Surabaya (beritajatim.com) – Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) bersama Lembaga Kajian Ekonomi, Budaya, dan Transformasi Sosial Lentera Nusantara sukses menyelenggarakan Surabaya Kretekroncong Festival 2025, Jumat (7/11/2025).
Festival ini mengangkat dua elemen khas budaya Indonesia, yakni kretek dan musik keroncong, sebagai simbol kreativitas rakyat dan identitas nasional yang kini menghadapi tantangan besar di tengah arus modernisasi dan tekanan global.
Direktur Lentera Nusantara, Irfan Wahyudi, menegaskan, kretek dan keroncong sama-sama lahir dari rahim rakyat kecil. Keduanya merupakan wujud konkret kreativitas dan daya juang masyarakat yang tumbuh di tengah keterbatasan.
“Kita semua hidup di masa ketika seluruh aspek kehidupan rakyat beririsan dengan kebijakan dan tekanan global. Kretek dan keroncong adalah representasi jati diri bangsa, lahir dari lorong-lorong kehidupan dan tangan para pekerja,” ujarnya.
Menurut Irfan, warisan budaya seperti kretek dan keroncong kini menghadapi ancaman serius akibat regulasi yang kian ketat serta perubahan nilai sosial di masyarakat. âKebijakan ekonomi dan kesehatan publik sering kali tidak memperhitungkan dimensi sosial-budaya yang melekat pada tradisi lokal,â katanya. Padahal, di balik sebatang kretek maupun denting alat musik keroncong, tersimpan kisah tentang solidaritas, kerja keras, dan daya cipta rakyat Indonesia.
Ia menegaskan pentingnya menemukan titik keseimbangan antara pengendalian dan pelestarian, antara regulasi dan keberlanjutan ekonomi rakyat. “Kita perlu kebijakan yang tidak sekadar menekan, tetapi juga merawat. Seperti harmoni dalam keroncong, setiap nada memiliki tempatnya, setiap instrumen memiliki perannya,” ujar Irfan.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar, menyoroti bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan sektor dengan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
“Pada tahun 2024, kontribusi IHT mencapai Rp218 triliun, dan sekitar 65 persen di antaranya berasal dari Jawa Timur”, ungkapnya. Angka ini membuktikan bahwa industri kretek bukan sekadar warisan budaya, melainkan juga penopang utama ekonomi daerah.
Sulami menjelaskan, kontribusi IHT tidak hanya menyokong penerimaan negara hingga 11 persen dari total APBN, tetapi juga menyerap lebih dari enam juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. “Mulai dari petani, buruh linting, hingga pelaku distribusi, semua bergantung pada sektor ini. Rantai pasoknya murni berbasis lokal,;dari bahan baku, produksi, hingga konsumsi,” jelasnya.
Namun, di balik sumbangsih besar itu, industri ini menghadapi tekanan regulasi yang tidak ringan. Menurut Sulami, ada lebih dari 500 regulasi yang mengikat industri hasil tembakau, ditambah kenaikan tarif cukai yang kerap memberatkan. “Alhamdulillah, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai di tahun 2026 memberi napas bagi industri,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi kebijakan nonfiskal seperti pembatasan kadar nikotin dan larangan iklan yang terlalu ketat.
“Kalau nikotin lokal dibatasi hanya 2 miligram, sementara tembakau Nusantara rata-rata 1-8 miligram, maka cita rasa kretek akan hilang. Tembakau petani juga tidak akan bisa terserap. Ini bukan hanya persoalan industri, tapi juga hilangnya identitas budaya bangsa,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sulami menyerukan agar pemerintah serius menindak peredaran rokok ilegal yang merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah per tahun. “Rokok ilegal adalah musuh utama kami. Jika dibiarkan, yang rugi bukan hanya negara, tapi juga jutaan pekerja sah yang hidup dari industri resmi,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Prof. Nugrahini Susantinah Wisnujati, menyampaikan pandangannya tentang arah kebijakan strategis bagi sektor pertembakauan. Ia menilai, penting untuk mendorong hilirisasi produk tembakau agar Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi mengolahnya menjadi produk bernilai tambah tinggi di dalam negeri.
Prof. Nugrahini juga menekankan pentingnya pembentukan ekosistem pertembakauan yang kuat, melalui forum lintas sektor seperti komunitas petani, lembaga riset, dan industri kecil menengah. “Kita perlu wadah yang mendukung inovasi, kualitas, dan diversifikasi produk berbasis tembakau nasional,” tuturnya.
Tak hanya itu, ia mengusulkan agar tembakau Indonesia didaftarkan dengan indikasi geografis (IG) seperti halnya kopi Bali atau cokelat Sulawesi, agar produk tembakau lokal memiliki identitas dan daya saing global. “IG akan meningkatkan kepercayaan pasar internasional sekaligus melindungi karakteristik tembakau kita yang unik,” ujarnya.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan regulasi internasional anti-tembakau, Prof. Nugrahini mengingatkan pentingnya riset lintas disiplin agar kebijakan yang dibuat bersifat objektif dan ilmiah. “Kita tidak boleh hanya memberi justifikasi bahwa rokok berbahaya. Akademisi harus berbicara berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif,” tegasnya.
Festival Kretekroncong 2025 pun menjadi simbol kebangkitan kesadaran nasional akan pentingnya merawat kearifan lokal di tengah perubahan zaman. Melalui harmoni keroncong dan aroma kretek, bangsa ini diingatkan bahwa budaya bukanlah beban masa lalu, melainkan fondasi masa depan.
“Seperti nada-nada keroncong yang berpadu mencipta keindahan, ekonomi, kebijakan, dan nilai kemanusiaan harus terus dijaga keseimbangannya demi Indonesia yang berdaulat secara budaya dan ekonomi,” pungkas Irfan Wahyudi. (ted)
