Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Starlink Resmi Masuk RI, Hadapi Badai Kritik di Sana-sini

Starlink Resmi Masuk RI, Hadapi Badai Kritik di Sana-sini

Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia – Masuknya Starlink ke Indonesia jadi pembicaraan hangat sepanjang tahun ini. Termasuk menjadi salah satu topik terpopuler CNBC Indonesia pada 2024.

Rumor masuknya Starlink ke Indonesia memang sudah jauh terdengar sejak beberapa waktu terakhir. Tahun lalu, CNBC Indonesia sempat melaporkan layanan tersebut siap beroperasi di Indonesia pada 2024 dengan melabeli wilayah tanah air dengan ‘Starting in 2024’.

Saat itu, masyarakat sudah bisa langsung melakukan pemesanan. Mereka perlu memberikan deposit sebesar US$9 untuk tiap order, dan akan dikembalikan setelahnya.

April lalu, Budi Arie Setiadi yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika mengabarkan Starlink melakukan uji coba di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara usai lebaran tahun ini.

Saat itu, dia memastikan layanan internet berbasis satelit itu sudah mengikuti semua aturan yang ada di Indonesia. Layanannya juga menyasar langsung ke konsumen dengan skema B2C.

“Yang jelas bisnisnya harus fair, level of playing field-nya harus fair, semua harus ikuti regulasi yang ada. [Starlink] dia nanti B2C [business to consumer], ” kata Budi, Rabu (3/4/2024).

Mulai pertengahan tahun, Starlink resmi masuk ke Indonesia. Bosnya, Elon Musk langsung datang ke Bali untuk meresmikan layanan tersebut.

Harga layanan tersebut dibanderol mulai dari Rp 750 ribu untuk paket Residensial dan Jelajah sebesar Rp 990 ribu. Untuk perangkatnya, Starlink menjualnya Rp 7,8 juta, namun sempat didiskon menjadi Rp 4,7 juta dan Rp 5,9 juta dalam dua kali kesempatan.

Bahlil Lahadalia saat menjabat sebagai Menteri Investasi sebab mengungkapkan nilai investasi Starlink di Indonesia di hadapan Komisi VI DPR pada Juni lalu. “Saya jujur Starlink ini menurut Online Single Submission (OSS), investasinya Rp 30 miliar,” ujarnya.

Buka Kantor di RI, Karyawan Cuman Tiga

Bahlil juga sempat mengatakan Starlink hanya mempekerjakan tiga orang. Namun dia tidak merinci detail ucapannya itu.

“Saya takut nanti akhirnya melahirkan multi interpretasi,” kata Bahlil.

Informasi soal perusahaan tersebut di Indonesia didapatkan CNBC Indonesia dari website Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.

Dokumen itu menuliskan nama Leonard Mamahit sebagai direktur Starlink Service Indonesia. Dia berusia 69 tahun dan tinggal di Jakarta.

Untuk posisi komisaris diisi oleh warga negara Amerika Serikat (AS) berbasis di Belanda bernama Lauren Ashley Dreyer. Kedua orang itu tercatat tidak memiliki saham untuk Starlink Indonesia.

Sahamnya dimiliki oleh Starlink Holdings Netherlands dan SpaceX Netherlands, yang sama-sama berasal dari Belanda. Starlink Holdings memiliki 99 ribu lembar saham dengan total Rp 9,9 miliar dan SpaceX Netherland mengantongi 1.000 lembar saham senilai Rp 100 juta.

Terkait kantor, alamat yang tertera dalam dokumen berada di Gedung Bursa Efek Indonesia, Sudirman, Jakarta Selatan.

Isu Anak Emas hingga Harga Kemurahan

Namun masuknya Starlink tak lepas dari kritikan. Misalnya sempat beredar sebutan anak emas untuk masuknya layanan ke Indonesia.

Sejumlah operator juga menginginkan adanya perlakuan yang sama antara Starlink dan pemain lokal lain. Budi mengatakan tidak ada perlakuan khusus untuk Starlink, mereka tetap melakukan kewajiban yang sama dengan penyelenggara lain.

“Pemerintah tidak menjadikan Starlink sebagai anak emas. Dan memberikan perlakuan yang setara kepada semua penyelenggara internet service provider,” kata Budi menjawab pertanyaan dari anggota Komisi I, saat rapat kerja di DPR RI, Senin (10/6/2024).

Dalam kesempatan berbeda, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kementerian Kominfo, Aju Widya Sari juga mengatakan izin yang didapatkan Starlink tidak didapatkan secara instan. Butuh dua tahun untuk perusahaan bisa menyesuaikan dengan regulasi yang ada.

Kabar lain menyebut regulatory charges yang dibebankan kepada perusahaan hanya Rp 2 miliar per tahun untuk satu unit satelit berdasarkan BHP izin stasiun radio satelit.

Namun Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kominfo yang kala itu dijabat Ismail mengatakan ISR yang dibayarkan Starlink sekitar Rp 23 miliar. Besaran BHP itu sama dengan penyelenggara satelit lain, dan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (PP No. 43 Tahun 2023).

“Besaran BHP ISR yang dikenakan kepada Starlink yang benar adalah sekitar Rp23 Miliar per tahun,” kata Ismail, dalam keterangan pers, dikutip Senin (24/6/2024).

Harganya yang cukup murah juga sempat menjadi isu. Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenkomarves Septian Hario Seto menyebut harganya memang cukup murah, namun tidak beda jauh dengan negara lain.

“Tapi kalo dibandingkan dengan negara-negara sekitar kita Malaysia, Filipina gitu ya saya kira ga berbeda jauh. jadi mereka juga menyesuaikan dengan daya beli yang ada di negara di mana mereka akan beroperasi,” jelasnya dalam wawancara di program Profit di CNBC Indonesia TV, Selasa (4/6/2024).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sempat mengeluarkan sebuah studi soal layanan low-earth orbit, yang juga diadopsi oleh Starlink. Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamenggala menjelaskan pihaknya menyarankan satelit LEO hanya beroperasi untuk di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).

“Lebih lanjut, KPPU juga menyarankan penyediaan jasa internet di daerah 3T tersebut mengutamakan kemitraan antara penyedia jasa internet berbasis LEO dengan pelaku jasa telekomunikasi dan pelaku UMKM dengan mempertimbangkan kepentingan nasional,” kata Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamenggala dalam keterangan resminya.

Ditemui pada pertengahan Desember, Sekjen ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia), Marwan O Baasir mengatakan asosiasi mendukung studi itu untuk diberikan pada rural dan kerja sama dengan pihak lain.

ATSI juga berencana akan mengirim surat ke pemerintah menanggapi studi KPPU. “Kita pure mendukung rural, dan kolaborasi, bekerja sama, tapi tidak direct-to-cell. Biarin aja, ini yang nanti jualannya operator-operator juga gitu,” jelasnya.

Direct-to-Cell

Salah satu fitur yang juga dikritik adalah direct-to-cell. Fitur tersebut membuat Starlink bisa diakses langsung melalui ponsel masyarakat.

Starlink mengumumkan peluncuran layanan tersebut secara bertahap. Dimulai tahun 2024 untuk kemampuan text, tahun depan untuk voice, data dan IoT.

Namun dalam pengumuman tersebut, tidak ada operator seluler Indonesia yang bekerja sama dengan Starlink untuk pengimplementasian di tanah air. Tercatat delapan operator dan negara yang telah bermitra dengan Starlink, yakni T-Mobile (Amerika Serikat), Optus (Australia), Rogers (Kanada), One Nz (Selandia Baru), KDDI (Jepang), Salt (Swiss), Entel (Chili), dan Entel (Peru).

Terkait hal ini, Aju menjelaskan Starlink tidak bisa menyediakan layanan tersebut di Indonesia. Sebab perusahaan hanya memiliki izin untuk ISP dan Jartup Vsat.

“Dalam implementasi saat ini, PT Starlink Services Indonesia dengan jenis izin penyelenggaraan telekomunikasi yang dimiliki (ISP dan Jartup VSAT) tidak dapat menyediakan layanan D2C (Direct-to-Cell) secara langsung kepada pelanggan,” kata Aju kepada CNBC Indonesia, beberapa saat lalu.

Aju menjelaskan layanan Direct-to-Cell juga tidak ada dalam penawaran Starlink. Perusahaan juga belum menyampaikan rencana untuk meluncurkan layanan tersebut di tanah ait.

“Saat ini layanan D2C juga bukan bagian dari layanan yang ditawarkan oleh Starlink di Indonesia dan hingga saat ini belum menyampaikan mengenai rencana implementasi layanan dimaksud di Indonesia,” jelasnya.

KPPU juga menyinggung soal layanan tersebut dalam kajiannya. Menurut KPPU, Direct-to-Cell dapat membuat persaingan tidak sehat antar pelaku yang tidak memiliki layanan itu.

“Pengembangan teknologi satelit LEO juga dapat terus berkembang, di antaranya pengembangan teknologi Direct to Cell. Teknologi direct-to-cell ini berpotensi pelaku usaha penyedia jasa internet melalui LEO dapat menjadi pelaku usaha dominan di wilayah tersebut dan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha nasional yang tidak memiliki teknologi satelit LEO,” kata Mulyawan.

(luc/luc)