JAKARTA – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan dirinya siap berdiskusi secara terbuka sebagai sejarawan dan peneliti tentang isu pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Kerusuhan Mei 1998. Fadli menyatakan tidak pernah menyangkal peristiwa itu, tetapi ia meragukan penggunaan diksi “massal” yang dianggap identik dengan kejadian yang terstruktur dan sistematis.
“Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000, di Bosnia 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras,” kata Fadli dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Gedung DPR, Rabu, 2 Juni.
Politikus Gerindra itu mengaku mengikuti perdebatan isu ini lebih dari 20 tahun, termasuk diskusi di berbagai forum publik. “Saya siap sebagai seorang sejarawan dan peneliti untuk mendiskusikan ini. Tidak ada denial sama sekali,” ujarnya.
Fadli menyinggung laporan awal Majalah Tempo yang menurutnya kesulitan menemukan korban secara langsung. Ia juga mengutip pernyataan aktivis hak asasi manusia Sidney Jones yang disebut tidak berhasil bertemu satu pun korban dalam investigasi panjang. “Ini Majalah Tempo yang baru terbit waktu itu, tahun 1998. Bisa dibaca dan dikutip bagaimana mereka juga melakukan investigasi tiga bulan soal perkosaan massal itu, ada kesulitan. Sidney Jones mengatakan tidak ketemu satu orang pun korban,” jelasnya sambil mengangkat Majalah Tempo di hadapan anggota dewan.
Selain soal pendokumentasian, Fadli mengingatkan potensi narasi adu domba yang dimanfaatkan pihak asing untuk memecah belah masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan tuduhan yang diarahkan ke institusi militer dan dikaitkan dengan agama tertentu. “Jangan sampai kita masuk dalam narasi adu domba dari kekuatan asing. Misalnya, sebelum melakukan perkosaan massal meneriakkan ‘Allahu Akbar’. Itu ditulis dan disebut pelakunya berambut cepak, diarahkan ke militer. Ini narasi yang harus diteliti lebih dalam,” tegasnya.
Fadli juga memastikan proses penulisan ulang sejarah tragedi 1998 tidak akan diintervensi atau dicampuri oleh dirinya sebagai menteri. Semua kajian dan dokumentasi sepenuhnya dilakukan para pakar sejarah yang independen.
Dalam kesempatan itu, Fadli juga mengungkapkan sudah membaca dokumen lengkap Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998. Meski begitu, ia menekankan perlunya pendalaman akurasi data agar publik tidak terjebak kesimpulan menyesatkan. “Kita tidak ingin ini menjadi narasi adu domba dan kita kemudian mengenyampingkan ketelitian. Pendokumentasian yang kokoh itu masalahnya,” katanya.
Fadli menegaskan, pengakuan bahwa peristiwa pemerkosaan memang terjadi harus dibarengi upaya membangun basis data yang valid. “Kita harus akui bahwa jelas itu ada perkosaan dan itu terus terjadi juga, tetapi secara hukum kita sulit untuk mendapatkan faktanya,” tutup Fadli.
