, menekankan pentingnya peran pengadilan dalam memerangi impunitas.

    Amnesty International menyebut tindakan tersebut sebagai tindakan ceroboh, sementara PBB dan ahli hukum menganggapnya ilegal menurut hukum internasional.

    Isi Perintah Eksekutif

    Dalam Perintah Eksekutifnya, Trump menuduh ICC terlibat dalam tindakan tidak sah yang menargetkan AS dan Israel.

    Dia juga menilai bahwa ICC telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant.

    Perintah ini menyatakan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas Amerika Serikat atau Israel, dan tindakan pengadilan ini menciptakan preseden berbahaya bagi kedua negara.

    Trump mengumumkan keputusan ini saat Netanyahu berada di Washington, di mana mereka juga mengadakan pembicaraan di Gedung Putih.

    Sanksi yang Dikenakan

    Sanksi yang dapat dikenakan mencakup pemblokiran properti dan aset serta larangan masuk bagi pejabat, karyawan, dan kerabat ICC ke Amerika Serikat.

    Tanggapan Netanyahu

    Menanggapi keputusan Trump, Netanyahu menyambut baik sanksi tersebut.

    Dalam sebuah posting di X, dia mengucapkan terima kasih kepada Trump atas langkah berani ini, yang dianggapnya sebagai perlindungan terhadap kedaulatan Israel dan Amerika Serikat dari apa yang disebutnya sebagai pengadilan anti-Amerika dan anti-Yahudi.

    Keputusan Trump untuk menjatuhkan sanksi kepada ICC telah memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, menyoroti ketegangan antara negara-negara besar dan lembaga peradilan internasional.

    Dengan ICC yang beranggotakan 125 negara, langkah ini dapat memengaruhi dinamika hukum internasional dan kerja sama dalam penegakan hukum terhadap kejahatan berat.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).