Israel Kian Membabi-buta, Hamas: Kami Tak Inginkan Kendali Atas Gaza
TRIBUNNEWS.COM – Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas menegaskan pada Sabtu (22/3/2025) kalau gerakan tersebut tidak bermaksud untuk memerintah Jalur Gaza.
Hamas menekankan, pihaknya justru mendorong agar Gaza dipimpin oleh ‘Persatuan Nasional’ yang terdiri dari berbagai elemen dan entitas Palestina.
“Bahwa pengaturan apa pun di masa mendatang di Gaza harus didasarkan pada konsensus nasional,” tulis laporan RNTV, mengutip pernyataan Hamas, dikutip Senin (24/3/2025).
Dalam pernyataan pers, juru bicara Hamas Abdel Latif al-Qanou menyatakan kalau gerakan tersebut “siap untuk melaksanakan pengaturan apa pun (pemerintahan di Gaza) yang disetujui secara nasional, dan tidak tertarik untuk menjadi bagian dari pengaturan tersebut.”
Al-Qanou menegaskan kalau Hamas telah sepakat untuk membentuk komite pendukung masyarakat di Gaza, yang tidak akan mencakup perwakilan dari gerakan tersebut.
Dia menekankan kalau, “Hamas tidak bercita-cita untuk mengatur sektor tersebut, tetapi berfokus pada pencapaian konsensus nasional dan mematuhi hasilnya.”
Terkait negosiasi gencatan senjata dengan Israel, al-Qanou menjelaskan bahwa Hamas tengah mendiskusikan usulan utusan Amerika Serikat (AS) Steve Hanke, beserta sejumlah ide lainnya.
“Komunikasi sedang berlangsung untuk menuntaskan kesepakatan gencatan senjata,” katanya.
SERANGAN UDARA ISRAEL – Serangan udara Israel terhadap tenda-tenda pengungsi Palestina pada Selasa (18/3/2025) pagi menyebabkan kamp tersebut terbakar saat para penduduk tengah tidur di Khan Yunis. Akibatnya sebanyak 200 orang tewas atas serangan udara Israel ini. (Telegram Quds News Network)
Israel Makin Membabi-buta di Gaza
Pernyataan Hamas yang menyebut tidak tertarik memerintah di Gaza pasca-perang terjadi saat Israel makin membabi-buta melakukan bombardemen di wilayah kantung Palestina tersebut.
Atas hal itu, Al-Qanou menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai penghambat utama pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata yang sedang berlangsung.
“Penghambatannya (Netanyahu merupakan bagian dari upaya untuk mempertahankan pemerintahannya dengan mengorbankan para sandera Israel dan pelaksanaan kesepakatan,” kata dia.
Ia menambahkan kalau dimulainya kembali operasi militer Israel di Gaza terjadi “dengan dukungan dari pemerintah AS,”.
Atas hal itu, Hamas mendesak Washington untuk menghindari berpihak pada satu pihak dalam konflik tersebut dan menekan Israel untuk melanjutkan perjanjian gencatan senjata.
Pada Januari 2025, Hamas dan Israel melalui para mediator perundingan, Mesir dan Qatar menyepakati tiga fase gencatan senjata dengan sejumlah poin di tiap tahapannya.
Tahap Pertama, yang berakhir pada akhir Februari, dilakukan dengan kerangka pertukaran pembebasan sandera Israel dan tahanan Palestina.
Sedianya, Tahap II gencatan senjata beragenda penarikan mundur pasukan Israel dan pembukaan blokade bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Namun, Israel mangkir dan mengajukan proposal yang disetujui AS untuk memperpanjang Tahap Pertama.
Hamas menolak, direspons Israel dengan membombardir Gaza dengan serangan udara dan rencana dimulainya kembali operasi militer darat dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.
AGRESI GAZA – Pasukan Israel (IDF) memasuki wilayah Gaza Utara. Agresi baru IDF ke Jalur Gaza rupanya disertai penentangan dari kalangan internal militer Israel, terlebih IDF dilaporkan memiliki tujuan untuk menduduki Jalur Gaza dalam agresi kali ini. (IDF/Ynet)
“Dalam hal perkembangan di lapangan, Hamas menuduh militer Israel meningkatkan serangan terhadap warga sipil di Gaza, menunjuk pada penembakan yang semakin intensif terhadap rumah, lingkungan pemukiman, dan tempat perlindungan, di tengah pengepungan yang menyebabkan terhambatnya pengiriman pasokan penting seperti makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar,” tulis laporan Khaberni.
Gerakan tersebut menggambarkan operasi ini sebagai “pelanggaran hukum internasional yang mencolok dan belum pernah terjadi sebelumnya,” dan menegaskan bahwa tindakan yang sedang berlangsung tersebut mencerminkan “penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perjanjian yang dirancang untuk melindungi warga sipil selama masa perang.”
(oln/khbrn/*)