Ketika masyarakat memang tidak mempercayai ini berbahaya sekali sebab banyak persoalan di masyarakat kemudian harusnya lapor polisi, tetapi tidak lapor polisi
Jakarta (ANTARA) – Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokhammad Najih mengingatkan tentang catatan laporan masyarakat terkait layanan/pelayanan kepolisian supaya diperhatikan dalam agenda Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
“Perlu saya sampaikan, data laporan masyarakat yang diterima oleh Ombudsman dalam lima tahun terakhir bahwa Ombudsman menerima kurang lebih 3.308 laporan terkait dengan pelayanan kepolisian,” kata Najih saat diskusi publik bertajuk Reformasi Polri dan Pelayanan Publik bagi Masyarakat di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan sejumlah isu yang dilaporkan masyarakat, yaitu penyalahgunaan kewenangan di dalam laporan-laporan terkait dugaan malaadministrasi, lemahnya pengawasan, hingga ketidakmerataan kualitas layanan dari pusat hingga daerah.
Menurut Najih, harapan publik terhadap Polri pada dua dekade pascareformasi semakin tinggi dari waktu ke waktu, terutama tuntutan akan profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta penghormatan hak asasi manusia.
“Namun, kita masih belum sepenuhnya harapan itu bisa dipenuhi oleh kepolisian itu sendiri,” kata dia.
Kondisi tersebut dinilai semakin menuntut perubahan mendasar, terlebih jika dikaitkan dengan agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang menekankan pada penguatan tata kelola pemerintahan dan kualitas pelayanan publik.
“Termasuk reformasi di sektor keamanan yang harus adaptif terhadap tantangan kejahatan digital, misalnya, kejahatan terorganisasi, ancaman lintas negara, ancaman disintegrasi, dan dinamika sosial yang semakin kompleks,” kata Najih.
Untuk itu, Ombudsman berharap reformasi kepolisian tidak hanya dimaknai sebagai kebutuhan internal di kepolisian semata, tetapi juga kebutuhan publik yang lebih luas agar masyarakat dapat merasakan layanan yang humanis, profesional, modern, dan akuntabel.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro mengatakan setidaknya ada tiga masalah utama dari laporan masyarakat terkait kepolisian, yakni krisis kepercayaan publik, budaya birokrasi dan lemahnya pengawasan, serta beban kerja berlebihan.
Menurut dia, ketika masyarakat tidak percaya, mereka enggan berpartisipasi dalam upaya penegakan hukum. Selain itu, keputusan dan tindakan kepolisian akan selalu dicurigai publik, sekalipun hal itu telah dianggap benar.
“Ketika masyarakat memang tidak mempercayai ini berbahaya sekali sebab banyak persoalan di masyarakat kemudian harusnya lapor polisi, tetapi tidak lapor polisi,” katanya mengingatkan.
Selain itu, Ombudsman menilai, budaya birokrasi Polri menyebabkan pelaporan, penanganan, pengaduan, serta pemeriksaan internal menjadi panjang dan terkesan tidak transparan.
Kondisi ini, menurut Ombudsman, berpotensi menurunkan akuntabilitas yang pada akhirnya berdampak langsung pada menurunnya efektivitas dan legitimasi kinerja Polri.
“Dalam beberapa kesempatan, saya juga merasakan langsung betapa teman-teman di Ombudsman ini tidak mudah untuk mengakses informasi dari proses penyidikan, penyelidikan, yang menjadi kepentingan kami dalam menindaklanjuti laporan,” tuturnya.
Johanes juga mengatakan beban kerja aparat penegak hukum cenderung berlebihan. Terkait hal ini, Ombudsman menyoroti celah penyalahgunaan ketika aparat memiliki kekuasaan besar dan fungsi yang kompleks tanpa dibarengi kontrol yang kuat.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
