Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Serba-serbi Pembahasan Revisi UU TNI di DPR: Dari Usia Pensiun, Jabatan Sipil, hingga Larangan Berbisnis

Serba-serbi Pembahasan Revisi UU TNI di DPR: Dari Usia Pensiun, Jabatan Sipil, hingga Larangan Berbisnis

Serba-serbi Pembahasan Revisi UU TNI di DPR: Dari Usia Pensiun, Jabatan Sipil, hingga Larangan Berbisnis
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Revisi UU
TNI
mulai dibahas di
DPR
. Pembahasan itu mencakup usia pensiun tentara, pengisian jabatan sipil, hingga larangan berbisnis.
Adapun sebelum
pembahasan RUU TNI
tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) sempat mendatangi Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin (3/3/2025) kemarin.
KontraS mengirim surat kepada DPR untuk membatalkan pembahasan mengenai RUU TNI dan Polri.
KontraS juga menyayangkan DPR yang tidak melibatkan masyarakat dalam pembahasan RUU TNI.
“Mengapa demikian?
Standing
kami jelas menolak adanya proses pembahasan di dua RUU tersebut karena kami menilai substansi yang kemudian dibahas atau kemudian diatur lebih lanjut dalam undang-undang revisi itu tidak mampu menjawab persoalan kultural di institusi, baik TNI maupun Polri,” ujar Kepala Divisi Hukum KontraS Andri Yunus.
Andri mempersoalkan upaya perluasan jabatan sipil bagi para prajurit aktif di RUU TNI. Hal tersebut dinilai dapat mengembalikan pemerintahan saat ini ke zaman Orba.
“Hal ini kami menilai sangat bermasalah dan berpotensi mengembalikan pemerintahan pada rezim Orde Baru (Orba) atau rezim Soeharto selama 32 tahun,” kata dia.
Lantas, apa saja isi pembahasan
revisi UU TNI
yang sudah mulai bergulir di DPR?
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen (Purn) TB Hasanuddin menilai penempatan TNI di jabatan sipil sudah tidak relevan jika dikaitkan dengan dwifungsi ABRI.
Namun, ia menilai prajurit yang ditempatkan di jabatan sipil tidak bisa sembarangan, harus ada syarat tetap yang perlu dipenuhi TNI sebelum menduduki jabatan sipil tertentu.
“Saya cuma membantah kalau ada penempatan kemudian nanti dwifungsi ABRI akan kembali. Kalau menurut hemat saya, ya sudah penempatan di mana saja, silakan. Tetapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan,” kata TB Hasanuddin.
Ia mengusulkan, TNI harus memiliki keterampilan tertentu yang relevan dengan jabatan sipil yang akan diemban.
Artinya, kata TB Hasanuddin, TNI tidak hanya bermodalkan pada pendidikan di Akademi Militer (Akmil) tanpa dibarengi dengan kemampuan lain dalam mengelola.
“Kalau misalnya ditempatkan di sebuah kementerian, tapi dia tidak punya pendidikan soal itu, hanya pendidikan Akmil saja, ya enggak bisa dong, kasihan dong,” ucap TB Hasanuddin.
Di sisi lain, penempatan TNI di jabatan sipil harus mempertimbangkan hal lain, termasuk sumber daya TNI di luar jabatan sipil.
Ia tidak ingin banyaknya prajurit yang mengisi jabatan strategis malah membuat sumber daya di TNI berkurang, serta membunuh karier Aparatur Sipil Negara (ASN) di kementerian/lembaga tersebut.
“Kita harus benar-benar selektif, jangan sampai membunuh karier ASN, dia sudah merayap-merayap begitu. Sehingga, harus ada klausul dalam undang-undang itu yang mengunci itu. Jadi, tidak mudah,” ujar dia.
 
Anggota Komisi I DPR Fraksi Demokrat Irjen Polisi (Purn) Frederik Kalalembang menyindir TNI yang meminta usia pensiun prajurit ditambah, di mana saat ini tamtama/bintara pensiun di usia 53 tahun, sedangkan perwira 58 tahun.
Sebab, dalam kondisi saat ini saja, banyak perwira di TNI yang non-job.
“Saya mendapat informasi, dan mungkin juga di TNI, bahwa sekarang banyak perwira, khususnya perwira, ini banyak yang nganggur, Pak. Karena tidak ada jabatan, non-job,” ujar Frederik.
“Nah, bagaimana mau ditambah lagi jadi 60, bahkan 62 tahun?” tambah dia.
Frederik mengatakan, Polri saja tidak mengusulkan penambahan usia pensiun dalam revisi UU Polri.
Dia menyebut, akan ada triliunan rupiah duit negara yang keluar jika usia tentara diperpanjang.
“Nah, kalau kita jadikan 60, sudah berapa triliun lagi kita harus habiskan lagi untuk melihat menambah usia ini,” kata Frederik.
Meski begitu, Frederik menduga banyaknya tentara non-job karena ada efisiensi anggaran.
“Hanya TNI saja karena mungkin masalah efisiensi anggaran, kemudian banyaknya sekarang perwira non-job karena tidak ada jabatan,” imbuh dia.
Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason meminta agar prajurit TNI, khususnya bintara dan tamtama, tidak dilarang untuk berbisnis.
Rodon menyinggung uang pensiunan bintara dan tamtama yang diterima hanya 70 persen dari gaji pokok.
Sementara, ketika mereka bertugas, mereka tidak memiliki kerjaan lain.
 
“Prajurit, terutama prajurit bintara atau tamtama jangan dilarang berbisnis. Apa sih bisnis mereka? Mantan anggota saya, sersan, begitu pensiun dia bisnisnya bakso. Karena dia enggak punya kerjaan, selama bertugas dia enggak punya kerjaan. Sementara gajinya pada saat dia pensiun kan tinggal 70 persen dari gaji pokok,” ujar Rodon.
“Jenderal saja begitu pensiun, bintang 4, hanya dapat Rp 5,2 juta, jenderal bintang 4 hanya Rp 5,2 juta,” sambungnya.
Rodon mengatakan, tentara harus dikembangkan naluri berbisnisnya sejak masih aktif sebagai prajurit.
Sebab, prajurit pasti akan kebingungan harus makan apa jika hanya mengandalkan uang pensiun yang nominalnya relatif kecil.
“Karena ada teman saya yang bintang 3 dan bintang 4, anak-anaknya masih kecil. Begitu pensiun bingung, mau ngapain? Enggak bisa apa-apa. Coba masuk ke administrasi publik, katakanlah komisaris, dia enggak ngerti, dia enggak punya bekal,” kata Rodon.
Menurut Rodon, keinginan tentara untuk berkuliah baru timbul belakangan ini saja.
Sebab, sejak dulu, meski berkuliah, para tentara tetap susah untuk naik pangkat.
“Sebelumnya enggak ada, mereka berpikir, ‘untuk apa sekolah, untuk apa kuliah, tapi susah naik pangkat?’ Ironis sebenarnya,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Merangkum Semua Peristiwa