Bisnis.com, JAKARTA — Susi Pudjiastuti, pendiri PT ASI Pudjiastuti Marine Product sekaligus Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2014–2019 menilai bahwa keberlanjutan bukan sekadar konsep lingkungan, melainkan cara berpikir yang secara alami dimiliki oleh perempuan.
“Perempuan kalau berpikir biasanya lebih detail tentang kesinambungan, tentang kelanjutan. Jadi, keberlanjutan dan perempuan itu dua hal yang berbeda tapi sebenarnya satu,” ujarnya usai menerima penghargaan SDG’s Life Below Water dalam ajang Women in SDG’s Action Award 2025 yang digelar oleh Bisnis Indonesia Group di Jakarta, Selasa (11/11/2025)
Dalam hal ini, Susi menyoroti peran perempuan dalam sektor kelautan terutama di daerah pesisir yang kerap menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Dia mencontohkan kehidupan para istri nelayan di kampung halamannya, Pangandaran.
“Di Pangandaran, istri nelayan yang memegang kendali keuangan. Suami pulang melaut, istri menjemput, menjual hasil tangkapan, dan mengatur penghasilan keluarga,” tuturnya.
Menurutnya, kesejahteraan keluarga seringkali lebih stabil di wilayah di mana perempuan berperan aktif dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga. Ketika perempuan diberi ruang dan kesempatan yang adil, keberlanjutan akan lebih mudah diwujudkan.
Dia pun membandingkan dengan beberapa wilayah di pesisir pantura, ketika perempuan tidak memiliki peran dalam keuangan, ekonomi keluarga seringkali tidak sekuat di Pangandaran.
“Jadi pemerintah harus adil, karena kalau perempuan kuat, keluarga juga kuat,” tegasnya.
Terkait dengan pandangan yang menilai perempuan sebagai sosok yang lemah atau tertinggal, Susi tidak setuju dengan hal tersebut. Dia justru menganggap kesetaraan sebagai hal yang alami, bukan hak istimewa.
“Saya tidak pernah merasa berbeda karena saya perempuan. Tantangan ada, tapi itu tantangan umum, bukan karena gender,” tegasnya.
Memang secara fisik Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan tetapi dari sisi kemampuan dan kompetensi sebetulnya Perempuan dan laki-laki sama saja. Karena itulah,
Susi berpesan agar perempuan Indonesia tidak terlalu larut memikirkan ketidaksetaraan, melainkan fokus pada karya.
“Kalau terlalu banyak berpikir ‘saya perempuan, saya lemah’, energi akan habis. Lakukan saja dengan sungguh-sungguh,” katanya.
Menurutnya, masyarakat Indonesia kini sudah jauh lebih egaliter. “Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan sudah setara. Mungkin di beberapa wilayah masih ada budaya tradisional yang menempatkan perempuan di posisi kedua, tapi secara umum Indonesia sudah lebih terbuka,” ujarnya.
