Strategi NU Menjaga Republik dari Ekstremisme

28 January 2023, 5:00

BEBERAPA bulan setelah terpilihnya Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), penulis berkesempatan bertemu singkat dengan beliau. Dalam pertemuan singkat itu, salah satu hal yang disampaikannya tentang upaya NU merespons perkembangan ekstremisme. Beliau merasa sepertinya perlu ada strategi inovatif merespons hal tersebut.

Pertemuan singkat bersama Gus Yahya memunculkan pertanyaan tentang bagaimana NU menyikapi dinamika tersebut. Apakah NU sudah memiliki strategi sistemik menghadapi penyebaran ekstremisme yang masif? Sudahkah NU mengevaluasi apa yang sudah dilakukan selama ini terkait ekstremisme? Komponen mana saja yang terlibat merespons ekstremisme?

Apakah sikap menghadapi ekstremisme telah berkesesuaian dengan deru perubahan teknologi yang inheren dengan prinsip al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah? Terakhir, bagaimana sikap NU melihat fenomena bergeraknya kelompok kanan ke sisi tengah?

MI/Duta

 

NU dan keresahan terhadap ekstremisme

NU lahir pada 1926 sebagai respons dari keruntuhan Dinasti Usmani yang berkuasa lebih dari delapan abad. Penguasa Hijaz berganti menjadi rezim Bani Saud yang berhaluan Wahabi. Dinasti Usmani yang bercorak ahlusunah waljamaah pun digantikan dengan corak Wahabi.

Corak Wahabi yang menguasai mazhab keagamaan di Hijaz memunculkan kontroversi. Kedamaian di tanah Hijaz diusik dengan penghancuran situs bersejarah hingga menyasar makam Nabi Muhammad. Dari momen inilah karakter NU menampilkan dirinya. Komite Hijaz, sebagai cikal bakal NU dipimpin KH Wahab Chasbullah, mencari, mengupayakan, dan memperjuangkan nilai-nilai moderasi hingga ke tanah Hijaz.

Kontestasi NU dengan gerakan purifikasi Islam terlihat dalam awal-awal kesejarahannya. Benturan antar-Islam puritan dan tradisi menjadi tidak terelakkan. Benturan semangat purifikasi dan menjaga tradisi pada bagian lain mengisahkan episode lahirnya Pancasila yang menjadi salah satu milestone NU dalam perumusan konstitusi negara pada 1945. Pada tahun yang sama, lahir resolusi jihad atas prakarsa KH Hasyim Asy’ari.

Republik Indonesia yang baru berdiri tidak pernah luput dari pengawalan NU di setiap fase-fase pentingnya. NU terlibat aktif menjadi solusi dari mengerasnya ekstremisme kanan ataupun kiri yang berlangsung di republik yang masih muda belia ini.

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1948 dan Deklarasi Darul Islam/Tentara Islam (DI/TII) 1949 dapatlah menjadi catatan penting sejarah republik yang mana NU dengan teguh membersamai penyelesaian masalah yang terjadi.

Sejarah mencatat dengan baik bagaimana kebersamaan perlawanan NU dengan republik muda Indonesia terhadap ekstremisme kiri yang berujung pada perlawanannya terhadap PKI pada era 1965. Sejarah juga mencatat kebersamaan NU dengan republik melawan kelompok DI/TII dengan berbagai variannya terus berlanjut hingga sekarang.

Pada era Orde Baru, sejarah mencatat penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila di tengah kontroversi penolakan beberapa elemen Islam pada 1985. Hal itu dilandasi konsistensi nilai-nilai NU untuk menjaga keharmonisan hubungan agama dan negara serta kontribusi agama terhadap bangsa Indonesia yang beragam.

 

Pola kerja kelompok ekstrem

Saat ini, gerakan untuk mengganti ideologi negara masih sering terdengar kendati wadah seperti Hizbut Tahrir (HT), Al Jamaah Al Islamiyah (JI), dan Jamaah Ansharu Daulah (JAD) telah divonis sebagai organisasi terlarang di Republik Indonesia. Gerakan yang sama masih hidup dengan wadah-wadah baru yang sering kali tersamar.

JI sebagai organisasi yang didirikan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir merupakan metamorfosis dari organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Kedua orang ini memiliki relasi yang kuat dengan salah satu tokoh penting NII pada masa lalu. Belakangan juga diketahui bahwa organisasi NII beranak pinak menjadi JI, MMI, JAK, JAT, JAS, JAD, dan yang terakhir muncul ialah kelompok Khilafatul Muslimin.

Dahulu, JI dikenal memiliki visi yang terangkum dalam Pedoman Umum Perjuangan Al Jamaah Al Islamiyah lalu di kemudian hari berubah nama menjadi Total Amniyah dan Total Solution (Tastos). Isinya tidak lain ialah metode, taktik, dan strategi perjuangan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam puritan.

JAD sebagai anak organisasi yang dilahirkan JI diketahui terafiliasi dengan ISIS dan Khilafatul Muslimin yang merupakan gerakan anti-Pancasila. Semua organisasi ekstrem tersebut memiliki tujuan akhir kekuasaan politik mendirikan negara berdasarkan keyakinan puritan dengan terma Khilafah Islamiyah, Daulah Islamiyah, Daulah Islam, atau Negara Islam.

Apakah hanya ideologi yang menyebabkan aksi ekstrem dapat terjadi? Tentulah tidak. Pendanaan menjadi salah satu faktor vital bagi kelompok ekstrem. Ibarat darah dalam tubuh, pendanaan ialah darah bagi jaringan teror untuk dapat bergerak leluasa.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa non profit organization dengan modus donasi menjadi cara cepat mengumpulkan dana bagi aksi dan organisasi terorisme. Setidaknya tercatat beberapa organisasi, seperti Syam Organizer dan Lembaga Abdurahman bin Auf di Lampung yang digunakan jaringan teror guna mendanai pelatihan militer dan pengiriman petempur militan ke luar negeri atau wilayah konflik.

Dalam hal ideologi dan pendanaan, kelompok ekstrem sudah memiliki kapasitas lebih. Mereka juga memiliki man power jaringan yang potensial, dapat dilihat dari pelibatan pemuda, anak, dan perempuan. Tercatat, pelaku aksi teror mayoritas didominasi generasi muda, baik sebagai pengantin bom, penerjunan militan ke wilayah konflik, maupun kelompok yang melakukan propaganda di media sosial.

 

Pelaku teror terus bertransformasi

Transformasi gerakan teror terus terjadi. Pelaku yang dahulunya didominasi laki-laki kini makin banyak perempuan yang dilibatkan. Perempuan menjadi faktor yang makin diperhitungkan jaringan teror sebagai strategi. Peran perempuan tak lagi sekadar supporting system. Akan tetapi, sudah mengalami transformasi sebagai pengantin, perekrut, bahkan tak sedikit yang menjadi ideolog.

Transformasi juga terjadi dalam penggunaan media propaganda sebagai katalisator gerakan. Perkembangan pengguna media sosial di Indonesia tidak luput dari perhatian kelompok teror. Media sosial dijadikan sebagai salah satu kunci propaganda.

Kita menyaksikan bagaimana penyebaran ideologi ekstrem di dunia maya makin masif. Contoh terbaru ialah pelaku yang ditangkap Densus 88 berinisial AW di Yogyakarta. Makin sering publik menerima informasi relasi antara pelaku teror dan aktivitas media sosial. Umumnya pelaku teror individual (self initiative terror) memiliki relasi kuat dengan aktivitas bermedia sosial.

 

Ekosistem ekstremisme

Berbicara mengenai ekosistem ekstremisme, tentu kita perlu menguaknya dari kondisi sosiologis. Migrasi masyarakat desa ke kota melahirkan corak baru dalam kehidupan keagamaan di perkotaan. Perbedaan budaya masyarakat desa dan kota menjadi problematika tersendiri karena perbedaan sistem kontrol sosial yang berlangsung. Tidak heran apabila kita melihat aksi kekerasan kelompok ekstrem lebih memilih kota sebagai target sasaran aksi dan wilayah urban sebagai lokasi konsolidasi dan persiapan aksi kekerasan.

Imbas dari kontra narasi dari negara dan kelompok antiteror yang sedemikian riuh selama hampir satu dekade menghasilkan pergeseran simbol dari kelompok-kelompok yang selama ini mengusung ideologi transnasional dan identitas politik (Islam puritan). Bahkan, kini kelompok teror pun mencoba terus menggunakan terma dan simbol kelompok moderat untuk menutupi niat dasar purifikasinya. Bagaimana NU semestinya merespons transformasi kelompok ekstrem yang makin dinamis?

 

Inovasi strategi

Menghadapi tantangan atas dinamika persoalan yang muncul berkenaan dengan problematika ideologi, NU memiliki prinsip tawasut (tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi), dan itkidal (tegak lurus). Keempat prinsip itu dalam konteks kontra narasi dan deradikalisasi perlu didesain sehingga prinsip tersebut mampu memesona, baik bagi pelaku atau mantan pelaku yang masih rentan mengulang maupun publik yang rentan terpapar ideologi ekstrem.

Bukan hanya itu, penulis berpendapat bahwa pemahaman tasawuf sepertinya juga perlu diformulasikan bagi kelompok-kelompok itu. Dalam sejumlah upaya deradikalisasi yang penulis ikuti, terdapat fakta kerasnya pemahaman bersumber dari ketiadaan kelembutan hati.

Kemampuan mendesiminasikan prinsip-prinsip tersebut menjadi penting bagi kalangan internal NU mengingat ekstremisme hingga di kalangan generasi muda, anak, dan perempuan serta melibatkan keluarga.

Untungnya NU memiliki modalitas kelembagaan berdasarkan segmentasi di bidang perempuan, remaja, anak, dan keluarga. Tantangannya, bagaimana desiminasi itu menjadi efektif bagi pihak eksternal. Diseminasi prinsip tersebut selanjutnya perlu dikemas dalam format-format konten digital kekinian sehingga mampu menyaingi, mengalahkan, atau bahkan membenamkan konten ekstrem yang menjamur di dunia maya.

Upaya selanjutnya yang perlu dilakukan ialah menghambat atau menghentikan aliran pendanaan bagi kelompok ekstrem. NU semakin dituntut untuk dapat memformulasi inovasi gerakan filantropi agar mampu menyaingi inovasi pendanaan yang dilakukan kelompok ekstrem. Gerakan filantropi juga harus berinovasi mengembangkan sumber dan pola pendanaan publik untuk kerja kontra narasi digital, penguatan program deradikalisasi oleh masyarakat, dan untuk kerja pendidikan toleransi bagi generasi muda.

Pendekatan pencarian solusi berbasis pada kekuatan struktur kelembagaan perlu dibarengi dengan pendekatan berbasis kebudayaan di akar rumput. Dalam konteks ini, pemberdayaan tokoh agama di basis akar rumput menjadi sangat penting. Revitalisasi kiai kampung khas NU memiliki daya tarik tersendiri dan dapat menjadi satu kekuatan khas.

Strategi kontra narasi berbasis digital oleh kiai kampung menjadi penting karena masyarakat kerap menjadikannya sebagai rujukan, bukan hanya dalam konteks kehidupan keagamaan, melainkan juga dalam konteks sosial yang lebih luas. Temuan survei BNPT 2022 tentang masih besarnya masyarakat yang bertanya tentang keagamaan kepada tokoh agama di tempat tinggalnya agaknya menjadi relevan dengan revitalisasi peran kiai kampung selama ini.

Kedekatan kiai kampung dengan masyarakat menjadikan kohesi sosial menjadi erat dan membuat masyarakat patuh. Pencegahan penyebaran ideologi ekstrem, pencegahan pelibatan anak dan perempuan dalam aksi terorisme, pencegahan pendanaan teror berkedok donasi, serta pandangan yang kontra terhadap ketiga hal tersebut dari kiai kampung tentunya akan memiliki dampak tersendiri.

Orkestrasi NU, secara struktural dan kultural terhadap berbagai isu ekstremisme yang berkembang di masyarakat dan negara, tentunya membutuhkan konduktor. Konduktor inilah yang mengatur harmoni irama pencegahan dari semua aktor agar dapat memberi manfaat ke depan. Di titik ini, strategi dan peran pengurus NU di level pusat hingga daerah sangatlah menentukan warna-warni pencegahan ekstremisme di Indonesia. wallahualam

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi