Tag: Benjamin Netanyahu

  • Arsitek ‘Rencana Para Jenderal’ IDF: Ada 3 Kesalahan yang Bikin Israel Gagal Total di Gaza – Halaman all

    Arsitek ‘Rencana Para Jenderal’ IDF: Ada 3 Kesalahan yang Bikin Israel Gagal Total di Gaza – Halaman all

    Arsitek ‘Rencana Para Jenderal’ IDF: Ada 3 Kesalahan yang Bikin Israel Gagal Total di Gaza

    TRIBUNNEWS.COM – Mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Jenderal (Purn), Giora Eiland, dilansir media Israel, Maariv, mengatakan kalau militer Israel (IDF) telah gagal total dalam perang Gaza.

    Sebagai informasi, Eiland, adalah arsitek dari wacana operasi ‘Rencana Para Jenderal’ (The Generals Plan) yang bermaksud untuk mengusir warga Gaza Utara dan mengosongkan wilayah itu sepenuhnya untuk dijadikan buffer zone, zona penyangga keamanan dari teritorial pendudukan Israel.

    Eiland dalam laporan tersebut menambahkan kalau kekalahan Israel dalam perang Gaza dapat diukur dengan mengetahui “pihak mana yang mencapai tujuannya dan pihak mana yang memaksakan kehendaknya pada pihak lain.”

    Dalam konteks ini, pensiunan jenderal IDF itu mencontohkan betapa Hamas mampu membuat pasukan IDF mundur dari Poros Netzarim.

    “Berdasarkan kesepakatan Gaza, Israel membuka perbatasan Rafah dan menarik diri dari poros Netzarim, sementara ribuan warga Palestina kembali ke utara,” tambahnya.

    ARSITEK PENGUSIRAN – Inisiator Rencana Para Jenderal, Mayor Jenderal Giora Eiland saat masih aktif di Militer Pendudukan Israel (IDF). Rencana ini dimaksudkan untuk mengosongan wilayah Gaza Utara dari penduduknya. (TNA/Tangkap Layar)

    Seputar The Generals Plan

    Nama ‘Rencana Para Jenderal’ tersebut pertama kali disebutkan di media Israel pada awal September 2024. 

    Rencana tersebut merupakan rencana militer dua tahap, menurut apa yang diumumkan oleh Forum Perwira Cadangan dan Prajurit IDF.

    Tahap pertama rencana tersebut menyerukan pemindahan penduduk yang tersisa di Jalur Gaza utara, yang akan dinyatakan sebagai zona militer selama tahap kedua.

    “Dan eksperimen tersebut kemudian digeneralisasikan ke seluruh Jalur Gaza,” tulis ulasan Khaberni dikutip Jumat (14/2/2025).

    Rencana tersebut juga menyerukan untuk mengubah wilayah utara poros Netzarim menjadi zona militer tertutup dan memaksa sekitar 300.000 warga Palestina di Jalur Gaza utara mengungsi (pengusiran paksa) dalam waktu seminggu.

    Rencana tersebut bertujuan untuk menghilangkan sepenuhnya keberadaan Hamas di Jalur Gaza utara dengan mengosongkan wilayah tersebut dari penduduknya, mengubahnya menjadi zona militer tertutup, dan mencegah masuknya bantuan.

    KORIDOR NETZARIM – Foto yang diambil dari The Times of Israel tanggal 10 Februari 2025 memperlihatkan pemandangan koridor Netzarim di Jalur Gaza. Pasukan Israel mulai mundur dari Netzarim. (The Times of Israel/Emmanuel Fabian)

    3 Kesalahan Israel

    Sebelum perjanjian gencatan senjata Hamas-Israel terjadi dalam kerangka pertukaran sandera-tahanan, surat kabar Israel Yedioth Ahronoth pernah menerbitkan sebuah artikel oleh Eiland di mana ia mengkritik strategi militer Israel dalam perang di Gaza.

    Dalam kritiknya, Eiland menunjukkan kalau tekanan militer saja tidak cukup untuk mencapai target perang Israel di Jalur Gaza.

    Dia juga menjabarkan sejumlah kesalahan yang dilakukan Israel dalam konteks perangnya di Gaza selama agresi 15 bulan yang berujung kegagalan.

    Dalam artikelnya yang berjudul “Kesimpulan Perang Gaza: Tekanan Militer Tidaklah Cukup,” pensiunan jenderal Israel itu menegaskan kalau salah satu kesalahan terbesar Israel adalah mengadopsi narasi Amerika Serikat (AS) yang menyamakan Gerakan Perlawanan Palestina Hamas dengan ISIS.

    Menurut Eiland, Hamas bukan sekadar “organisasi perlawanan yang memaksakan kekuasaannya kepada rakyat Gaza,” tetapi lebih merupakan “Negara Gaza” yang mendeklarasikan perang terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.

    Dalam konteks sebagai ‘negara’, Eiland menggarisbawahi kalau perang antarnegara biasanya melibatkan penerapan blokade ekonomi terhadap musuh.

    Menurut pandangan ini, Israel tidak berkewajiban menyediakan semua kebutuhan pokok Gaza dalam perang ini, tetapi dapat saja memperketat pengepungan lebih jauh dan lebih ketat, klaimnya.

    Kesalahan kedua yang ditunjukkan Eiland adalah kegagalan Israel untuk mengeksploitasi kelemahan “musuh”.

    Sebagaimana yang dikatakannya, “Perang bertujuan untuk memaksa pihak lain untuk bertindak melawan keinginannya,” dan menurut pendapatnya ada 3 cara utama untuk mencapai tujuan ini:

    Menerapkan sanksi ekonomi terhadap Hamas

    Cara ini, berarti melakukan blokade ketat dan menyeluruh terhadap kebutuhan apapun warga Gaza.

    Situasi ini, kata dia, akan menciptakan kemarahan dan kepahitan di kalangan penduduk, sehingga membuat mereka berbalik menentang Hamas.

    Ini adalah inti dari Rencana Para Jenderal yang diusulkan dan dilaksanakan di Gaza utara. 

    Mendukung Pemerintahan Alternatif di dalam Gaza

    Israel, kata dia, belum melaksanakan cara ini selama perang Gaza.

    Cara ini bertujuan untuk membuat kekuasaan tandingan bagi Hamas yang memiliki kendali kuat baik secara militer maupun secara sosial dan pemerintahan di Gaza.

    Ancaman kehilangan wilayah bagi warga Gaza (pengungsian paksa dengan kata lain), sebuah strategi yang belum dicoba Israel, klaimnya.

    Perlu dicatat, The General Plans yang diusung Eiland merupakan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan dalam perang genosida Israel di Gaza.

    Menurut sang jenderal, Israel telah memilih strategi tradisional yang hanya berfokus pada tekanan militer.

    “Ini merupakan kesalahan besar karena tidak memperhitungkan kalau Hamas telah mempersiapkan diri selama 15 tahun untuk menghadapi tekanan jenis ini,” katanya dalam analisis tersebut.

    Pasukan Israel (IDF) dari divisi infanteri cadangan melakukan patroli di wilayah Gaza Utara yang tampak rata tanah. Meski sudah beroperasi berbulan-bulan, IDF belum mampu membongkar kemampuan tempur Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas yang menjalankan taktik gerilya hit and run. (khaberni/HO)

    Israel Tanpa Visi Soal Gaza

    Kesalahan ketiga Israel yang disebutkan Eiland adalah kegagalan Israel untuk mengembangkan rencana politik yang jelas untuk masa depan Gaza setelah perang.

    Ia menunjukkan bahwa selama kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Israel setelah serangan 7 Oktober, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ditanya tentang rencana Israel untuk fase perang berikutnya, dan jawaban Netanyahu tidak berisi konten atau rencana spesifik apa pun.

    Alih-alih menjabarkan apa yang disebut sebagai ‘The Day After’ tersebut, Netanyahu malah berkata, “Ketika kita sampai pada hari berikutnya, kita (baru) akan berbicara tentang hari berikutnya.”

    Eiland memandang pernyataan Netanyahu sebagai ‘penghinaan dan pengabaian’ kebutuhan akan visi politik untuk mengelola fase pascaperang.

    Dalam kata-katanya, akan lebih baik jika pemerintah Israel menjelaskan posisinya kalau Israel tidak memiliki kepentingan teritorial atau politik di Gaza, tetapi lebih pada kepentingan keamanan dalam demiliterisasi total wilayah tersebut. 

    “Israel seharusnya siap membahas rencana apa pun dengan negara Arab atau Barat yang akan memberikan alternatif politik yang dapat memastikan perlucutan senjata permanen,” kata dia.

    Eiland mengakhiri artikelnya dengan menekankan bahwa Israel perlu mengevaluasi kembali strategi militer dan politiknya dalam perang di masa depan.

    Tekanan militer saja tidak cukup untuk mencapai tujuan utama dalam konflik.

    Sebaliknya, tekanan militer memerlukan pemikiran mendalam tentang cara-cara ekonomi dan politik yang dapat menyebabkan runtuhnya rezim yang bermusuhan dan mencapai tujuan keamanan dan politik dalam jangka panjang.

    Menurut sang jenderal, kegagalan dalam mengadopsi strategi ini dapat menyebabkan hasil yang tidak pasti dan memperpanjang perang di Jalur Gaza tanpa mencapai kemenangan menyeluruh.

     

    (oln/khbrn/*)

     
     

  • Hamas Umumkan Nama 3 Sandera Israel yang akan Dibebaskan dalam Putaran ke-6 Pertukaran Tahanan Besok – Halaman all

    Hamas Umumkan Nama 3 Sandera Israel yang akan Dibebaskan dalam Putaran ke-6 Pertukaran Tahanan Besok – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Hamas telah mengumumkan 3 nama sandera Israel yang akan dibebaskan pada Sabtu (15/2/2025), besok.

    Pembebasan sandera ini adalah fase keenam kesepakatan pertukaran tahanan dalam kesepakatan gencatan senjata Gaza.

    Ketiga sandera yang akan dibebaskan adalah Alexander (Sasha) Turbanov, Sagui Dekel-Chen, dan Yair Horn.

    Ketiga nama sandera ini telah diumumkan oleh juru bicara sayap militer kelompok perlawanan Palestina Hamas, Brigade Al-Qassam, Abu Ubaida dan juru bicara sayap militer Jihad Islam Palestina, Saraya Al-Quds, Abu Hamza pada hari Jumat (14/2/2025).

    “Brigade Al-Qassam telah memutuskan untuk membebaskan tahanan Zionis berikut besok, Sabtu: Alexander (Sasha) Turbanov, Sagui Dekel-Chen, dan Yair Horn,” kata Abu Ubaida, dikutip dari Anadolu Anjasi.

    “Saraya Al-Quds telah memutuskan untuk membebaskan tahanan Israel Alexander Turbanov besok, Sabtu,” kata Abu Hamza.

    Beberapa saat setelah Hamas mengumumkan ketiga nama sandera Israel, PM Netanyahu telah mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima tiga nama tersebut.

    Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan 369 tahanan Palestina.

    Kantor Media Tahanan Palestina mengatakan bahwa tahanan yang dibebaskan di antaranya adalah 36 orang yang menjalani hukuman seumur hidup dan 333 tahanan dari Gaza yang ditangkap setelah 7 Oktober 2024.

    Sebelumnya, Hamas telah menegaskan bahwa pihaknya akan menjalankan pertukaran sandera sesuai dengan jadwal.

    Keputusan ini diumumkan setelah pembicaraan dengan mediator dari Mesir dan Qatar yang berkomitmen untuk mengatasi hambatan dalam implementasi kesepakatan tersebut.

    Hamas juga mengatakan bahwa mediator dari Mesir dan Qatar telah berupaya menyelesaikan hambatan yang disebabkan oleh pelanggaran perjanjian oleh Israel dan menggambarkan negosiasi tersebut sebagai “positif.”

    “Saudara-saudara yang menjadi mediator di Mesir dan Qatar telah menegaskan bahwa mereka akan menindaklanjuti semua ini untuk menyingkirkan hambatan dan menutup kesenjangan,” demikian bunyi pernyataan tersebut, dikutip dari Al Jazeera.

    Kemudian Hamas menekankan bahwa mereka akan  melaksanakan perjanjian gencatan senjata sesuai dengan kesepakatan awal.

    “Oleh karena itu, Hamas menegaskan kembali posisinya untuk terus melaksanakan perjanjian sesuai dengan apa yang telah ditandatangani, termasuk pertukaran tahanan sesuai dengan jadwal yang ditentukan,” tegasnya.

    Upaya mediasi ini menyusul keputusan Hamas pada hari Senin untuk menangguhkan pembebasan tahanan Israel hingga Tel Aviv menghentikan pelanggarannya dan secara retroaktif mematuhi protokol kemanusiaan perjanjian tersebut.

    Selama gencatan senjata berlangsung, Hamas mencatat Israel telah melanggar beberapa kesepakatan.

    Di antaranya, serangan terhadap warga sipil dan penolakan akses terhadap bantuan kemanusiaan, seperti tenda dan karavan bagi warga yang mengungsi di Gaza.

    Sebagai informasi, pertukaran sandera ini adalah bagian dari kesepakatan gencatan senjata yang telah dimulai pada 19 Januari 2025.

    Selain perlindungan tahanan, perjanjian tersebut mencakup ketentuan penting lainnya.

    Seperti, pertukaran tahanan, pengiriman bantuan kemanusiaan untuk Gaza, serta diskusi terkait upaya de-eskalasi jangka panjang untuk mengurangi kekerasan yang sudah berlangsung lama.

    Gencatan senjata ini disepakati setelah genosida 16 bulan yang dilakukan oleh Israel, yang menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dan kerusakan yang meluas di Gaza.

    (Tribunnews.com/Farrah)

    Artikel Lain Terkait Gencatan Senjata Gaza

  • Hamas Mau Bebaskan 3 Sandera, Kantor Netanyahu: Belum Ada Deal, Perang Gaza Bisa Pecah Lagi Sabtu – Halaman all

    Hamas Mau Bebaskan 3 Sandera, Kantor Netanyahu: Belum Ada Deal, Perang Gaza Bisa Pecah Lagi Sabtu – Halaman all

    Hamas Mau Bebaskan 3 Sandera, Netanyahu: Belum Ada Deal, Perang Gaza Bisa Pecah Lagi Sabtu

    TRIBUNNEWS.COM – Otoritas Penyiaran Israel, KAN, melaporkan kalau Komando Selatan militer Israel (IDF) akan menggelar pertemuan untuk membahas perkembangan situasi di Jalur Gaza, Jumat (14/2/2025).

    Pertemuan itu membahas peluang diterimanya pembebasan 3 sandera Israel yang dijadwalkan dibebaskan Hamas pada Sabtu (15/2/2025) atau kemungkinan kembali bertempur, yang berarti gencatan senjata berakhir dan perang kembali pecah, kata laporan itu dikutip dari Khaberni.

     
    Kantor Netanyahu mengatakan saat ini belum ada kesepakatan dengan Hamas mengenai pembebasan sandera, tetapi ada persiapan untuk mengumumkannya secara resmi.

    Sempat menunda pembebasan, Hamas akhirnya mau membebaskan 3 sandera Israel sesuai jadwal pertukaran sandera tahap pertama. Namun, belakangan Israel meminta lebih banyak sandera untuk dibebaskan.
     
    “Keputusan sekarang ada di tangan Netanyahu apakah akan melanjutkan gencatan senjata atau kembali bertempur,” kata laporan tersebut dikutip Jumat.

    Adapun media lain Israel, Walla mengutip pernyataan seorang pejabat senior Israel mengabarkan kalau pihak Zionis tetap berharap pembebasan sandera tetap terjadi Sabtu besok dengan Hamas mengumumkan nama-nama sandera yang akan dibebaskan terlebih dulu.

    Walla menyiratkan, kemungkinan Israel akan menunda niat mereka untuk melanjutkan perang di Gaza setidaknya hingga pekan depan.

    “Kami berharap yang diculik akan dibebaskan besok, tetapi tampaknya krisis telah ditunda hingga minggu depan. Kami berharap menerima daftar hari ini melalui mediator berisi nama 3 orang yang diculik yang akan dibebaskan oleh Hamas besok,” kata pejabat tersebut dilansir Walla.

    PEMBEBASAN SANDERA – Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic yang diambil pada Sabtu (8/2/2025), menunjukkan sandera Israel yang dibebaskan Hamas. Sebagai ganti 3 sandera, Israel akan membebaskan 183 tahanan Palestina. (Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic)

    Ancaman Trump ke Hamas

    Seperti diketahui, Hamas akhirnya mau membebaskan sandera Israel kembali setelah sempat memanas akibat saling tuduh melanggar kesepakatan gencatan senjata.

    Diperkirakan Hamas akan membebaskan tiga sandera pada Sabtu (15/2/2025) besok.

    Adam Boehler, utusan Amerika Serikat (AS) untuk urusan penyanderaan, mengatakan kalau ancaman Presiden Donald Trump terhadap Hamas merupakan gambaran sikap terkait persoalan pertukaran sandera.

    Trump menyatakan, ‘Hell on Earth’ akan terjadi di Gaza kalau Hamas tidak membebaskan sandera Israel seusai jadwal. Hamas sempat mengumumkan, menunda pembebasan sandera karena Israel melanggar gencatan senjata.

    “Ancaman Trump terhadap Hamas adalah posisi presiden saat ini dan dia berhak untuk mengubah atau memodifikasinya. Saya harap Hamas telah mendengar dengan jelas dari Trump bahwa mereka harus mengatasi masalah penyanderaan,” kata Adam Boehler.

    Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani diperkirakan akan mengirimkan daftar tiga nama sandera tersebut kepada Kepala Mossad, David Barnea.

    Pembebasan sandera oleh Hamas ini diharapkan akan menyelesaikan krisis yang mengancam akan menggagalkan gencatan senjata yang sudah rapuh.

    Dikutip dari The Jerusalem Post, Hamas menyatakan bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk melaksanakan kesepakatan gencatan senjata Gaza.

    Kelompok itu juga menegaskan bahwa mereka akan terus membebaskan sandera “sesuai dengan jadwal”, yang berarti hanya tiga sandera pada hari Sabtu.

    Hal ini bertentangan dengan tuntutan Presiden AS Donald Trump untuk membebaskan “semua sandera” dan beberapa seruan oleh pejabat Israel untuk membebaskan kesembilan sandera yang masih hidup dan seharusnya dibebaskan selama sisa fase pertama kesepakatan.

    Sebelumnya, Hamas mengklaim Israel belum mengizinkan semua bantuan kemanusiaan yang disepakati untuk memasuki Gaza sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.

    Bahkan, menurut Hamas, Israel juga belum mengizinkan cukup banyak warga Palestina yang terpaksa pindah ke selatan untuk kembali ke utara.

    Sementara itu, Israel menuduh Hamas melanggar perjanjian, termasuk pada Kamis malam ketika militer mengatakan Hamas telah menembakkan roket dari Gaza yang mendarat di daerah kantong itu.

    Hamas, yang dipimpin oleh Kepala Biro Politik Khalil Al-Hayya sedang mengunjungi Kairo untuk melakukan pembicaraan dengan pejabat keamanan Mesir.

    Mereka mengatakan bahwa mediator Mesir dan Qatar akan terus berupaya “untuk menghilangkan hambatan dan menutup kesenjangan.”

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dijadwalkan tiba di kawasan tersebut, termasuk Israel, pada hari Sabtu.

    Sebuah sumber diplomatik mengatakan kepada Post bahwa ada kemungkinan Steve Witkoff, utusan Trump untuk Timur Tengah, akan berkunjung dalam beberapa hari mendatang.

    Dua pejabat mengatakan, tujuan saat ini adalah untuk mempercepat pembebasan sembilan sandera yang masih hidup.

    “Setelah melihat gambar kondisi para sandera minggu lalu, kami perlu membebaskan mereka secepat mungkin,” kata seorang sumber.

    Tujuan Israel lainnya adalah untuk memperluas daftar sandera yang dibebaskan pada tahap pertama.

    Kesepakatan saat ini menyebutkan Hamas akan membebaskan 33 sandera, beberapa di antaranya tewas, tetapi ada upaya untuk mengubah jumlah tersebut.

    “Setiap sandera adalah ‘kasus kemanusiaan’ – kriteria bagi mereka yang dibebaskan pada tahap pertama,” kata sumber tersebut.

    “Semua orang menunggu untuk melihat apa yang terjadi pada hari Sabtu,” lanjutnya.

    ANGGOTA BRIGADE AL-QASSAM – Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (1/2/2025), memperlihatkan anggota Brigade Al-Qassam membawa foto 7 komandan mereka yang terbunuh dalam serangan Israel, selama pertukaran tahanan ke-4 pada Sabtu (1/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza, dengan imbalan 183 tahanan Palestina. (Telegram Brigade Al-Qassam)

    Mesir dan Qatar Cari Solusi Kebuntuan

    Delegasi Hamas yang dipimpin oleh kepala kelompok itu di Gaza, Khalil Al-Hayya, bertemu dengan pejabat keamanan Mesir pada hari Rabu untuk mencoba memecahkan kebuntuan.

    Seorang pejabat Palestina yang dekat dengan perundingan tersebut mengatakan kepada Reuters bahwa mediator Mesir dan Qatar sedang berusaha mencari solusi untuk mencegah terulangnya kembali pertempuran.

    Dalam sebuah pernyataan, Hamas mengatakan para mediator memberikan tekanan agar kesepakatan gencatan senjata dilaksanakan sepenuhnya, memastikan Israel mematuhi protokol kemanusiaan dan melanjutkan pertukaran sandera Israel yang ditahan di Gaza dengan tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel pada hari Sabtu.

    Sebelumnya, Israel telah memanggil pasukan cadangan untuk bersiap menghadapi kemungkinan meletusnya kembali perang di Gaza.

    Israel pun mengancam jika Hamas gagal memenuhi tenggat waktu pada Sabtu (15/2/2025) besok tidak membebaskan lebih banyak sandera, gencatan senjata akan dibatalkan.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan gencatan senjata itu dimaksudkan untuk segera membebaskan para sandera yang ditawan dalam kondisi yang sulit di Gaza.

    “Jika Hamas menghentikan pembebasan sandera, maka tidak ada gencatan senjata dan yang ada adalah perang,” kata Katz.

     Katz menambahkan bahwa “perang Gaza yang baru” akan memiliki intensitas yang sama sekali berbeda dan “memungkinkan terwujudnya visi Trump untuk Gaza”.

    “Hamas tidak akan menerima bahasa ancaman Amerika dan Israel,” kata juru bicara Hamas Hazaem Qassem dalam sebuah pernyataan.

    “Kontak sedang dilakukan dengan negara-negara mediator untuk menyelesaikan pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata,” lanjutnya.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada hari Selasa bahwa Israel akan melanjutkan “pertempuran sengit” jika Hamas tidak memenuhi tenggat waktu, tetapi tidak mengatakan berapa banyak sandera yang harus dibebaskan.

    Netanyahu mengatakan dia telah memerintahkan militer untuk mengumpulkan pasukan di dan sekitar Gaza.

    Militer pun mengumumkan akan mengerahkan pasukan tambahan ke selatan Israel, dekat Gaza, termasuk memobilisasi pasukan cadangan.

     

    (oln/khbr/*)

     

  • AS Jatuhkan Sanksi Ekonomi kepada Kepala Jaksa ICC Karim Khan, Asetnya di AS Dibekukan – Halaman all

    AS Jatuhkan Sanksi Ekonomi kepada Kepala Jaksa ICC Karim Khan, Asetnya di AS Dibekukan – Halaman all

    Departemen Keuangan AS Jatuhkan Sanksi kepada Kepala Jaksa ICC Karim Khan, Jatuhkan Sanksi Ekonomi

    TRIBUNNEWS.COM- Departemen Keuangan AS mengumumkan pada 13 Februari bahwa mereka akan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap kepala jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Karim Khan, membekukan semua asetnya di AS dan melarangnya memasuki negara tersebut.

    Puluhan negara telah memperingatkan bahwa tindakan Washington terhadap ICC ‘mengancam akan mengikis supremasi hukum internasional’.

    Khan secara resmi ditambahkan ke dalam daftar Orang yang Ditunjuk Khusus dan daftar orang yang diblokir oleh Departemen Keuangan atas keputusannya untuk mengeluarkan “surat perintah penangkapan menargetkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Gallant.”

    “ICC tidak memiliki yurisdiksi atas Amerika Serikat atau Israel, karena tidak ada satu pun negara yang menjadi pihak dalam Statuta Roma atau anggota ICC,” demikian bunyi pernyataan dari pejabat AS.

    Pengumuman hari Kamis menyusul perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump minggu lalu yang menjatuhkan sanksi terhadap ICC.

    Sejak menjabat, Trump menuduh ICC melakukan “tindakan tidak sah dan tidak berdasar yang menargetkan Amerika dan sekutu dekat kita, Israel,” dengan mengklaim bahwa tindakan pengadilan tersebut menciptakan “preseden berbahaya” yang dapat membuat warga AS rentan terhadap “pelecehan, penyiksaan, dan kemungkinan penangkapan.”

    ICC memiliki yurisdiksi internasional untuk mengadili genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang di negara-negara anggota atau jika Dewan Keamanan PBB (DK PBB) merujuk suatu situasi. 

    Baik AS maupun Israel tidak mengakui yurisdiksi pengadilan yang berpusat di Den Haag tersebut.

    Hampir 80 negara baru-baru ini memperingatkan bahwa keputusan Trump dapat “meningkatkan risiko impunitas atas kejahatan paling serius dan mengancam untuk mengikis aturan hukum internasional.”

    Pada bulan November, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant karena menggunakan kelaparan sebagai senjata perang terhadap warga sipil Palestina di Gaza. 

    Gallant dan Netanyahu memberlakukan “pengepungan total” di jalur tersebut sebagai tanggapan atas Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, yang bertujuan untuk mengakhiri blokade Israel terhadap Gaza.

    “Kami tetap sangat prihatin dengan tindakan tergesa-gesa Jaksa Penuntut Umum untuk meminta surat perintah penangkapan dan kesalahan proses yang meresahkan yang menyebabkan keputusan ini. Amerika Serikat telah menegaskan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas masalah ini. Dalam koordinasi dengan mitra, termasuk Israel, kami sedang membahas langkah selanjutnya,” kata pejabat AS dari Gedung Putih Biden saat itu.

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • Korea Utara Tolak Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Kedaulatan Tidak Bisa Jadi Bahan Negosiasi – Halaman all

    Korea Utara Tolak Rencana Trump Ambil Alih Gaza: Kedaulatan Tidak Bisa Jadi Bahan Negosiasi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Korea Utara menolak dengan tegas usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk “mengambil alih” Jalur Gaza dan merelokasi warga Palestina ke negara lain.

    Usulan tersebut dianggap sebagai bentuk “pengusiran paksa warga Gaza”, menurut laporan dari Anadolu.

    Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor berita pemerintah Korea Utara, KCNA, Pyongyang menegaskan kedaulatan nasional tidak bisa menjadi bahan negosiasi, apalagi dengan Amerika Serikat.

    “Pada saat darah dan air mata masih tertumpah di Jalur Gaza dan kekhawatiran tumbuh di dalam dan luar negeri tentang keadaan yang rapuh ini, dunia dikejutkan oleh retorika keterlaluan yang menginjak-injak harapan Palestina akan perdamaian dan kehidupan yang stabil di kawasan tersebut,” ungkap Korea Utara.

    Kekhawatiran mengenai kondisi Gaza semakin meningkat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

    Usulan Trump dipandang sebagai tindakan yang menghancurkan harapan rakyat Palestina akan perdamaian, dianggap sangat tidak dapat diterima.

    KCNA juga mengkritik retorika keras tersebut yang dianggap merusak harapan rakyat Gaza untuk kehidupan yang lebih stabil.

    Selain itu, Korea Utara menilai usulan Trump sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum internasional, Middle East Monitor melaporkan.

    Hal ini tidak hanya menghambat upaya penyelesaian solusi dua negara untuk konflik Palestina-Israel, tetapi juga dianggap sebagai tindakan sembrono yang sama sekali tidak bisa diterima oleh dunia internasional.

    Meski tidak secara langsung menyebut nama Trump, KCNA mengecam kebijakan Washington yang dinilai mendukung “kekejaman tidak manusiawi” Israel, dengan mengutip pembelaan AS terhadap hak Israel untuk mempertahankan diri dan penyediaan teknologi senjata canggih yang digunakan oleh Israel.

    Usulan Trump ini pertama kali disampaikan pada 4 Februari, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    Trump menyatakan AS berencana untuk “mengambil alih” Gaza dan memindahkan warga Palestina ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.

    Ia menggambarkan rencananya sebagai suatu “pembangunan kembali luar biasa” yang dapat mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”.

    Usulan tersebut langsung mendapatkan penolakan luas, tidak hanya dari Palestina, tetapi juga dari banyak negara Arab dan masyarakat internasional, termasuk negara-negara besar seperti Kanada, Prancis, Jerman, dan Inggris.

    Bahkan, banyak pihak menilai rencana ini sebagai bentuk penindasan terhadap warga Palestina yang sudah lama menderita akibat konflik berkepanjangan di wilayah tersebut.

    Vatikan Tolak Relokasi Warga Gaza

    Menteri Luar Negeri Vatikan Pietro Parolin menjelaskan bahwa penduduk Palestina harus tetap berada di tanah mereka.

    “Ini adalah salah satu poin mendasar dari Tahta Suci: tidak ada deportasi,” katanya, seperti dikutip dari kantor berita ANSA.

    Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan resmi di Italia pada Kamis (13/2/2025).

    Parolin menambahkan memindahkan warga Palestina akan menciptakan ketegangan regional dan dianggap tidak masuk akal.

    Parolin juga mencatat bahwa negara-negara tetangga, termasuk Yordania, menolak usulan Trump tersebut.

    Paus Fransiskus juga turut bersuara mengenai isu ini.

    Ia mengkritik rencana Trump untuk deportasi massal migran yang tidak berdokumen di Amerika Serikat.

    Dia menekankan pentingnya martabat manusia, mengatakan bahwa memulangkan orang-orang yang melarikan diri dari negara mereka dalam keadaan sulit adalah tindakan yang merusak martabat para migran.

    Kepala perbatasan Trump, Tom Homan, menanggapi pernyataan Paus dengan mengharapkan agar pemimpin gereja tersebut tetap berpegang pada nilai-nilai Gereja Katolik.

    Ia berharap agar masalah penegakan hukum perbatasan diserahkan kepada timnya.

    Prancis Tolak Relokasi Warga Gaza

    Presiden Prancis Emmanuel Macron menolak usulan pengusiran warga Palestina dari Gaza.

    Macron menegaskan bahwa pengusiran hingga dua juta warga Palestina dari Gaza, seperti yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tidaklah tepat.

    Ia menyatakan, “Bagi saya, solusi di Gaza bukanlah solusi real estat. Ini adalah solusi politik.”

    Pernyataan ini menggambarkan keyakinan Macron bahwa masalah yang dihadapi di Gaza harus diselesaikan melalui pendekatan politik yang komprehensif, bukan dengan pemindahan paksa penduduk.

    Macron mengaitkan usulan Trump untuk membeli Greenland—wilayah otonomi di dalam Kerajaan Denmark—dengan apa yang ia sebut sebagai “ketidakpastian strategis ekstrem” yang sedang dialami dunia saat ini.

    Usulan tersebut, menurut Macron, mencerminkan sikap yang tidak bijaksana dan berbahaya dalam menangani isu-isu geopolitik.

    China Tolak Relokasi Warga Gaza

    Sebelumnya, Beijing telah menegaskan penentangannya terhadap rencana Trump yang ingin memindahkan warga Gaza ke tempat lain.

    Penolakan tegas ini disampaikan oleh pemerintah China dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (5/2/2025).

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan Gaza adalah wilayah Palestina dan merupakan bagian integral dari negara Palestina.

    China menyatakan mereka dengan tegas menolak setiap upaya pemindahan paksa warga Gaza.

    “Gaza adalah milik Palestina dan bagian dari wilayah yang tidak terpisahkan,” ujar Guo Jiakun, menanggapi pertanyaan tentang rencana Trump yang mengusulkan relokasi penduduk Gaza.

    China lebih lanjut menekankan bahwa pemerintah Palestina memiliki hak penuh untuk mengatur wilayah mereka tanpa adanya intervensi dari pihak luar.

    Beijing menganggap bahwa pemindahan paksa warga Gaza bertentangan dengan prinsip dasar mengenai hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.

    Sebelumnya, penolakan telah disuarakan oleh Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian.

    Jian mengatakan pemerintah meyakini warga Palestina yang berhak memerintah negara itu.

    “Itu adalah prinsip dasar pemerintah pasca konflik di Gaza,” kata Lin saat konferensi pers pada Rabu (5/2/2025), dikutip dari Anadolu Agency.

    “Kami menentang pemindahan paksa warga Gaza,” imbuhnya.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Erdogan Soal Relokasi Warga Gaza: Ancam Perdamaian Dunia!    
        Erdogan Soal Relokasi Warga Gaza: Ancam Perdamaian Dunia!

    Erdogan Soal Relokasi Warga Gaza: Ancam Perdamaian Dunia! Erdogan Soal Relokasi Warga Gaza: Ancam Perdamaian Dunia!

    Jakarta

    Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengecam rencana kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk memindahkan warga Palestina dari Jalur Gaza. Erdogan menyebut rencana Trump itu menjadi ancaman besar bagi perdamaian dunia.

    Komentar Erdogan itu, seperti dilansir Reuters, Jumat (14/2/2025), disampaikan dalam wawancara dengan televisi Indonesia, Narasi, pada Kamis (13/2) waktu setempat.

    Dalam wawancara itu, sang Presiden Turki menanggapi rencana Trump merelokasi lebih dari dua juta warga Gaza, mengambil alih kendali dan mengubah Gaza menjadi “Riviera-nya Timur Tengah”.

    “Saya memandang keputusan Trump untuk membuat perjanjian dengan pembunuh seperti (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu dan ancamannya sebagai ancaman besar terhadap perdamaian dunia,” kata Erdogan dalam wawancara tersebut.

    “Saat ini, tidak ada yang bisa mengambil Gaza dari warga Palestina, dari warga Gaza. Berani melakukan hal semacam ini, pertama-tama, merupakan ancaman yang sangat berbeda terhadap perdamaian dunia,” tegasnya.

    Erdogan dalam pernyataannya juga mengatakan dirinya tidak mendapati pernyataan Trump, hal yang disebutnya “tantangan bagi banyak negara di dunia”, sebagai hal yang benar.

    “Harapan saya adalah kesalahan-kesalahan seperti ini dapat diperbaiki sesegera mungkin, dan bagi raksasa global seperti Amerika Serikat untuk segera berbalik dari kesalahan-kesalahan ini sehingga perdamaian global dapat menemukan jalan keluarnya,” cetusnya.

    Trump mengejutkan dunia dengan mencetuskan gagasan kontroversial pekan lalu agar AS “mengambil alih” Gaza, dan bahkan mengusulkan “kepemilikan” atas Gaza. Dia membayangkan AS akan membangun kembali secara ekonomi wilayah yang hancur akibat perang itu.

    Namun rencana Trump itu hanya dilakukan setelah merelokasi warga Gaza ke negara-negara lainnya, seperti Yordania dan Mesir, tanpa ada rencana bagi mereka untuk kembali tinggal di sana.

    Baru-baru ini, Trump bahkan menyebut Gaza sebagai lokasi “pengembangan real estate untuk masa depan”, dan menegaskan warga Palestina tidak memiliki hak untuk kembali berdasarkan rencana pengambilalihan yang dilakukan AS.

    Rencana kontroversial Trump itu menuai penolakan dunia, dengan negara-negara Arab menyuarakan kemarahannya dan negara-negara Eropa menyatakan sangat prihatin.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Vatikan Tolak Usulan Trump: Penduduk Palestina Harus Tetap Berada di Tanahnya – Halaman all

    Vatikan Tolak Usulan Trump: Penduduk Palestina Harus Tetap Berada di Tanahnya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang pejabat tinggi Vatikan menolak usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza.

    Menteri Luar Negeri Pietro Parolin mengatakan “penduduk Palestina harus tetap berada di tanahnya.”

    “Ini adalah salah satu poin mendasar dari Tahta Suci: tidak ada deportasi,” kata Pietro Parolin di sela-sela pertemuan Italia-Vatikan, Kamis (13/2/2025), menurut kantor berita ANSA.

    Ia menyebut, memindahkan warga Palestina akan menyebabkan ketegangan regional dan “tidak masuk akal”.

    Menurutnya, negara-negara tetangga seperti Yordania juga menentang usulan Trump.

    “Menurut pendapat kami, solusinya adalah dua negara karena ini juga berarti memberi harapan kepada penduduk,” katanya.

    Pemimpin umat Katolik dunia, Paus Fransiskus, pada pekan ini telah mengkritik rencana Trump untuk deportasi massal migran tidak berdokumen di Amerika Serikat — yang memicu tanggapan tajam.

    Dalam suratnya kepada para uskup AS, Kepala Gereja Katolik menyebut deportasi tersebut sebagai “krisis besar”.

    Ia mengatakan, memulangkan orang-orang yang telah melarikan diri dari negara mereka sendiri dalam keadaan sulit “merusak martabat” para migran.

    Kepala perbatasan Trump, Tom Homan, menanggapi:

    “Saya berharap dia tetap berpegang pada Gereja Katolik dan memperbaikinya serta menyerahkan penegakan hukum perbatasan kepada kami.”

    Sebelumnya, Donald Trump telah mengusulkan untuk mengambil alih Jalur Gaza yang dilanda perang dan memindahkan lebih dari dua juta penduduknya ke Yordania atau Mesir.

    Para ahli mengatakan gagasan itu akan melanggar hukum internasional, tetapi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebutnya “revolusioner.”

    Pertemuan Trump dengan Raja Yordania

    Pada Selasa (11/2/2025), Donald Trump menjamu Raja Yordania Abdullah II di Gedung Putih dan mengulangi desakannya bahwa Gaza entah bagaimana dapat dikosongkan dari semua penduduk, dikontrol oleh AS, dan dibangun kembali sebagai kawasan wisata.

    Diberitakan AP News, ini adalah skema yang berani, tetapi sangat tidak mungkin, untuk mengubah Timur Tengah secara dramatis dan akan mengharuskan Yordania dan negara-negara Arab lainnya untuk menerima lebih banyak warga Gaza — sesuatu yang ditegaskan Abdullah setelah pertemuan mereka yang ia tentang.

    Pasangan itu bertemu di Ruang Oval dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio yang juga hadir.

    Trump mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menahan bantuan AS ke Yordania atau Mesir jika mereka tidak setuju untuk secara drastis meningkatkan jumlah orang dari Gaza yang mereka tampung.

    “Saya tidak perlu mengancam hal itu. Saya yakin kita berada di atas itu,” kata Trump.

    Hal itu bertentangan dengan usulan presiden dari Partai Republik sebelumnya bahwa menahan bantuan dari Washington adalah suatu kemungkinan.

    Sementara itu, Abdullah berulang kali ditanya tentang rencana Trump untuk membersihkan Gaza dan mengubahnya menjadi resor di Laut Mediterania.

    Ia tidak memberikan komentar substantif tentang hal itu dan tidak berkomitmen pada gagasan bahwa negaranya dapat menerima sejumlah besar warga Gaza.

    Namun, ia mengatakan bahwa Yordania bersedia “segera” menerima sebanyak 2.000 anak di Gaza yang menderita kanker atau sakit lainnya.

    “Saya akhirnya melihat seseorang yang dapat membawa kita melewati garis akhir untuk membawa stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan bagi kita semua di kawasan ini,” kata Abdullah tentang Trump dalam pernyataannya di awal pertemuan.

    BERKIBAR – Bendera Palestina berkibar di tengah puing reruntuhan di Kota Gaza, dalam foto tangkapan layar dari Khaberni, Kamis (6/2/2025). Amerika Serikat (AS) berencana mengambil alih kendali atas Gaza dengan dalil membangunnya kembali di segala sektor. (khaberni/tangkap layar)

    Abdullah meninggalkan Gedung Putih setelah sekitar dua jam dan menuju Capitol Hill untuk bertemu dengan sekelompok anggota parlemen bipartisan.

    Ia mengunggah di X bahwa selama pertemuannya dengan Trump, “Saya menegaskan kembali posisi teguh Yordania dalam menentang pemindahan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.”

    “Ini adalah posisi Arab yang bersatu. Membangun kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina dan mengatasi situasi kemanusiaan yang mengerikan harus menjadi prioritas bagi semua pihak,” ungkap Abdullah.

    Sebagai informasi, Yordania adalah rumah bagi lebih dari 2 juta warga Palestina.

    Menteri luar negeri Yordania, Ayman Safadi, mengatakan minggu lalu bahwa penentangan negaranya terhadap gagasan Trump tentang pemindahan penduduk Gaza adalah “tegas dan tidak tergoyahkan.”

    Selain kekhawatiran akan membahayakan tujuan jangka panjang solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, Mesir dan Yordania secara pribadi telah mengemukakan kekhawatiran keamanan tentang penerimaan sejumlah besar pengungsi tambahan ke negara mereka, meskipun untuk sementara.

    Trump sebelumnya mengisyaratkan bahwa penduduk Gaza bisa saja mengungsi sementara atau permanen, sebuah gagasan yang ditegur keras oleh para pemimpin di seluruh dunia Arab.

    Selain itu, Trump kembali mengusulkan bahwa gencatan senjata yang rapuh antara Hamas dan Israel dapat dibatalkan jika Hamas tidak membebaskan semua sandera yang masih ditahannya paling lambat Sabtu (15/2/2025) siang.

    Perkembangan Terkini Konflik Palestina Vs Israel

    Dilansir Al Jazeera, Hamas mengatakan pihaknya akan membebaskan tiga tawanan Israel dari Gaza pada hari Sabtu sesuai jadwal menyusul pembicaraan  dengan mediator gencatan senjata Mesir dan Qatar.

    Israel mengatakan Hamas harus membebaskan tiga tawanan hidup atau pasukan Israel akan kembali berperang di wilayah Palestina.

    Juru bicara Hamas Abdul Latif al-Qanou mengatakan bahasa ancaman yang dilontarkan terhadap Gaza oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak mendukung pelaksanaan gencatan senjata Gaza.

    Seorang pejabat senior PBB menyamakan kehancuran di Jalur Gaza dengan “gempa bumi dahsyat” dan mengatakan upaya harus dilakukan untuk menghindari “bencana kemanusiaan” yang berkelanjutan.

    Departemen Keuangan AS telah menjatuhkan sanksi kepada jaksa Pengadilan Kriminal Internasional Karim Khan atas penyelidikan badan tersebut terhadap kejahatan perang Israel di Gaza.

    Seorang penembak jitu Israel telah menembak mati seorang pria Palestina, sementara seorang anak terbunuh oleh persenjataan Israel yang tidak meledak, keduanya di Gaza tengah.

    Denmark telah menjanjikan tambahan 10,2 juta kroner ($1,4 juta) kepada badan PBB yang sedang terkepung untuk pengungsi Palestina (UNRWA), dan menambahkan bahwa sumbangan tahunannya sebesar 105 juta kroner ($14,7 juta) akan dicairkan segera daripada dibagi sepanjang tahun.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan Washington ingin mendengar usulan baru dari negara-negara Arab tentang masa depan Gaza setelah rencana Presiden Donald Trump untuk menggusur paksa penduduk wilayah itu ditegur keras.

    Kantor Media Pemerintah telah memperbarui jumlah korban tewas menjadi sebanyak 61.709 orang, dengan mengatakan ribuan orang yang hilang di bawah reruntuhan kini diduga tewas.

    Setidaknya 1.139 orang tewas di Israel selama serangan 7 Oktober 2023 dan lebih dari 200 orang ditawan.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina Vs Israel

  • Lima Cara Israel Melanggar Gencatan Senjata di Gaza, Tak Menghentikan Serangan Udara

    Lima Cara Israel Melanggar Gencatan Senjata di Gaza, Tak Menghentikan Serangan Udara

    PIKIRAN RAKYAT – Nasib perjanjian gencatan senjata di Gaza terancam setelah Hamas menuduh Israel melanggar ketentuan perjanjian tersebut. Para pemimpin Israel bereaksi dengan marah setelah keputusan kelompok Palestina tersebut untuk menunda pembebasan tawanan Israel atas dugaan pelanggaran.

    Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan dia akan melanjutkan perang jika lebih banyak tawanan tidak dibebaskan pada hari Sabtu.

    “Jika Hamas tidak mengembalikan sandera kami pada Sabtu siang gencatan senjata akan berakhir, dan IDF akan kembali bertempur sengit hingga Hamas akhirnya dikalahkan,” katanya dalam pidato video pada hari Selasa.

    Presiden AS Donald Trump, pendukung setia Netanyahu, menambahkan bahwa Israel harus membiarkan semua kekacauan terjadi jika para tawanan tidak dibebaskan pada batas waktu hari Sabtu.

    Bu Obeida, juru bicara sayap bersenjata Hamas, Brigade Qassam, mengatakan bahwa pimpinan kelompok tersebut memantau pelanggaran musuh dan ketidakpatuhan mereka terhadap ketentuan perjanjian.

    Apakah Israel telah melanggar gencatan senjata, dan dengan cara apa saja? Berikut ini daftarnya.

    Serangan Mematikan Terus Berlanjut di Gaza

    Meskipun secara resmi menghentikan pertempuran, tentara Israel telah berulang kali melancarkan serangan udara dan menembaki warga Palestina sejak gencatan senjata mulai berlaku.

    Warga Palestina juga melaporkan secara berkala mendengar pesawat nirawak Israel di langit.

    Pada hari Selasa, Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan bahwa 92 orang telah tewas dan 822 orang terluka oleh tentara Israel sejak dimulainya gencatan senjata.

    Hamas mengatakan bahwa selain serangan-serangan ini, Israel juga telah menunda pemulangan warga Palestina yang mengungsi ke Gaza utara, yang merupakan salah satu komitmen utama perjanjian gencatan senjata.

    Penghalang Bantuan Kemanusiaan

    Salah satu fokus utama tuduhan Hamas adalah bahwa Israel diduga menghalangi aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza.

    Berdasarkan perjanjian tersebut, Israel seharusnya mengizinkan 600 truk bantuan memasuki daerah kantong Palestina tersebut setiap hari.

    Tom Fletcher, pejabat tinggi PBB untuk bantuan kemanusiaan, mengatakan pada tanggal 6 Februari bahwa 10.000 truk telah memasuki Gaza sejak dimulainya gencatan senjata.

    Namun, juru bicara pemerintah kota Gaza mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa dari 600 truk yang seharusnya datang setiap hari, wilayah itu hanya menerima 100 hingga 150 truk saja.

    Kantor media pemerintah Gaza mengatakan bahwa hingga tanggal 7 Februari, dari 12.000 truk bantuan yang seharusnya mencapai daerah kantong itu, hanya 8.500 yang berhasil.

    Mengutip seorang pejabat yang mengetahui negosiasi gencatan senjata, Reuters mengatakan bahwa Israel telah menolak permintaan PBB, Qatar, dan pihak lain untuk mengizinkan unit perumahan sementara dibawa ke Gaza untuk menampung orang-orang yang mengungsi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam perjanjian gencatan senjata.

    Hamas mengatakan Israel memblokir masuknya 60.000 rumah mobil dan 200.000 tenda serta mesin berat yang digunakan untuk menyingkirkan puing-puing.

    Israel membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa lebih dari 100.000 tenda telah memasuki Gaza.

    Pengemudi truk di perbatasan Mesir-Gaza mengatakan kepada Reuters bahwa bahan bangunan dan tenda telah diblokir untuk masuk sejak dimulainya gencatan senjata.

    Persediaan medis, pakaian, dan minuman ringan juga dilaporkan tertahan, menunggu untuk memasuki Gaza setelah pemeriksaan oleh pejabat Israel.

    Selain itu, kementerian kesehatan Gaza mengatakan bahwa Israel melarang beberapa warga Palestina yang sakit dan terluka meninggalkan wilayah tersebut untuk menerima perawatan di luar negeri, seperti yang diinstruksikan dalam perjanjian tersebut.

    Para pelancong yang ditolak termasuk seorang pasien kanker berusia 16 tahun, kata kementerian tersebut.

    Setidaknya 24 warga Palestina yang terluka telah meninggal karena luka-luka mereka sejak dimulainya gencatan senjata, menurut kementerian tersebut. Kantor media pemerintah menambahkan bahwa setidaknya 100 anak telah meninggal karena penundaan dari Israel dalam membiarkan mereka pergi untuk berobat.

    Kekurangan Bahan Bakar, Panel surya

    Sebagai bagian dari hambatan masuknya bantuan kemanusiaan, kantor media pemerintah Gaza mengatakan bahwa hanya 15 truk bahan bakar yang masuk setiap hari untuk menyalakan rumah sakit dan layanan vital lainnya, berbeda dengan 50 truk sesuai kesepakatan.

    Kantor tersebut menuduh Israel juga menghalangi pengiriman generator dan suku cadangnya, panel surya dan baterainya, kabel dan tangki air serta material yang dibutuhkan untuk memperbaiki jaringan air dan pembuangan limbah di Gaza utara.

    Penundaan Pembebasan Tahanan

    Selama gelombang ketiga pertukaran tahanan, Israel menunda pembebasan tahanan Palestina lebih dari enam jam.

    Selain itu, sumber anonim yang dapat dipercaya mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa, pada beberapa kesempatan, beberapa tahanan dipindahkan ke Gaza tanpa persetujuan atau koordinasi sebelumnya.

    Israel juga dilaporkan menunda merilis daftar nama tahanan yang akan dibebaskan.

    Pernyataan Trump, Reaksi Israel

    Setelah Trump mengumumkan rencana agar AS mengambil alih Jalur Gaza dan mengusir warga Palestina ke Mesir dan Yordania, Hamas mengeluarkan beberapa pernyataan yang dengan tegas menolak usulan ini.

    Para jurnalis dan analis meyakini pernyataan presiden AS tersebut dapat semakin mempersulit kelangsungan perjanjian gencatan senjata, karena pendudukan baru yang potensial di Gaza, bersama dengan pengusiran penduduknya, dapat memicu konflik lebih lanjut.

    Pejabat Israel sebagian besar bereaksi positif terhadap tawaran Trump, dan Menteri Pertahanan Israel Katz memerintahkan tentaranya untuk mempersiapkan “keberangkatan sukarela” warga Palestina.

    Netanyahu mengatakan bahwa usulan tersebut revolusioner, kreatif dan akan membuka banyak peluang bagi Israel.

    Pelaksanaan rencana tersebut akan menjadi pelanggaran terhadap fase gencatan senjata mendatang, yang berfokus pada pemulangan warga Palestina yang mengungsi dan pembangunan kembali Gaza.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Smotrich: Negara Israel Akan Kembali Berperang Sekuat Tenaga, Menduduki Gaza, dan Hancurkan Hamas – Halaman all

    Smotrich: Negara Israel Akan Kembali Berperang Sekuat Tenaga, Menduduki Gaza, dan Hancurkan Hamas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang juga merupakan tokoh terkemuka dalam serangan Israel di wilayah Tepi Barat yang diduduki, baru-baru ini mengungkapkan gencatan senjata dengan Gaza mungkin tidak akan bertahan lama.

    Dalam sebuah wawancara dengan radio Israel 103fm, Smotrich menegaskan bahwa Israel akan kembali berperang dengan sekuat tenaga dan menduduki Gaza.

    Menurutnya, Israel akan mengambil tanggung jawab penuh atas Gaza dan melaksanakan “operasi emigrasi besar-besaran.”

    Dalam pernyataan yang lebih lanjut, Smotrich menjelaskan soal rencana tersebut.

    “Kami akan menduduki Jalur Gaza, menghancurkan Hamas, dan memastikan tidak ada lagi ancaman dari Gaza terhadap warga Israel,” katanya, seperti dikutip dari Al Jazeera.

    Ia juga mengaitkan rencana ini dengan apa yang disebutnya sebagai “peristiwa logistik gila yang dikoordinasikan dengan Amerika Serikat,” merujuk pada sebuah rencana pembersihan etnis yang diusulkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump.

    Smotrich juga mengungkapkan pandangannya kalau Israel seharusnya mendukung pernyataan Trump yang menuntut pembebasan semua tawanan yang ditahan di Gaza paling lambat pada Sabtu yang akan datang.

    Meskipun demikian, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memilih untuk melanjutkan gencatan senjata untuk saat ini, berbeda dengan pandangan Smotrich.

    Smotrich mencatat Netanyahu sengaja menyebarkan rasa “ambiguitas” mengenai langkah-langkah berikutnya.

    Lebih lanjut, Smotrich menyatakan bahwa kebijakan Israel saat ini adalah untuk memanfaatkan peluang yang ada guna mengembalikan sebanyak mungkin sandera, terutama mereka yang masih hidup, sebelum akhirnya kembali berperang untuk mencapai tujuan utama, yaitu menghancurkan Hamas.

    Pernyataan ini menambah ketegangan dalam situasi yang sudah sangat kompleks di Gaza, yang terus menjadi pusat perhatian internasional dengan kekerasan yang terus berlanjut di wilayah tersebut.

    Smotrich, dengan latar belakang politik sayap kanannya, menegaskan bahwa pendudukan Gaza adalah langkah yang perlu diambil untuk mengakhiri ancaman dari Hamas terhadap Israel.

    Keputusan ini kemungkinan akan menambah ketegangan lebih lanjut dengan pihak internasional yang terus memantau perkembangan konflik tersebut.

    Menteri Israel: Tidak Ada Niat Akhiri Perang Gaza sebelum Semua Tujuan Tercapai

    Surat kabar Israel Maariv melaporkan Menteri Pertanian Israel Avi Dichter, mengatakan ia “kesulitan melihat pilihan lain” selain pembebasan setidaknya tiga tawanan pada hari Sabtu, serta kembalinya pertempuran nanti.

    “Kami ingin mengembalikan semua sandera dalam perjanjian secepat mungkin. Ini adalah salah satu tujuan perang yang kami tetapkan, bersama dengan dua tujuan lainnya. Tidak ada niat untuk mengakhiri perang sebelum semua tujuan tercapai,” katanya.

    Ia mengklaim penghancuran infrastruktur militer Hamas sebagian besar telah tercapai tetapi “runtuhnya kapasitas pemerintah adalah tujuan yang belum tercapai”.

    Pejabat Hamas mengatakan Israel telah melanggar ketentuan utama perjanjian, yang mendorongnya membatalkan pembebasan tiga tawanan lagi yang dijadwalkan pada hari Sabtu.

    Sebagaimana diketahui, Netanyahu mengancam akan melanjutkan perang di Gaza kecuali Hamas membebaskan para tawanan.

    PBB: Israel Masih Batasi Bantuan

    Dikutip dari Al Mayadeen, sebanyak 801 truk bantuan masuk ke Jalur Gaza yang terkepung pada Rabu (12/2/2025).

    Organisasi-organisasi kemanusiaan memperingatkan bahwa “Israel” terus membatasi aliran pasokan bantuan yang sangat dibutuhkan.

    Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), pengiriman bantuan dilakukan “melalui koordinasi dengan otoritas Israel dan para penjamin kesepakatan gencatan senjata.”

    Kendati demikian, pembatasan tetap ketat, khususnya pada bahan bakar dan peralatan medis.

    PBB dan mitranya berupaya keras untuk menggunakan setiap peluang yang tersedia dalam gencatan senjata yang rapuh ini “untuk meningkatkan penyediaan air, makanan, tempat tinggal, kesehatan, sanitasi, kebersihan, pakaian, pendidikan, dan bantuan lainnya bagi masyarakat Gaza.”

    Badan Bantuan dan Pekerjaan Umum PBB (UNRWA) menyatakan bahwa selama dua minggu pertama gencatan senjata, mereka berhasil menyediakan bantuan pangan bagi 1,2 juta orang di Gaza.

    Badan tersebut juga telah mendirikan 37 tempat penampungan tambahan di bagian utara daerah kantong itu, yang memasok bantuan vital bagi keluarga-keluarga yang mengungsi, termasuk tenda, selimut, dan pakaian musim dingin.

    “Hingga minggu lalu, UNRWA menampung sekitar 120.000 orang di 120 tempat penampungan, termasuk lebih dari tiga lusin tempat penampungan yang dibuka sejak gencatan senjata.”

    Kelompok-kelompok kemanusiaan global terus menyuarakan peringatan atas kurangnya bantuan yang sampai ke Gaza.

    Minggu lalu, Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) menekankan bahwa pengiriman saat ini “tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk.”

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Usul Trump soal ‘Riviera’ di Gaza Disambut tapi Tidak Usir Warga

    Usul Trump soal ‘Riviera’ di Gaza Disambut tapi Tidak Usir Warga

    Jakarta

    Usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal ‘Riviera’ di Gaza disambut baik. Usulan soal ‘Riviera’ itu asalkan tidak mengusir orang-orang Palestina.

    Dirangkum detikcom, Kamis (13/2/2025), seorang diplomat senior Arab Saudi mengatakan pemerintahnya akan menyambut baik ‘Riviera’ di Gaza. Diplomat tersebut, Duta Besar Saudi untuk Inggris Pangeran Khalid bin Bandar menanggapi usulan terbaru Presiden AS Donald Trump agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza dan mengembangkannya menjadi ‘Riviera Timur Tengah’. Riviera merupakan kawasan wisata terkenal di Italia.

    “Posisi pemerintah saya adalah bahwa kami akan menyambut Riviera di Gaza. Saya pikir itu akan luar biasa,” kata Pangeran Khalid bin Bandar, dilansir Al Arabiya. “Tetapi kami tidak akan melakukannya dengan mengusir orang-orang Palestina, tentu saja tidak memindahkan mereka ke Saudi; mereka tidak ingin pindah,” ujarnya.

    “Anda tahu, itu tanah mereka, itu wilayah mereka. Mereka berhak mendapatkan semua yang terbaik yang dapat kita berikan untuk mereka di sana, dan kami akan menyambut baik upaya Amerika untuk memperbaiki situasi mereka di lapangan,” kata Pangeran Khalid dalam sebuah wawancara dengan London Broadcasting Company (LBC).

    Usulan Trump agar AS mengendalikan Gaza dan mengusir warga Palestina telah memicu kecaman keras di seluruh dunia Arab dan sebagian besar Eropa. Selama konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu minggu lalu, Trump menyebut Gaza sebagai lokasi pembongkaran dan menyarankan agar warga Palestina direlokasi ke negara lain untuk mendapatkan kondisi kehidupan yang lebih baik.

    Sikap Pemerintah Saudi terhadap Konflik Arab-Israel

    Foto: Donald Trump (Jim Watson/AFP/Getty Images).

    Israel dan Netanyahu melangkah lebih jauh dengan menyarankan agar Arab Saudi mendirikan negara bagi warga Palestina di dalam kerajaan itu, yang memicu reaksi keras dan kecaman di seluruh dunia Arab.

    Ketika ditanya apakah Arab Saudi akan menyediakan relokasi sementara bagi warga Palestina, Pangeran Khalid mengatakan bahwa itu adalah keputusan yang harus diambil warga Palestina.

    “Anda tahu, kami senang menerima orang-orang dan kami adalah negara yang ramah. Jika ada situasi yang mengharuskan mereka datang ke Saudi, maka mereka dipersilakan untuk datang, tetapi saya rasa mereka tidak ingin pergi,” katanya.

    Diplomat Saudi itu menegaskan kembali sikap pemerintah Saudi terhadap konflik Arab-Israel yang telah konsisten selama beberapa dekade: “Sangat sederhana, solusi dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”

    Namun, katanya, ini adalah perspektif Saudi. “Namun, perspektif yang penting adalah perspektif Palestina dan Israel. Mereka berdua perlu sepakat tentang solusi yang tepat. Dari sudut pandang kami, kami tidak melihat pilihan lain,” ujarnya.

    Tonton juga Video Trump Mau Ambil Alih Gaza, Liga Arab: Siklus Baru Konflik Intens Arab-Israel

    Halaman 2 dari 2

    (whn/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu