Sinema dan Politik Ingatan Kolektif
Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
PADA
1935, sutradara Leni Riefenstahl merilis
Triumph of the Will
, mahakarya sinematik yang mendokumentasikan kongres Partai Nazi di Nuremberg.
Melalui komposisi visual yang megah, permainan cahaya dramatis, dan penyuntingan presisi, Riefenstahl tidak sekadar merekam peristiwa; ia merancang mitos.
Film itu mengubah politisi menjadi dewa, massa menjadi ornamen kekuasaan, dan ideologi fasis menjadi tontonan yang agung dan tak terelakkan.
Dunia menyaksikan bagaimana proyektor film dapat menjadi senjata paling ampuh untuk memanipulasi persepsi dan menata ulang realitas.
Sejarah ini memberi kita pelajaran pahit: ketika kekuasaan ingin menancapkan hegemoninya, sinema sering kali menjadi jalan pintas yang paling memikat.
Di Indonesia, pertarungan narasi ini bukanlah hal baru. Ia hidup dalam ketegangan antara proyek-proyek visual raksasa yang didanai negara dan aksi-aksi hening yang menolak lupa.
Di satu sisi, ada memori yang ingin diproduksi massal, dibungkus dalam seluloid atau format digital, dan didistribusikan seluas-luasnya.
Di sisi lain, ada ingatan kolektif yang dirawat secara organik, dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, seperti yang dilakukan oleh para aktivis Aksi Kamisan setiap Kamis sore di depan Istana Negara, Jakarta.
Diamnya payung-payung hitam mereka adalah antitesis dari riuh rendah pengeras suara bioskop.
Tulisan ini berargumen bahwa sinema, dalam sejarahnya, terlalu sering diinstrumentalisasi sebagai medium politik untuk memaksakan ingatan tunggal, membungkam narasi alternatif, dan pada akhirnya, menghindari tanggung jawab sejarah.
Selama lebih dari tiga dekade, generasi Indonesia—mulai dari murid sekolah dasar hingga pegawai negeri—diwajibkan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
Ritual tahunan ini adalah contoh sempurna bagaimana kekuasaan menggunakan aparatus sinematik untuk rekayasa sosial. Film garapan Arifin C. Noer tersebut bukan sekadar tontonan, melainkan kurikulum kepatuhan.
Menggunakan pisau analisis filsuf Italia, Antonio Gramsci, film ini berfungsi sebagai alat hegemoni yang paripurna.
Kekuasaan Orde Baru tidak hanya dipertahankan lewat todongan senjata, tetapi juga lewat proyektor yang menanamkan narasi tunggal ke alam bawah sadar publik.
Persetujuan (
consent
) massa diproduksi secara sistematis hingga narasi versi negara dianggap sebagai satu-satunya “akal sehat” (
common sense
).
Lebih jauh, seperti yang dijelaskan oleh pemikir Perancis Roland Barthes dalam
Mythologies
, film tersebut beroperasi pada level mitos.
Secara denotatif, ia menampilkan rangkaian peristiwa. Namun, secara konotatif, ia membangun mitologi modern: mitos tentang kekejaman absolut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapkan dengan mitos kepahlawanan suci Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Adegan-adegan penyiksaan yang brutal, meski diragukan kebenarannya secara historis, menjadi tanda visual yang menaturalisasi demonisasi PKI.
Akibatnya, jutaan orang yang dituduh komunis dan simpatisannya, yang dibantai tanpa pengadilan, lenyap dari ingatan resmi. Mereka menjadi hantu dalam sejarah bangsa yang megah.
Teoris film Jean-Louis Baudry bahkan berpendapat bahwa kondisi menonton di ruang gelap bioskop menempatkan penonton dalam posisi pasif, mirip kondisi mimpi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap suntikan ideologi.
Film “G30S/PKI” adalah mesin yang memproduksi ketakutan sekaligus kepatuhan dalam satu paket. Setelah puluhan tahun memutar film yang sama untuk menjejali “kebenaran” tunggal, apakah kita benar-benar merdeka berpikir, atau hanya berganti operator proyektor?
Kini, di era yang katanya lebih demokratis, hantu instrumentalisasi sinema kembali muncul dalam wujud yang lebih modern dan berwarna.
Polemik seputar film animasi “Merah Putih: One for All” yang mencuat pada pertengahan 2025, menjadi studi kasus yang relevan.
Kritik tajam yang datang dari legislator di Komisi X DPR RI hingga pengamat film tidak hanya menyoroti kualitas animasi yang dianggap tidak sepadan dengan klaim anggarannya, tetapi juga kecurigaan adanya aliran dana negara.
Inilah titik krusial di mana kita harus waspada. Model Propaganda yang dirumuskan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky menyediakan kerangka yang pas untuk membacanya.
Salah satu filter utama dalam model mereka adalah kepemilikan dan sumber pendanaan media.
Ketika proyek budaya, apalagi yang mengusung tema seberat nasionalisme, didanai atau didukung oleh negara, pertanyaan fundamentalnya adalah: kepentingan siapa yang sedang dilayani?
Filter lainnya adalah sumber informasi dan ideologi dominan. Film ini, dengan narasi kepahlawanan anak-anak dari beragam suku, menyajikan ideologi nasionalisme yang tampak mulia.
Namun, nasionalisme yang dipoles indah dan disajikan sebagai hiburan berisiko menjadi propaganda lunak. Ia menyederhanakan isu-isu kompleks seperti ketidakadilan sosial, konflik agraria, dan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah dengan satu selimut magis bernama “persatuan”.
Pesan ini, meski positif, bisa berfungsi untuk melenakan publik dari masalah nyata. Tentu, mediumnya berbeda dari film “G30S/PKI”, tapi potensi fungsionalisasinya serupa: menggunakan sumber daya besar untuk menyebarkan satu versi narasi yang dianggap “benar” oleh penguasa.
Jika nasionalisme diproduksi dengan ongkos miliaran rupiah dari kas negara, apakah yang sesungguhnya sedang kita beli: kecintaan pada Tanah Air, atau kesetiaan buta pada naratornya?
Setiap hari Kamis, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat berdiri diam di seberang Istana. Mereka tidak punya proyektor, efek khusus, maupun anggaran miliaran.
Senjata mereka adalah foto-foto orang terkasih yang telah hilang atau dibunuh, payung hitam, dan kebisuan yang memekakkan.
Aksi mereka adalah sinema perlawanan dalam bentuknya yang paling murni: pertunjukan visual yang menolak untuk dilupakan.
Di sinilah letak politik ingatan kolektif yang sesungguhnya. Film-film seperti “G30S/PKI” atau proyek ambisius yang didanai negara mencoba menciptakan memori yang utuh, heroik, dan tanpa cela— jalan pintas sejarah.
Sebaliknya, Aksi Kamisan memaksa kita untuk mengingat apa yang robek, luka yang belum sembuh, dan keadilan yang tak kunjung datang. Mereka adalah penjaga ingatan kolektif yang menolak amnesti massal yang coba ditawarkan melalui hiburan.
Kehadiran fisik mereka di depan pusat kekuasaan adalah penanda bahwa sejarah tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat film.
Pertarungan antara sinema propaganda dan aksi memori ini adalah cerminan dari pertarungan yang lebih besar tentang jiwa bangsa.
Di tengah hingar-bingar sinema kepahlawanan yang menelan anggaran raksasa, masihkah kita bisa mendengar bisik sunyi mereka yang menuntut keadilan, atau sudahkah suara mereka hilang ditelan deru suara
dolby surround
?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sinema dan Politik Ingatan Kolektif Nasional 14 Agustus 2025
/data/photo/2025/08/08/6895949028897.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)