TRIBUNNEWS.COM, ROMA – Kabar bahagia datang dari Roma, Italia.
Suster Maria Matrona Ola OCarm asal Kefamenanu, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur membuat kejutan.
Dia meraih predikat Summa Cumlaude dari Pontificia Università Urbaniana atau Universitas Kepausan Urbaniana.
Suster Matrona, biasa disapa dinyatakan lulus dengan predikat tersebut setelah mempertahankan disertasi di depan para penguji pada Kamis (20/06/2024).
Summa Cumlaude adalah peringkat tertinggi dalam dunia pendidikan untuk pencapaian studi mahasiswa.
Penghargaan ini terbilang sangat jarang diberikan.
Mahasiswa yang mendapat predikat kelulusan ini dinilai nyaris sempurna atau malah sempurna.
Kisaran Nilai IPKnya kisaran 3,99 – 4,00. Artinya dengan nilai ini mata kuliah yang ditempuh tidak pernah gagal, tidak pernah mengulang mata kuliah, dan memiliki nilai sempuran A.
Di bawah peringkat ini adalah Magna Cumlaude yang diberikan kepada mahasiswa dengan Nilai IPK kisaran 3,79 – 3,99.
Sementara peringkat di bawahnya adalah predikat Cumlaude yang diberikan kepada mahasiswa dengan Nilai IPK 3,5-3,79.
Disertasinya berjudul: “la dimensione Formativa del Catechista Educatore nel carisma della Beata Maria Teresa Scrilli, fondatrice delle suore Carmelitane a Servizio della Diocesi di Atambua” atau Dimensi Formatif Pendidik/Pengajar Kristen (Katekis) dalam karisma Beata Maria Teresa Scrilli, Pendiri Suster Karmelit dalam Konteks Pengabdian dalam Keuskupan Atambua.
“Saya bahagia, lega, dan bersyukur akhirnya bisa menuntaskan kuliah saya,” tutur suster yang sudah 13 tahun tinggal di Italia, 2 tahun di antaranya di Chieti dan Tuscany, selebihnya di Roma.
Hal ini diungkapkan Sr Matrona lewat percakapan WhatsApp. Selasa (25/6/2024).
Sr Matrona mengungkapkan bahwa masa-masa studi S2-nya beberapa tahun ini sungguh merupakan perjalanan yang sangat sulit untuk dijalani.
Pasalnya, selain harus fokus dengan studi ia juga harus menangani “Maria Teresa Scrilli Guest House” di Roma, Italia.
Guest House ini merupakan langganan bagi umat Katolik Indonesia jika berkunjung ke Vatikan termasuk Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) yang sudah beberapa kali menginap di sana.
“Ada saat-saat tertentu dimana saya juga ingin menyerah karena tugas dan tanggung jawab yang begitu berat tapi semua akhirnya saya lalui. Perjuangan yang tidak mudah tapi Tangan Tuhan dan uluran Tuhan selalu menopang saya untuk berjalan maju dan menyelesaikan proses research dan akhirnya semua tuntas dengan nilai yang sangat memuaskan… Summa Cumlaude,” papar Sr Matrona, yang senantiasa tersenyum.
Sr Maria Matrona Ola OCarm bersama anggota PWKI: Lucius Gora Kunjana, Dominikus Lewuk, dan Willy Masaharu pada November 2022. (istimewa)
Suster yang menyukai masakan rendang ini menambahkan bahwa untuk sementara waktu ia belum tahu langkahnya selepas wisuda S2.
Kongregasilah yang akan menentukan apakah dirinya lanjut studi S3 atau mendapatkan tempat baru untuk berkarya.
“Tapi secara pribadi, saya lebih memilih untuk mulai bermisi agar apa yang sudah saya peroleh dari universitas misionaris boleh saya terapkan dalam misi, dalam hal ini menjadi Formator/ pendiddik bagi mereka yang mau melayani Tuhan lewat sesama,” tutupnya.
PENDIRI KONGREGASI
Maria Scrilli adalah pendiri Kongregasi Para Suster Bunda Maria Karmel.
Dikutip dari Vatican.va/news, Ia dilahirkan dalam keluarga berpengaruh pada 15 Mei 1825 di Montevarchi, Arezzo, Italia. D
ia adalah putri kedua dari orang tua yang mendambakan seorang putra dan ahli waris.
Kekecewaan ibunya dan kurangnya kasih sayang sangat mempengaruhi dirinya.
Di masa remaja, penyakit serius membuat Maria harus terbaring di tempat tidur selama hampir dua tahun.
Dia pulih secara ajaib setelah memohon perantaraan Martir suci, Fiorenzo.
Selama masa pemulihannya yang panjang, dia menyadari bahwa Tuhan memanggilnya untuk hidup bakti.
Oleh karena itu dia memutuskan untuk masuk ke Biara Karmelit St Mary Magdalene de’ Pazzi di Florence, meskipun ditentang orang tuanya.
Dia kembali ke rumah setelah dua bulan, namun ia tetap merasa bahwa Tuhan memanggilnya untuk melakukan sesuatu yang lebih.
Sembari berusaha memahami rencana Tuhan, Maria membuka sekolah kecil di rumahnya.
Di sini dia mendidik gadis-gadis muda dengan memberikan pendidikan moral, sipil dan agama, menanamkan dalam diri mereka rasa takut yang suci akan Tuhan dan cinta akan kebajikan.
Beberapa remaja putri lainnya yang sama bersemangatnya bergabung dengannya.
Semangat pengorbanan mereka yang luar biasa menarik kekaguman dari Kepala Hakim dan Pengawas Sekolah, yang menugaskan mereka untuk memimpin Scuole Normali Leopoldine.
Lambat laun, Maria mulai memahami bahwa ia harus mendirikan sebuah lembaga keagamaan yang dikhususkan untuk pendidikan anak-anak sejak usia dini hingga remaja.
Pada 15 Oktober 1854, setelah mendapat persetujuan dari Uskupnya dan Adipati Leopold II dari Habsburg, Adipati Agung Tuscany, ia dan ketiga temannya mengenakan pakaian Karmelit, dan Maria mendirikan Institut yang sekarang dikenal sebagai Suster Bunda Maria dari Karmel.
Untuk namanya dalam agama, dia memilih “Maria Teresa dari Yesus”.
Para suster begitu penuh kasih kepada Allah dan semangat kerasulan sehingga jumlah murid dan calon mereka meningkat pesat.
Pada musim semi 1856, atas permintaan Kotamadya Foiano, Bunda Maria Teresa mengirimkan beberapa suster ke sana untuk mengelola sekolah perempuan; pekerjaan mereka sangat dihargai.
Sayangnya, para pemimpin politik Montevarchi, yang tidak menyukai kehadiran kaum Karmelit, menyita sekolah mereka pada 1859 melalui undang-undang penindasan parsial dan mewajibkan mereka untuk tidak mengenakan pakaian keagamaan.
Namun para suster tidak mau kalah, dan sang Pendiri membuka sebuah rumah dan sekolah swasta di Montevarchi. Karena kurangnya ruang di tempat baru dan untuk menghindari kesulitan lebih lanjut, beberapa Suster dan Bunda Maria Teresa tinggal di rumah keluarganya.
Pada 1862, setiap warga negara dicabut haknya untuk mencari nafkah – apalagi menjalankan sekolah swasta – dan para Religius harus menutup sekolahnya dan kembali ke keluarga masing-masing.
MATI TAPI HIDUP
Bunda Maria Teresa pindah ke Florence pada 1878. Dengan restu Uskup Agung dia akhirnya dapat membangun kembali komunitasnya. Dia membuka sekolah berasrama untuk gadis-gadis miskin yang memperkaya masyarakat Florentine dengan banyak remaja putri yang memiliki prinsip-prinsip yang baik.
Setelah begitu banyak kemalangan, nampaknya segala sesuatunya menjadi yang terbaik, namun masalah para suster belum berakhir.
Mungkin karena kehidupan mereka yang keras dan kondisi hidup yang tidak sehat, banyak Suster yang meninggal, termasuk sang Pendiri. Penderitaan dan kesulitan selama bertahun-tahun, yang ditanggung dengan sikap pasrah, telah merusak kesehatannya.
Dia meninggal di dekat Florence pada 14 November 1889, pada usia 64 tahun.
Sekali lagi, sepertinya semuanya sudah berakhir. Institut ini hanya mempunyai dua suster, seorang novis dan seorang postulan.
Seorang mantan penghuni asrama, Clementina Mosca, tampaknya memiliki pekerjaan yang menjanjikan, namun dia telah memasuki Biara Dominika di Sodo. Namun, tak lama setelah kematian Bunda Scrilli, pada 1 Desember 1898, Clementina memutuskan untuk masuk ke Institut Karmelit yang kecil. Kemudian, ketika Pemimpin baru meninggal, ia menjadi pemimpin dan di bawah kepemimpinannya Institut secara bertahap mulai berkembang.
Pada tahun 1919 rumah-rumah baru dibuka, Konstitusi dirancang, dan Institut memiliki banyak panggilan dan memperoleh persetujuan keuskupan “ad eksperimenum”. Pada tanggal 27 Februari 1933, menerima Persetujuan Kepausan.
Selama Perang Dunia, para suster diminta untuk memperluas kerasulan mereka kepada mereka yang terluka. Pelayanan selanjutnya mencakup bantuan kepada para tahanan dan orang tua.
Karisma Bunda Maria Teresa tetap hidup di Institutnya di negara-negara dimana ia hadir saat ini: Italia, Amerika Serikat, Kanada, Polandia, India, Brazil, Republik Ceko, Filipina, Indonesia, dan Israel.
Paus Yohanes Paulus II menyatakan Bunda Maria Teresa dari Yesus Yang Mulia pada 20 Desember 2003, dan Paus Benediktus XVI mengakui mukjizat yang diperlukan untuk Beatifikasinya pada 8 Oktober 2008. (*)