Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memfasilitasi skema business-to-business (B2B) antara PT Pertamina (Persero) dan SPBU swasta dinilai sebagai langkah strategis untuk menjaga pasokan bahan bakar minyak (BBM) sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Andy N. Sommeng, menyatakan skema B2B memberi keuntungan signifikan. Dengan pembelian dalam volume besar, kata Andy, posisi tawar Pertamina meningkat, logistik menjadi lebih efisien, dan stok nasional menjadi lebih terjamin. “Dengan skema impor ini, Pertamina bisa membeli dalam volume besar. Bargaining power meningkat, logistik lebih efisien, dan stok nasional lebih aman,” ujarnya, Selasa (23/9/2025).
Menurut Andy, hasil rapat antara ESDM, Pertamina, dan pengelola SPBU swasta yang melahirkan empat poin kesepakatan memperlihatkan tata kelola yang transparan. Poin-poin itu meliputi jaminan pasokan dalam tujuh hari, keterlibatan surveyor independen, serta mekanisme harga yang terbuka.
Ia menegaskan bahwa pengaturan ini bukan monopoli komersial, melainkan monopoli negara yang sah sesuai ketentuan UU Migas, PP 36/2004, dan Perpres 191/2014. “Ini sejalan dengan implementasi Pasal 33 UUD 1945,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah tidak membatasi kuota impor bagi SPBU swasta. Alokasi untuk tahun ini dinaikkan 10% dibandingkan realisasi 2024, menjadi 110% dari realisasi tahun lalu. “Kalau tahun lalu 1 juta kiloliter, tahun ini 1,1 juta kiloliter. Kalau masih kurang, silakan kolaborasi dengan Pertamina,” ujar Bahlil.
Bahlil juga memastikan cadangan BBM nasional saat ini mencukupi untuk kebutuhan 18–21 hari. Ia menekankan bahwa pengelolaan energi merupakan urusan publik yang harus tetap dikontrol negara. “Energi menyangkut hajat hidup orang banyak. Cabang industri ini wajib tetap dikontrol negara,” kata Bahlil.
Sebagai mantan Kepala BPH Migas (2011–2017), Andy menekankan peran strategis Pertamina bukan sekadar sebagai importir tunggal, tetapi juga sebagai penyangga terhadap fluktuasi pasar global. Bila sepenuhnya diserahkan ke pasar bebas, ujarnya, volatilitas harga akan membebani konsumen kecil. “Negara wajib hadir memastikan stabilitas,” tutur Andy.
Data ESDM menunjukkan pangsa pasar SPBU swasta mencapai sekitar 13% dari total distribusi nasional. Kehadiran mereka, menurut Andy, penting untuk meningkatkan layanan ritel BBM, namun harus berada dalam koridor regulasi agar tidak mengganggu peran strategis Pertamina.
Andy mengingatkan bahwa skema impor B2B sebaiknya dipandang sebagai solusi jangka menengah. Prioritas tetap pada percepatan pembangunan kilang dan diversifikasi energi agar ketergantungan impor tidak berkepanjangan. “Kebijakan ini bukan solusi permanen, tapi jembatan menuju kemandirian energi. Pemerintah perlu transparan dalam kompensasi ke Pertamina dan memperkuat proyek kilang,” katanya.
Dengan skema yang terstruktur dan transparan, diharapkan publik semakin yakin pasokan BBM terjaga, harga terkendali, dan tata kelola energi berjalan sesuai amanat konstitusi. Implementasi yang konsisten, menurut para pengamat, akan menentukan efektivitas skema ini dalam jangka menengah.
