Smelter Nikel Makin Banyak, Pasokan Bijih Kian Ketat

Smelter Nikel Makin Banyak, Pasokan Bijih Kian Ketat

Bisnis.com, JAKARTA — Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyoroti masifnya pembangunan smelter yang memicu maraknya impor bijih nikel dari Filipina. Kondisi ini ironi, mengingat Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar.

Ketua Umum FINI Arif Perdana Kusumah mengatakan saat ini Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 55 juta ton logam nikel atau sekitar 45% cadangan dunia. Mestinya, RI menjadi negara paling aman dalam hal ketersediaan bijih. 

“Namun dalam praktiknya, pertumbuhan smelter yang begitu masif membuat kapasitas produksi tambang tidak mampu mengejar kebutuhan,” kata Arif dalam keterangan tertulis, Kamis (20/11/2025).

Padahal, smelter dengan teknologi pirometalurgi dan hidrometalurgi membutuhkan pasokan berkelanjutan. Jika produksi tambang tidak sejalan dengan ekspansi smelter, industri akan tertekan krisis pasokan bahan baku.

Dalam catatannya, Indonesia mengimpor bijih nikel senilai 10,4 juta ton dari Filipina pada 2024. Tahun, impor tersebut diperkirakan naik hingga 15 juta ton atau setara US$600 juta. 

Padahal, cadangan Filipina hanya 4,8 juta ton logam nikel atau sekitar 4% cadangan global dan jauh di bawah Indonesia. Arif menilai impor tersebut terjadi karena dua alasan yaitu keterbatasan pasokan dalam negeri dan kebutuhan blending untuk menyesuaikan rasio Si:Mg dalam proses produksi smelter.

“Sebuah ironi besar, negara superpower nikel dunia bergantung kepada negara dengan cadangan jauh lebih kecil,” tuturnya.

Namun, Arif menyebut bahwa fenomena ini tidak hanya ironis, tetapi juga menjadi sinyal penting bahwa laju pembangunan hilirisasi perlu diimbangi dengan penguatan kapasitas pasokan di hulu agar rantai industri nikel nasional tetap berjalan secara berkelanjutan.

Dia mencatat pertumbuhan kapasitas smelter yang pesat, misalnya pada 2017 produksi smelter 250.000 ton nikel kelas dua, sementara pada 2024 kapasitas melonjak menjadi 1,8 juta ton nikel kelas dua dan 395.000 ton nikel kelas satu.

“Dalam kurang dari sepuluh tahun, Indonesia menjelma menjadi pemain strategis dunia dalam industri baja tahan karat dan material baterai,” imbuhnya. 

Saat ini pangsa pasar nikel dari Indonesia mencapai lebih dari 60% kebutuhan dunia. Namun, pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa diimbangi penguatan hulu menimbulkan ancaman. Jika pasokan bijih nikel terus ketat, dampaknya bisa merembet ke seluruh ekosistem. 

Dia menyebutkan sejumlah dampak, pertama terjadi ketidakpastian investasi akibat kebijakan yang berubah. Kedua, biaya produksi meningkat karena harga bijih meroket. 

Ketiga, risiko smelter terpaksa menghentikan operasi. Keempat, terhambatnya investasi lanjutan seperti industri baterai dan kendaraan listrik. Kelima, dampak berantai ke lembaga pembiayaan dan sektor pendukung.

Hilirisasi nikel yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia ternyata menghadapi masalah mendasar di bagian hulu. Ekosistem hilirisasi yang bergantung pada harmoni antara tambang, smelter, pasar, dan kebijakan pemerintah kini terganggu oleh lemahnya pasokan bijih nikel.

“Ketika satu saja elemen melemah, seluruh rantai pasok terguncang. Dan saat ini, titik terlemah itu berada pada pasokan bijih nikel,” tambahnya. 

FINI menilai perubahan masa berlaku RKAB dari tiga tahun menjadi satu tahun memicu ketidakpastian pasokan. Di tengah pertumbuhan jumlah smelter yang pesat, kebutuhan kuota tambang meningkat, sementara ruang perencanaan penambangan semakin pendek. Ketidakseimbangan antara produksi tambang dan kebutuhan industri pun makin terasa.

Menurut dia, hilirisasi membutuhkan perencanaan menyeluruh dengan penguatan hulu mulai dari eksplorasi harus dipercepat, kepatuhan teknis penambangan diperketat, dan RKAB untuk tambang terintegrasi perlu diprioritaskan.

Tanpa fondasi hulu yang kuat, ironi impor bijih nikel akan terus membayangi ambisi besar Indonesia. Hilirisasi hanya akan menjadi peluang sejarah jika pasokan bahan baku dapat terjamin di negeri yang kaya nikel.