Tag: Airlangga Hartarto

  • Istana Janji Ada Koordinasi Intensif untuk Hadapi Dampak Tarif Trump

    Istana Janji Ada Koordinasi Intensif untuk Hadapi Dampak Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Pihak Istana Kepresidenan memastikan untuk terus memperkuat koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam merespons kebijakan tarif global, khususnya kenaikan tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa koordinasi dilakukan secara intensif guna mengantisipasi dampak lanjutan terhadap perekonomian nasional.

     “Sangat intens, khusus terutama masalah tarif dunia. Kebijakan tarif dari Amerika,” ujar Prasetyo saat ditemui wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (21/4/2025).

    Lebih lanjut, dia menyebut, tim pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, serta melibatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, secara aktif terlibat dalam diskusi dan negosiasi.

    Menurutnya, perkembangan kebijakan tarif global ini juga menjadi momentum introspeksi bagi Indonesia untuk melakukan pembenahan dari dalam negeri.

    Lebih lanjut, Prasetyo menyatakan bahwa pemerintah juga menjajaki peluang ekspansi pasar ke wilayah lain di luar Amerika Serikat.

    “Termasuk mencari pasar-pasar baru, bukan hanya Amerika. Maka kemudian segala sesuatu terus menerus secara intensif kami diskusikan,” pungkas Prasetyo.

  • Jasa Besar AS untuk Perdagangan Indonesia, Inikah Alasan Sulit Lepas?

    Jasa Besar AS untuk Perdagangan Indonesia, Inikah Alasan Sulit Lepas?

    PIKIRAN RAKYAT – Selama satu dekade terakhir, Amerika Serikat konsisten menjadi salah satu mitra dagang terpenting bagi Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Negeri Paman Sam merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia sejak 2015 hingga 2025, sejajar dengan India dan Filipina.

    “India, Filipina dan Amerika Serikat merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia dalam 10 tahun terakhir,” ungkap Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Senin 21 April 2025.

    Amalia menjelaskan bahwa surplus terbesar perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat terjadi pada 2022, yakni mencapai 16,57 miliar dolar AS atau setara Rp278,54 triliun (kurs Rp16.810 per dolar). Surplus ini ditopang oleh ekspor nonmigas yang terus meningkat.

    Komoditas Ekspor Unggulan

    Pada kuartal I 2025, nilai ekspor Indonesia ke AS tercatat sebesar 7,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp122 triliun. Komoditas ekspor utama meliputi:

    Mesin dan perlengkapan elektrik: 1,2 miliar dolar AS (Rp20,1 triliun) Alas kaki: 657,9 juta dolar AS (Rp11 triliun) Pakaian dan aksesoris rajutan/non-rajutan: 1,19 miliar dolar AS (Rp20 triliun) Lemak dan minyak nabati: 507,19 juta dolar AS (Rp8,52 triliun)

    “Sepanjang Januari sampai dengan Maret 2025, nilai ekspor keempat komoditas ini mengalami peningkatan yang relatif baik dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu,” kata Amalia.

    Sementara itu, Indonesia juga mengimpor dari AS barang-barang seperti mesin, biji dan buah mengandung minyak, instrumen medis hingga ampas sisa industri makanan. Nilai total impor dari AS selama kuartal I 2025 mencapai 2,98 miliar dolar AS atau Rp50,12 triliun.

    Ketergantungan pada Pasar AS

    Ketergantungan Indonesia terhadap AS terlihat jelas dari posisi negara tersebut sebagai tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia pada 2024, setelah China. Nilai ekspor ke AS mencapai 26,31 miliar dolar AS (Rp442 triliun), jauh di bawah ekspor ke China sebesar 62,44 miliar dolar AS (Rp1.048 triliun), tetapi tetap sangat signifikan.

    Meski hubungan dagang terlihat menguntungkan, Indonesia kini berada dalam posisi sulit akibat rencana pemberlakuan tarif resiprokal oleh AS sebesar 32 persen. Kebijakan ini muncul sebagai bagian dari perang tarif global yang kian memanas, terutama antara AS dan China.

    Menurut Kepala Ekonom Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto, dampak kebijakan tersebut berpotensi besar mengubah peta perdagangan Indonesia.

    “Most likely implikasinya kita, apakah kita akan mengimpor lebih banyak barang-barang dari AS sekaligus kita juga akan terbanjiri oleh impor barang-barang dari China yang tadinya dikirim ke AS yang harganya sudah naik lebih dari dua, sampai tiga kali lipat,” tuturnya.

    Ancaman Terhadap Industri Manufaktur RI

    Negosiasi perdagangan yang dilakukan oleh delegasi Indonesia ke Washington DC dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, didampingi Menlu Sugiono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Namun, ada sejumlah kekhawatiran yang muncul dari para pengamat.

    Rully menyebut bahwa rencana impor tambahan dari AS senilai 18-19 miliar dolar AS bisa memberikan tekanan besar terhadap industri manufaktur domestik.

    “Kalau (impor) misalkan meningkat sampai 18 miliar dolar AS, ya pertama pasti impact-nya akan ada kepada trade balance kita. Jadi bisa dari tadinya surplus jadi ke defisit dan mungkin memang ini ada impact juga kepada produsen-produsen di dalam negeri terutama ya,” ujarnya.

    Selain itu, pelonggaran syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam negosiasi turut disoroti karena berisiko menghantam produsen lokal berskala kecil hingga menengah.

    “Kalau TKDN sendiri itu mungkin impact-nya akan mengganggu supplier manufaktur dari Indonesia sebenarnya,” ucap Rully.

    Jalan Tengah yang Menantang

    Pemerintah Indonesia membawa sejumlah usulan ke AS, termasuk revitalisasi perjanjian Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), pelonggaran Non-Tariff Measures (NTMs), serta peningkatan impor migas.

    Pemerintah juga menjanjikan insentif fiskal dan non-fiskal untuk menjaga daya saing ekspor. Namun, dalam negosiasi global, posisi Indonesia tidak sekuat China atau Uni Eropa.

    “Memang sayangnya posisi Indonesia itu salah satu yang mungkin tidak terlalu kuat, beda dengan China atau mungkin dengan Eropa. Mereka mungkin bisa melakukan retaliasi,” kata Rully.

    Harus Perkuat Daya Tawar

    Menurut pengamat intelijen ekonomi Dr Stepi Anriani, Indonesia harus memperkuat intelijen ekonomi di tengah fragmentasi ekonomi global yang mengarah pada pembentukan blok-blok ekonomi baru.

    “Tarif 32 persen terhadap impor dari Indonesia bukan angka kecil. Tiongkok bahkan menghadapi situasi yang lebih parah akibat balasan perang tarif karena transhipment yang digagasnya,” tuturnya.

    Stepi Anriani menyebutkan, Indonesia harus memilih sikap tegas antara membentuk blok tandingan, tunduk pada AS, atau mengambil jalan netral yang penuh risiko ekonomi.

    Optimisme Ekonomi Tetap Ada

    Di tengah tekanan eksternal, sejumlah ekonom menilai Indonesia masih memiliki peluang untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang solid. Ekonom Bank Mandiri Dendi Ramdani menyebutkan tiga faktor kunci yang bisa membawa Indonesia tumbuh melampaui proyeksi IMF, yakni:

    Bonus demografi dan konsumsi domestik Optimalisasi sumber daya alam Peningkatan kualitas institusi dan tata kelola

    “Dalam situasi kualitas institusi dan governance yang belum baik saja Indonesia bisa tumbuh 5 persenan,” ujarnya.

    Dengan tata kelola yang lebih baik, Indonesia diyakini bisa mengejar target pertumbuhan hingga 8 persen seperti yang diharapkan Presiden terpilih Prabowo Subianto.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • AS Sumbang Surplus Dagang Terbesar ke RI pada Maret 2025

    AS Sumbang Surplus Dagang Terbesar ke RI pada Maret 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Amerika Serikat menjadi negara yang memberi surplus perdagangan terbesar dengan Indonesia pada Maret 2025, meski ada ancaman tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan surplus perdagangan nonmigas Indonesia dengan AS senilai US$1,98 miliar.

    Surplus tersebut lebih besar dari bulan sebelumnya atau Februari 2025, yang mana AS menyumbang surplus perdagangan ke Indonesia sebesar US$1,57 miliar.

    “Komoditas penyumbang surplus terbesar dengan Amerika seperti biasa ini didorong oleh komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagian [US$465 juta], alas kaki [US$239,7 juta], dan lemak dan minyak hewan nabati [US$238,7 juta],” ungkap Amalia dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).

    Negara selanjutnya yang penyumbang surplus perdagangan terbesar ke Indonesia adalah India yaitu sebesar US$1,04 miliar, yang kemudian diikuti oleh Filipina yaitu sebesar US$714,1 juta.

    Di sisi lain, Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara. Tiga negara penyumbang defisit terbesar yaitu China (US$1,11 miliar), Australia (US$353,2 juta) dan Thailand (US$195,4 miliar).

    Sementara itu, secara keseluruhan BPS mengumumkan neraca perdagangan tercatat surplus senilai US$4,33 miliar pada Maret 2025. Amalia mengatakan nilai surplus tersebut naik US$1,23 miliar secara bulanan. “Indonesia mencatatkan surplus 59 bulan beruntun sejak Mei 2020,” ujarnya.

    Amalia menyebutkan surplus ditopang komoditas nonmigas dengan surplus perdagangan senilai US$6 miliar. Sejumlah komoditas pendorong surplus antara lain lemak dan hewan minyak nabati, bahan bakan mineral, serta besi dan baja.

    “Pada saat yang sama, neraca perdagangan migas defisit US$1,67 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah,” jelasnya.

    Sebagai informasi, pemerintah sendiri sedang melakukan negosiasi tarif resiprokal Trump. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto resmi menyerahkan proposal tawaran negosiasi ulang penerapan tarif resiprokal yang dikenakan ke Indonesia sebesar 32% ke Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick di Washington DC, AS pada Sabtu (19/4/2025) waktu setempat.

    Airlangga menyampaikan Indonesia menawarkan untuk meningkatkan pembelian dan impor barang AS agar menyeimbangkan defisit perdagangan antar kedua negara. Memang, Indonesia merupakan negara penyumbang defisit terbesar ke-15 ke neraca perdagangan AS pada tahun lalu.

  • Amerika Serikat Soroti Kebijakan QRIS, Dianggap Batasi Asing – Page 3

    Amerika Serikat Soroti Kebijakan QRIS, Dianggap Batasi Asing – Page 3

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah sepakat untuk menyelesaikan perundingan kerja sama terkait tarif impor dalam waktu 60 hari.

    Kesepakatan ini mencakup kerangka atau framework yang telah disetujui oleh kedua negara, mencakup format perjanjian serta ruang lingkup kerja sama.

    “Menarik bahwa Indonesia dan Amerika Serikat bersepakat untuk menyelesaikan perundingan ini dalam waktu 60 hari dan sudah disepakati kerangka ataupun framework acuannya,” kata Menko Airlangga dalam konferensi pers perkembangan Terkini Negosiasi dan Diplomasi Perdagangan Indonesia – AS, secara virtual, Jumat (18/4/2025).

    Kerja sama ini meliputi kemitraan di bidang perdagangan dan investasi, kemitraan terkait mineral penting (critical minerals), serta penguatan koridor rantai pasok yang memiliki tingkat ketahanan (resilience) tinggi.

    Kata Menko Airlangga, proses perundingan selanjutnya akan dilanjutkan dalam beberapa putaran, baik satu, dua, maupun tiga kali pertemuan, dengan harapan dalam jangka waktu dua bulan ke depan, kesepakatan tersebut dapat dituangkan dalam format perjanjian resmi yang disetujui kedua pihak.

    “Nah hasil-hasil pertemuan tersebut akan dilanjuti dengan berbagai pertemuan bisa satu, dua, atau tiga putaran dan kami berharap dalam 60 hari kerangka tersebut bisa ditindaklanjuti dalam bentuk format perjanjian yang akan disetujui antara Indonesia dan Amerika Serikat,” ujar dia.

  • Delegasi RI Tindaklanjuti Bahas Teknis dengan USTR, Sepakat Tuntaskan Negosiasi Tarif dalam 60 Hari – Halaman all

    Delegasi RI Tindaklanjuti Bahas Teknis dengan USTR, Sepakat Tuntaskan Negosiasi Tarif dalam 60 Hari – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim negoisasi teknis Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah bertemu dengan pihak USTR, bersama Ambassador Jamieson Greer pada Kamis (17/4/2025).

    Pada pertemuan tingkat Menteri tersebut, kedua pihak telah sepakat untuk segera membahas secara intensif proses negosiasi tarif dan menyiapkan kerangka kerja sama.

    Selanjutnya menargetkan untuk menyelesaikan prosesnya dalam jangka waktu 60 hari ke depan.

    Tim Teknis USTR telah mengundang Tim Teknis RI, Jumat (18/4/2025) dengan mulai membahas pokok isu yang menjadi perhatian Amerika Serikat dan Indonesia.

    Indonesia mengharapkan dapat disepakati format, mekanisme dan jadwal negosiasi dengan target waktu 60 hari.

    Sesuai permintaan Airlangga kepada Ambassador Greer, tenggat waktu 60 hari tersebut adalah penyelesaian pembahasan isu untuk disepakati, sehingga masih terdapat waktu 30 hari dari 90 hari penundaan (pause) untuk implementasi kesepakatan.

    “Pembahasan mencakup pendalaman atas penawaran dan permintaan dari Indonesia, dan penjajakan mengenai format, prosedur, dan tahapan dari proses negosiasi,” kata Airlangga, Senin (21/4/2025).

    Menurutnya, pihak USTR menyambut baik proposal Indonesia, dan saat ini sedang menyusun draft dari working document yang akan memuat cakupan dan substansi negosiasi.

    Beberapa isu pendalaman atas penawaran dan permintaan tersebut mencakup penyelesaian berbagai hambatan non-tarif antara lain perizinan impor, digital trade dan Customs Duties on Electronic Transmissions (CDET), pre-shipment inspections dan kewajiban surveyor, dan local content untuk industri.

    Pembahasan juga mencakup implementasi tarif resiprokal, tarif sektoral dan tarif dasar, dan isu akses pasar.

    “Terkait pembahasan format, prosedur, dan tahapan negosiasi, kedua belah pihak sedang mengkaji dan mempersiapkan masukan berdasarkan tenggat waktu penundaan tarif selama 90 hari, dan mendorong adanya posisi bersama dalam waktu 60 hari,” kata Airlangga.

    Kedua belah pihak mendorong dialog dalam waktu secepat-cepatnya untuk mencapai kesepakatan.

    Tim negosiasi teknis ini melibatkan secara terbatas Kementerian/Lembaga yang secara langsung berkaitan dengan kebijakan tarif perdagangan, terdiri dari Sekretaris Kemenko Perekonomian dan Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi dan Investasi (Kemenko Perekonomian), Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (Kemenlu), Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Kemendag), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (Kemenkeu), Dewan Ekonomi Nasional (DEN), dan Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Washington DC.

  • Negosiasi RI-AS sesuai rencana, IHSG diprediksi konsolidasi

    Negosiasi RI-AS sesuai rencana, IHSG diprediksi konsolidasi

    Layar digital menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (8/4/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nz/aa.)

    Negosiasi RI-AS sesuai rencana, IHSG diprediksi konsolidasi
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Senin, 21 April 2025 – 08:53 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan akan bergerak konsolidasi atau mendatar (sideways) seiring pelaku pasar masih mencermati proses negosiasi tarif antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) yang berjalan sesuai rencana sampai saat ini.

    Perkembangan sementara proses negosiasi Indonesia dengan AS memperoleh beberapa poin penting, diantaranya meliputi rencana peningkatan impor sejumlah komoditas dari AS, seperti energi dan agrikultur, kolaborasi hilirisasi, relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hingga paket deregulasi.

    “IHSG diperkirakan masih melanjutkan fase konsolidasi dalam rentang 6.300 sampai 6.550 di pekan ini,” ujar Senior Equity Research Analyst Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan di Jakarta, Senin.

    Delegasi Indonesia yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menemui United States Secretary of Commerce atau Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pada Minggu (20/04), untuk menyampaikan proposal negosiasi tarif. Indonesia menyampaikan penawaran konkret untuk meningkatkan pembelian dan impor Indonesia dari AS demi menyeimbangkan defisit perdagangan AS, diantaranya pembelian produk energi (crude oil, LPG, dan gasoline).

    Selain itu, juga peningkatan impor produk pertanian dari AS (soybeans, soybeans meal, dan wheat), yang memang sangat dibutuhkan dan tidak diproduksi di Indonesia. Secretary Lutnick mengapresiasi komitmen dan proposal konkret itu, dan menilai penawaran dan permintaan Indonesia sangat konkret dan saling menguntungkan bagi kedua negara.

    Kemudian, setelah pertemuan di tingkat menteri antara Delegasi Indonesia dengan pihak United States Trade Representative (USTR) yang langsung dipimpin Ambassador Jamieson Greer pada Kamis (17/04), kemarin Minggu (20/04) di tingkat teknis langsung bergerak cepat melaksanakan pertemuan teknis antara Tim Teknis Indonesia dengan Tim dari pihak USTR

    Indonesia mengharapkan dapat disepakati format, mekanisme dan jadwal negosiasi dengan target waktu 60 hari, yang mana tenggat waktu itu adalah penyelesaian pembahasan isu untuk disepakati, sehingga masih terdapat waktu 30 hari dari 90 hari penundaan (pause) untuk implementasi kesepakatan.

    Sentimen eksternal, Presiden AS Donald Trump kembali menekankan pentingnya pemangkasan suku bunga acuan kepada Ketua The Fed Jerome Powell.

    Masih terkait global, AS berencana menarik diri dari upaya perdamaian Rusia dan Ukraina apabila tidak ada perkembangan konkrit dalam beberapa hari ke depan, yang diperkirakan akan mendorong rebound harga gas alam yang sempat turun ke kisaran 3,2 persen pada pekan lalu.

    Sementara, harga minyak melanjutkan rebound pasca sanksi baru oleh AS kepada Iran. AS dikabarkan berencana menekan ekspor minyak Iran hingga nol, bersamaan dengan proses perundingan mengenai fasilitas nuklir Iran.

    Sumber : Antara

  • Airlangga Geber Negosiasi Tarif dengan AS, Begini Hasilnya

    Airlangga Geber Negosiasi Tarif dengan AS, Begini Hasilnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Setelah pertemuan di tingkat Menteri antara Delegasi RI yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan pihak US Trade Representative (USTR) yang langsung dipimpin Ambassador Jamieson Greer pada Kamis (17/04). Setelah itu di tingkat teknis langsung bergerak cepat melaksanakan pertemuan teknis antara tim teknis RI dengan tim dari pihak USTR.

    Pada pertemuan tingkat Menteri tersebut, kedua pihak telah sepakat untuk segera membahas secara intensif proses negosiasi tarif dan menyiapkan kerangka kerja sama, dan menargetkan untuk menyelesaikan prosesnya dalam jangka waktu 60 hari ke depan. Tim Teknis USTR telah mengundang Tim Teknis RI pada hari Jumat (18/04) dengan mulai membahas pokok isu yang menjadi perhatian Amerika Serikat dan Indonesia.

    Dalam rilisnya yang diterima CNBC Indonesia, Minggu (20/4/2025), Indonesia mengharapkan dapat disepakati format, mekanisme dan jadwal negosiasi dengan target waktu 60 hari. Sesuai permintaan Airlangga kepada Ambassador Greer, tenggat waktu 60 hari tersebut adalah penyelesaian pembahasan isu untuk disepakati, sehingga masih terdapat waktu 30 hari dari 90 hari penundaan (pause) untuk implementasi kesepakatan.

    Pembahasan mencakup pendalaman atas penawaran dan permintaan dari Indonesia, dan penjajakan mengenai format, prosedur, dan tahapan dari proses negosiasi. Pihak USTR pun menyambut baik proposal Indonesia, dan saat ini sedang menyusun draft dari working document yang akan memuat cakupan dan substansi negosiasi.

    Foto: Ilustrasi kantor United States Trade Representative (USTR). AP/
    Ilustrasi kantor United States Trade Representative (USTR). AP/

    Beberapa isu pendalaman atas penawaran dan permintaan tersebut mencakup penyelesaian berbagai hambatan non-tarif antara lain perizinan impor, digital trade dan Customs Duties on Electronic Transmissions (CDET), pre-shipment inspections dan kewajiban surveyor, dan local content untuk industri. Pembahasan juga mencakup implementasi tarif resiprokal, tarif sektoral dan tarif dasar, dan isu akses pasar.

    Terkait pembahasan format, prosedur, dan tahapan negosiasi, kedua belah pihak sedang mengkaji dan mempersiapkan masukan berdasarkan tenggat waktu penundaan tarif selama 90 hari, dan mendorong adanya posisi bersama dalam waktu 60 hari. Kedua belah pihak mendorong dialog dalam waktu secepat-cepatnya untuk mencapai kesepakatan.

    Tim negosiasi teknis ini melibatkan secara terbatas Kementerian/Lembaga yang secara langsung berkaitan dengan kebijakan tarif perdagangan, terdiri dari Sekretaris Kemenko Perekonomian dan Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi dan Investasi (Kemenko Perekonomian), Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (Kemenlu), Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Kemendag), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (Kemenkeu), Dewan Ekonomi Nasional (DEN), dan Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Washington DC.

    (wur/wur)

  • Setahun ke Depan, 1,2 Juta Pekerja di Indonesia Terancam Kena PHK

    Setahun ke Depan, 1,2 Juta Pekerja di Indonesia Terancam Kena PHK

    PIKIRAN RAKYAT – Sebanyak 1,2 juta pekerja di Indonesia terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak dari perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China. Ancaman ini mencakup seluruh sektor industri dalam proyeksi satu tahun ke depan, dengan subsektor tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi yang paling terdampak, yakni berpotensi kehilangan 191 ribu tenaga kerja.

    “Bisa dibilang penyerapan tenaga kerja di industri tekstil itu akan berkurang sekitar 191 ribu, ini hitungan kasar kita,” ujar pengamat ekonomi dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, di Jakarta, Minggu (20/4/2025).

    Sritex milik siapa, berikut data kepemilikan saham perusahaan yang pailit dan bangkrut hari ini, Sabtu 1 Maret 2025, ada banyak utang menggunung dengan total Rp25 triliun. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

    Ia menjelaskan, potensi PHK tersebut dihitung berdasarkan dampak pengenaan tarif masuk AS, ketika setiap kenaikan 1 persen tarif bisa menurunkan volume ekspor Indonesia sebesar 0,8 persen.

    Di sektor TPT, tingginya ekspor ke AS dan tekanan di pasar domestik akibat produk impor murah dari China memperburuk situasi. “Akibatnya, nilai tambah dari industri TPT bisa semakin menurun,” tambah Nailul.

    Satgas PHK

    Menanggapi kondisi ini, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu mengungkapkan bahwa pemerintah telah membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk mengantisipasi gelombang PHK akibat kebijakan tarif tersebut.

    “Satgas tenaga kerja dan PHK dibentuk untuk mengantisipasi dampak langsung dari kebijakan tarif ini. Pemerintah juga sedang merumuskan paket regulasi untuk sektor-sektor terdampak,” ujar Mari dalam konferensi pers daring bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

    Satgas ini akan fokus melindungi tenaga kerja di sektor yang paling terdampak, seperti industri garmen, alas kaki, dan perikanan.

    Selain Satgas PHK, pemerintah juga membentuk tiga satgas lain untuk menangani deregulasi, efisiensi ekonomi, dan peningkatan daya saing nasional. Langkah ini menjadi bagian dari strategi jangka menengah untuk menekan biaya ekonomi tinggi dan meningkatkan produktivitas di tengah tekanan global.

    Dalam negosiasi dengan AS, Indonesia menargetkan kesepakatan tarif ekspor yang adil serta perlakuan non-diskriminatif terhadap produk unggulan Indonesia. Kesepakatan final ditargetkan tercapai dalam 60 hari ke depan.

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif pada 2 April 2025 yang menetapkan tarif timbal balik atas impor dari sejumlah negara. Tarif dasar ditetapkan 10 persen, dan tarif lebih tinggi diberlakukan terhadap 57 negara yang memiliki defisit perdagangan tinggi dengan AS, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif 32 persen.

    Pada 9 April, Trump mengumumkan bahwa tarif dasar 10 persen akan berlaku selama 90 hari bagi lebih dari 75 negara yang tidak melakukan aksi balasan dan telah meminta negosiasi, kecuali China.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • AS Kritik Kebijakan QRIS di Indonesia, Pembayaran Digital Bakal Dilarang?

    AS Kritik Kebijakan QRIS di Indonesia, Pembayaran Digital Bakal Dilarang?

    PIKIRAN RAKYAT – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menilai beberapa aturan yang diterapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) bisa menghambat aktivitas perdagangan, khususnya bagi perusahaan asal Negeri Paman Sam. Salah satunya kebijakan Quick Response Indonesian Standard (QRIS).

    Penilaian ini disampaikan dalam laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) yang dirilis akhir Maret 2025 oleh Kantor Perwakilan Dagang AS atau United States Trade Representative (USTR).

    Laporan membahas hambatan perdagangan di 59 negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Salah satu perhatian utama AS adalah soal sistem pembayaran di Indonesia, seperti penerapan QRIS.

    USTR menyebut perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, khawatir karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan QRIS.

    Mereka merasa tidak diberi kesempatan menyampaikan pendapat, terutama terkait bagaimana QRIS bisa terintegrasi dengan sistem pembayaran internasional yang sudah ada.

    Pembayaran QRIS Bakal Dilarang?

    AS, lewat laporan USTR, menyampaikan dua hal Utama soal kritik terhadap QRIS di Indonesia:

    Kurangnya keterlibatan perusahaan asing (termasuk dari AS) dalam proses pembuatan kebijakan QRIS oleh Bank Indonesia: Mereka merasa tidak diajak berdiskusi atau memberikan masukan, padahal kebijakan ini bisa berdampak besar pada bisnis mereka.

    Risiko keterbatasan akses untuk bersaing di pasar Indonesia: Misalnya, karena QRIS dan GPN mewajibkan semua transaksi domestik diproses oleh lembaga lokal, perusahaan pembayaran asing jadi kesulitan ikut serta atau harus tunduk pada syarat kepemilikan saham yang ketat.

    Dengan begitu, yang dipermasalahkan bukan QRIS-nya secara konsep, melainkan mekanisme penerapannya dan aturan pembatasan asing yang menyertainya. Mereka ingin kebijakan ini lebih inklusif dan tetap membuka peluang bagi perusahaan internasional.

    Pembatasan Kepemilikan Asing dan Aturan GPN di Sektor Keuangan

    USTR juga menyoroti aturan pembatasan kepemilikan asing dalam industri sistem pembayaran di Indonesia. Misalnya:

    Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020 yang isinya membatasi kepemilikan asing di sektor pembayaran: maksimal 85 persen untuk perusahaan layanan (front-end), tapi hanya 49 persen yang bisa punya hak suara, dan 20 persen untuk infrastruktur pembayaran (back-end).

    Kebijakan ini dinilai kurang transparan karena minim konsultasi dengan pihak internasional.

    Kemudian AS mengkritisi aturan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang mewajibkan seluruh transaksi kartu debit dan kredit ritel di Indonesia diproses oleh lembaga lokal berizin BI. Kepemilikan asing dibatasi hanya 20%, dan perusahaan asing harus bermitra dengan penyedia lokal serta mendukung industri dalam negeri.

    AS juga menyoroti aturan OJK yang membatasi kepemilikan saham bank maksimal 40 persen, serta pembatasan kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit (maksimal 49 persen) dan perusahaan pemrosesan pembayaran (maksimal 20%).

    Menurut AS, berbagai pembatasan ini dianggap menghambat masuknya perusahaan asing di sektor keuangan dan sistem pembayaran digital Indonesia. Mereka berharap kebijakan lebih terbuka dan melibatkan pelaku usaha internasional.

    Dibahas Saat Negosiasi Tarif

    Isu sistem pembayaran seperti QRIS dan GPN turut dibahas dalam negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dan AS. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah sudah berkoordinasi dengan BI dan OJK menanggapi masukan dari AS.

    “Juga termasuk di dalamnya sektor keuangan. Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga, dalam konferensi, dikutip dari YouTube Perekonomian RI, Minggu, 20 April 2025.

    Airlangga belum merinci langkah pemerintah bersama BI dan OJK terkait tarif Trump. Selain sistem pembayaran, isu lain yang disorot AS mencakup perizinan impor lewat OSS, insentif pajak dan bea cukai, serta kuota impor.

    “Pembahasan ini guna mendiskusikan opsi-opsi yang ada terkait kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang kita berharap bahwa situasi daripada perdagangan yang kita kembangkan bersifat adil dan berimbang,” ujarnya. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Alarm Bahaya! Tarif Impor AS Bisa Sampai 47%, Produk Indonesia Terancam Kalah Saing

    Alarm Bahaya! Tarif Impor AS Bisa Sampai 47%, Produk Indonesia Terancam Kalah Saing

    PIKIRAN RAKYAT – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia bisa mencapai 47% untuk sejumlah komoditas. Padahal, sebelumnya, tarif yang dikenakan hanya 32% saat kebijakan tarif resiprokal diumumkan.

    Airlangga menjelaskan, meskipun AS memberikan diskon sementara menjadi 10% selama 90 hari, produk seperti tekstil dan garmen asal Indonesia tetap terkena tarif tambahan sebesar 10–37%. Jika ditotal, tarif yang harus dibayar bisa mencapai 20–47%.

    “Meski saat ini tarif 10% untuk 90 hari, di tekstil, garmen, ini kan sudah ada tarif 10–37% maka 10% tambahan bisa 10+10 atau 37+10. Ini concern kita karena ekspor kita biayanya lebih tinggi, karena ini di-sharing kepada pembeli dan juga ke Indonesia sebagai pengirim,” ujar Airlangga, Minggu (20/4/2025).

    Ilustrasi ekspor impor.

    Produk Indonesia kalah saing

    Menurutnya, tarif tinggi ini jauh lebih besar dibandingkan tarif yang dikenakan AS pada negara-negara pesaing Indonesia. Hal ini membuat produk Indonesia kalah bersaing di pasar global, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia.

    “Kami tegaskan bahwa selama ini yang tarif tidak level playing field diterapkan AS, termasuk dengan negara pesaing kita di ASEAN bisa diberikan adil, dan kita ingin diberikan tarif yang tidak lebih tinggi,” tegasnya.

    Presiden AS Donald Trump menetapkan tarif dasar sebesar 32% terhadap Indonesia sebagai bagian dari kebijakan tarif resiprokal. Namun, masih ada tambahan tarif lain terhadap produk tertentu yang membuat total tarif menjadi lebih tinggi.

    Dalam pertemuan negosiasi antara Indonesia dan AS, kedua negara sepakat untuk membentuk tim teknis gabungan dari United States Trade Representative (USTR) dan Kementerian Perdagangan untuk membahas tarif ini lebih lanjut.

    Airlangga menyebut bahwa kedua pihak telah menyepakati kerangka atau framework perjanjian kerja sama. Perjanjian ini akan mencakup kemitraan di bidang perdagangan, investasi, mineral penting, serta penguatan rantai pasok.

    “Kami berharap dalam 60 hari, kerangka tersebut bisa ditindaklanjuti dalam bentuk format perjanjian yang disetujui antara Indonesia dan Amerika Serikat,” pungkasnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News