Bisnis.com, JAKARTA – Penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam kasus pertambangan yang melibatkan PT Timah dianggap tidak sesuai oleh sejumlah pakar hukum.
Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani Zulfa, yang menegaskan bahwa penerapan hukum pidana harus berpegang pada asas legalitas dan tidak boleh dipaksakan jika tidak sesuai dengan norma yang ada.
Menurut Eva, salah satu dasar dalam hukum pidana adalah asas pertanggung jawaban individu, yang berarti setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan peran masing-masing.
“Dalam hukum pidana, tanggung jawab itu bersifat individual, bukan seperti perdata yang mengenal tanggung renteng. Oleh karena itu, kita harus melihat peran setiap individu dalam kasus pidana, bukan memukul rata semua orang yang terlibat,” jelasnya dalam sidang lanjutan tata niaga timah di PN Jakarta Pusat, Senin (2/11/2024).
Eva menjelaskan bahwa penyertaan dalam tindak pidana memiliki beberapa kategori, seperti menggerakkan, menyuruh, atau turut serta.
Dalam kasus di mana seseorang tidak mengetahui tindak pidana tetapi hanya menjadi alat atau diperalat pihak lain, tanggung jawab pidana tidak bisa dikenakan.
Sebagai contoh, jika ada individu yang diperdaya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, individu tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai pelaku.
“Seseorang yang tidak tahu bahwa ia diperdaya untuk membuka rumah atau orang untuk mencuri, misalnya, tidak bisa dianggap sebagai peserta delik,” jelasnya.
Dalam konteks kasus pertambangan PT Timah, Eva menyoroti penerapan pasal 14 UU Tipikor. Ia menegaskan bahwa kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang tidak berasal dari APBN, penyertaan modal negara, atau fasilitas negara, bukanlah kerugian negara.
“Kalau kerugian tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang dirumuskan dalam Undang-undang,” jelasnya.
Dia berpandangan bahwa pasal 14 UU Tipikor sudah memiliki batasan yang jelas, sehingga jika dianggap ada masalah atau kekurangan dalam aturan tersebut, solusinya adalah melakukan judicial review.
“Asas legalitas merupakan prinsip utama yang harus dijalankan. Jika norma tidak mencakup kasus tertentu, kita harus menguji ulang melalui judicial review, bukan memaksakan penerapan UU Tipikor,” tambahnya.
Sementara itu, saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum, menegaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukanlah Undang-Undang “sapu jagat” untuk semua kasus yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
“Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor, itu berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilega bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan, bisa dikenakan pasal Tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” jelasnya.
Mahmud juga menjelaskan bahwa UU Tipikor sebagai aturan khusus (lex spesialis) tidak dapat serta-merta diterapkan pada berbagai kasus.
Penerapannya hanya berlaku jika tidak ada undang-undang lain yang secara spesifik mengatur perbuatan tertentu. Jika terdapat UU khusus yang relevan, maka UU tersebut harus didahulukan.
“Jika ada dua UU khusus yang saling bertemu, maka kita harus melihat domain perbuatannya terlebih dahulu. Misalnya, jika UU Tipikor berbenturan dengan UU Kepabeanan, UU Perbankan, UU Perpajakan, atau UU Minerba, belum tentu UU Tipikor yang digunakan,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk menerapkan UU Tipikor, harus dibuktikan terlebih dahulu unsur-unsur melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain, serta kerugian keuangan negara.
“Jika ada irisan dengan undang-undang lain, maka perlu penelitian yang sistematis untuk menentukan UU mana yang relevan,” lanjutnya.