Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the acf domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/xcloud.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Seribu Warga Gaza, Seribu Tanya untuk Republik Nasional 13 April 2025 – Xcloud.id
Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Seribu Warga Gaza, Seribu Tanya untuk Republik Nasional 13 April 2025

Seribu Warga Gaza, Seribu Tanya untuk Republik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 April 2025

Seribu Warga Gaza, Seribu Tanya untuk Republik
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
PERNYATAAN
Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi seribu warga Palestina dari
Gaza
ke Indonesia menyentak ruang publik kita.
Di tengah dunia yang terbelah antara rasa kemanusiaan dan kepentingan geopolitik, inisiatif ini seperti suara baru dari belantara diplomasi Asia Tenggara.
Namun, dalam euforia menyambut langkah yang disebut-sebut sebagai “misi kemanusiaan”, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di langit-langit republik ini: Untuk siapa evakuasi ini ditujukan? Apa landasan hukumnya?
Siapa yang bertanggung jawab atas proses pemindahan dan perlindungan para pengungsi? Dan, pertanyaan paling mendasar: apakah langkah ini benar-benar untuk menyelamatkan, atau sekadar simbolisme global yang tak berpijak pada realitas domestik?
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa Indonesia siap mengevakuasi seribu warga Gaza—anak-anak, korban luka, serta warga yang mengalami trauma—adalah ekspresi dari simpati mendalam atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
Sebagai bangsa yang sejak awal mendukung kemerdekaan Palestina, suara Indonesia memang tak boleh hilang dari arena kemanusiaan global.
Namun dalam politik internasional, bahkan empati pun tak pernah steril dari strategi. Di balik niat baik evakuasi ini, muncul pertanyaan: apakah langkah ini murni sebagai respons moral, atau bagian dari posisi diplomatik baru Indonesia yang ingin memainkan peran lebih besar di dunia Islam dan kawasan Timur Tengah?
Jika betul demikian, maka evakuasi ini harus dibingkai secara transparan sebagai bagian dari strategi politik luar negeri, bukan sekadar reaksi emosional terhadap penderitaan Gaza.
Dalam perspektif hukum internasional, pemindahan populasi dari wilayah konflik memerlukan legitimasi yang kokoh dan kehati-hatian luar biasa.
Pasal 49 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 secara tegas menyatakan bahwa: “Pemindahan secara individual atau massal terhadap penduduk sipil dari wilayah yang diduduki ke wilayah negara pendudukan atau ke wilayah lain yang diduduki, dalam atau di luar wilayah itu, dilarang, terlepas dari motifnya.”
Namun, pasal yang sama memberikan pengecualian: “Evakuasi diperbolehkan jika keamanan penduduk atau alasan militer yang mendesak mengharuskannya.”
Lebih lanjut, Pasal 78 Protokol Tambahan I Tahun 1977 mengatur tentang perlindungan terhadap anak-anak dalam konflik bersenjata:
“Jika keadaan memerlukan, anak-anak dapat dievakuasi secara sementara dari wilayah yang terkena konflik ke wilayah lain yang lebih aman, dengan persetujuan dari pihak yang bertikai serta otoritas orangtua atau wali.”
Dari ketentuan ini, jelas bahwa evakuasi warga sipil, apalagi dalam jumlah besar, harus melalui prosedur yang ketat, mendapat persetujuan dari semua pihak yang bertikai, serta tidak boleh menjadi dalih untuk pemindahan permanen atau pelanggaran hak untuk kembali.
Jika Indonesia hendak mengevakuasi warga Palestina dari Gaza, maka koordinasi dengan Otoritas Palestina, negara-negara transit seperti Mesir, bahkan persetujuan tidak langsung dari Israel menjadi kebutuhan tak terelakkan.
Tanpa dasar hukum yang jelas, evakuasi dapat dianggap sebagai pelanggaran prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional, atau lebih jauh lagi, mendukung—secara tak sengaja—narasi “pengosongan Gaza” yang diusung kelompok ekstrem kanan Israel.
Majelis Ulama Indonesia telah mengingatkan: jangan sampai evakuasi ini menjadi jalan sunyi menuju eksodus paksa, bukan penyelamatan sukarela.
Seribu warga Palestina yang terluka, trauma, atau yatim piatu bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah individu dengan kebutuhan perlindungan hukum, pemulihan psikososial, akses kesehatan, pendidikan, dan jaminan hidup bermartabat.
Apakah negara kita siap?
Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967, sehingga tidak memiliki kewajiban hukum formal untuk memberikan status pengungsi, kecuali berdasarkan kebijakan domestik atau
goodwill
politik.
Di sisi lain, sistem hukum kita belum memiliki regulasi nasional yang secara komprehensif mengatur perlindungan pengungsi asing.
Akibatnya, status hukum para penyintas Gaza ini bisa menggantung: apakah mereka “pengungsi”, “pencari suaka”, atau “tamu negara”?
Tanpa kepastian, mereka berisiko menjadi warga bayangan: tak dapat bekerja, bersekolah, apalagi membangun hidup baru.
Ketiadaan kejelasan inilah yang berpotensi mencederai niat baik dari misi yang sedianya bersandar pada kemanusiaan.
Solidaritas terhadap Palestina adalah bagian dari narasi kemerdekaan Indonesia. Namun, dalam dunia hukum dan kebijakan publik, solidaritas harus dijalankan dengan sistem. Tidak bisa hanya bermodalkan niat dan pernyataan pers.
Jika Indonesia memang serius ingin memainkan peran strategis dalam isu kemanusiaan global, maka langkah awal yang paling logis adalah: membentuk regulasi nasional soal pengungsi dan pencari suaka, atau minimal menetapkan prosedur evakuasi internasional berbasis hukum.
Tanpa itu, evakuasi Gaza ini rawan menjadi headline sesaat, bukan laku institusional yang berkelanjutan.
Presiden Prabowo telah menjajaki dukungan dari negara-negara kunci di Timur Tengah—UEA, Turki, Qatar, Mesir, dan Yordania. Itu langkah diplomatik yang cerdas.
Namun pertanyaannya: apakah diplomasi ini dibarengi koordinasi dalam negeri yang matang? Apakah Kementerian Luar Negeri, Hukum dan HAM, Sosial, dan Kesehatan telah duduk satu meja menyusun rencana lintas sektoral?
Apa suara DPR dalam isu ini? Apakah ada alokasi anggaran? Siapa yang akan menanggung beban fiskal dan sosial dari rencana ini?
Pengalaman Indonesia dalam menampung pengungsi Rohingya harus menjadi cermin. Tanpa regulasi dan sistem yang mapan, para pengungsi hidup dalam ketidakpastian. Tanpa pekerjaan. Tanpa pendidikan. Tanpa masa depan.
Evakuasi Gaza tak boleh mengulang pola yang sama. Negara harus hadir sejak awal, bukan hanya saat pesawat mendarat. Kita butuh sistem perlindungan jangka panjang—bukan semata tempat singgah sementara yang minim harapan.
Evakuasi seribu warga Gaza bukan sekadar persoalan logistik atau niat baik. Ia adalah ujian menyeluruh atas cara republik ini memahami kemanusiaan, hukum, dan tata kelola negara.
Setiap langkah yang diambil pemerintah harus berpijak pada pertimbangan hukum, etika, dan kebijakan yang matang.
Publik berhak tahu. Sebab dari langit yang dihujani bom di Gaza, kini tanggung jawab berpindah ke pundak republik ini. Dan pertanyaan-pertanyaan mendasar itu tak bisa dihindari:
Apa dasar hukum dari rencana evakuasi ini? Apakah ia memiliki legitimasi dalam sistem hukum nasional dan sejalan dengan ketentuan hukum humaniter internasional?
Bagaimana status hukum seribu jiwa yang dibawa ke Indonesia? Apakah mereka akan disebut pengungsi, pencari suaka, atau sekadar tamu negara tanpa perlindungan hukum yang memadai?
Siapa yang akan menjamin hak-hak dasar mereka—akses terhadap perlindungan hukum, kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak?
Sampai kapan mereka akan tinggal di Indonesia? Adakah batas waktu atau skenario pemulangan yang terukur?
Apa jaminan bahwa mereka kelak dapat kembali ke Gaza ketika situasi memungkinkan? Apakah ada mekanisme yang melindungi hak untuk kembali sebagaimana ditegaskan dalam hukum internasional?
Terakhir, apakah semua ini telah melalui uji etika, kalkulasi diplomatik, serta pertimbangan risiko keamanan nasional yang menyeluruh?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk melemahkan niat baik pemerintah. Justru di sinilah pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keberanian negara menjawab tantangan kemanusiaan dengan langkah terukur, bukan langkah gegabah.
Karena di balik setiap jiwa yang dievakuasi, ada harapan yang dibawa, ada luka yang dibungkus, dan ada masa depan yang harus dijaga. Di sinilah kemanusiaan diuji, dan di sinilah republik harus membuktikan: bahwa niat baik pun wajib dipertanggungjawabkan.
Langkah Prabowo bukan tanpa niat baik. Namun, dalam tata kelola negara, niat baik tidak cukup. Harus ada sistem hukum yang mengikat, kebijakan berpihak, dan kesiapan institusi yang solid.
Evakuasi Gaza adalah ujian bagi republik ini—apakah kita masih bisa berdiri atas nama kemanusiaan, atau hanya akan tercatat sebagai pemberi tumpangan dalam kisah panjang pengungsian dunia.
Karena di balik setiap anak Gaza yang datang, ada satu tanya yang akan hidup bersama mereka: benarkah republik ini siap menampung luka dunia, dengan tangan dan hati yang benar-benar terbuka?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Merangkum Semua Peristiwa