Regulasi pemerintah sendiri dinilai belum cukup kuat mendorong transisi energi bersih. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang menetapkan harga batu bara domestik hanya USD 70 per ton membuat energi terbarukan tampak kurang kompetitif.
Kondisi ini memperkuat kecenderungan bank untuk tetap menyalurkan kredit ke sektor fosil.
Proyek energi terbarukan juga masih dianggap berisiko tinggi. Periode pengembalian modal yang panjang, rekam jejak yang terbatas, dan biaya due diligence yang besar membuat perbankan lebih berhati-hati menyalurkan pendanaan.
Data CERAH mencatat, hingga akhir 2024, pembiayaan bank ke sektor pertambangan dan penggalian mencapai Rp 373 triliun, jauh lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan untuk energi terbarukan yang baru sekitar Rp 55 triliun.
Anastasia menegaskan, lemahnya tekanan kebijakan untuk menahan pembiayaan batu bara dapat menghambat komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emissions (NZE) 2060. Padahal, dibutuhkan dana sekitar USD 20–40 miliar per tahun untuk mencapai target tersebut.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5398139/original/003015800_1761858941-IMG_8273.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)