Survei Litbang Kompas: 70,3 Persen Responden Setuju Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mayoritas publik setuju pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisah sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (
MK
) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025. Hal itu terekam dalam survei Litbang
Kompas
yang dilakukan pada 14-17 Juli 2025.
Dalam survei Litbang
Kompas
terbaru, 61,9 persen responden setuju pelaksanaan pemilu serentak nasional (DPR, DPD, Pilpres) dipisah dengan pemilu serentak lokal (DPRD provinsi, PDRD kabupaten/kota, pilkada).
Jumlah yang setuju bertambah menjadi 70,3 persen karena sebanyak 8,4 persen responden sangat setuju pemilu serentak nasional dan daerah dipisah.
“Atas
putusan MK
ini, sebanyak 70,3 persen responden menyatakan setuju jika pemilu ke depan, yakni dimulai pada 2029, dilakukan secara terpisah antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal,” tulis peneliti Litbang
Kompas
, Yohan Wahyu, dikutip dari
Kompas.id
, Senin (4/8/2025).
Menurut Yohan, sikap responden yang setuju juga terekam dari tingkat pendidikan dan generasi.
Dia menjabarkan bahwa dari tingkat pendidikan, rata-rata sebanyak 59 persen dari tiap-tiap latar belakang pendidikan, baik tinggi, menengah, maupun dasar, setuju jika
pemilu dipisah
antara yang nasional dan daerah.
“Sementara itu, dari latar belakang generasi, rata-rata tingkat penerimaan responden terhadap putusan MK ini juga ditemukan pola yang sama. Rata-rata penerimaan atas putusan MK ini disampaikan oleh 62 persen responden dari tiap-tiap kelompok generasi,” tulis Yohan Wahyu.
Yohan lantas menjelaskan bahwa rata-rata itu didapat dari sebanyak 71 persen dari kelompok pemilih pemula yang setuju dan 61,2 persen dari kelompok yang sudah beberapa kali mencoblos juga setuju pemilu serentak dipisah pelaksanaannya.
“Artinya, persoalan pemilu tidak bisa dilepaskan oleh urusan teknis di lapangan yang hampir semua responden merasakan,” kata Yohan kepada
Kompas.com
, Senin.
Namun, dari hasil survei Litbang
Kompas
terekam bahwa sebanyak 21,7 persen tidak setuju dan 4,7 persen responden sangat tidak setuju pemilu serentak nasional dan daerah dilakukan terpisah. Sedangkan, 3,3 persen responden menjawab tidak tahu.
Kemudian, dalam survei yang sama terekam bahwa mayoritas responden menjadikan, memudahkan memilih jadi keuntungan dari pelaksanaan pemilu yang dipisah.
Sebanyak 41,7 persen responden mengatakan, tidak bingung memilih banyak calon sekaligus menjadi keuntungan jika pelaksanaan pemilu serentak dipisah antara nasional dan daerah.
Lalu, 36,9 persen responden menyebut pemilu yang dipisah membuat pengawasan jadi lebih mudah. Sebanyak 16,5 persen responden menilai penyelenggaraan pemilu akan lebih fokus dan tertib jika dipisah.
Sedangkan sebanyak 0,9 persen responden mengatakan bahwa tidak ada keuntungan dari pelaksanaan pemilu dipisah dan 4 persen responden menjawab tidak tahu.
Menariknya, hasil survei Litbang
Kompas
juga memotret bahwa responden menyadari jika pemilu serentak dipisah maka biasa penyelenggaraan pemilu akan menjadi lebih mahal.
Sebanyak 51,9 persen responden menjawab kerugian dari pelaksanaan pemilu serentak yang dipisah adalah biaya penyelenggaraan pemilu akan lebih mahal.
Kemudian, 32 persen responden menyebut, potensi konflik politik akan meningkat karena dua kali pelaksanaan pemilu serentak. Lalu, 10,6 persen responden khawatir tingkat partisipasi pemilih bisa menurun jika penyelenggaraan pemilu serentak dipisah.
Sementara itu, 0,7 persen responden menjawab tidak ada kerugian dari pelaksanaan pemilu serentak nasional dan daerah yang dipisah. Lalu, 4,8 persen responden menjawab tidak tahu.
Survei Litbang
Kompas
ini dilakukan melalui telepon terhadap 512 responden dari 64 kota di 38 provinsi selama 14-17 Juli 2025.
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang
Kompas
sesuai proporsi jumlah penduduk setiap daerah.
Tingkat kepercayaan survei 95 persen dan
margin of error
penelitian lebih kurang 4,25 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana
Survei Litbang
Kompas
didanai sepenuhnya oleh Harian
Kompas
(PT Kompas Media Nusantara).
Sebelumnya, MK memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada 26 Juni 2025.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
”
Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Survei Litbang Kompas: 70,3 Persen Responden Setuju Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah Nasional 4 Agustus 2025
/data/photo/2024/02/13/65cb3824dc456.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)