JABAR EKSPRES – Gubernur Jawa Barat terpilih periode 2025-2030, Dedi Mulyadi sedang jadi perhatian publik, terkait analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jabar 2025.
Merepons hal tersebut, Anggota DPRD Jabar Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maulana Yusuf Erwinsyah mengatakan, apa yang disampaikan Dedi terkait sejumlah belanja yang tidak efisien dalam APBD, memang sesuai dengan kenyataan.
“Banyak program pemerintah yang sifatnya mekanik atau copy-paste. Beberapa Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) jarang benar-benar sesuai dengan kebutuhan tahunan,” katanya kepada Jabar Ekspres, Senin (20/1).
Maulana mengungkapkan, terdapat beberapa program pemerintah daerah dalam temuannya yang dinilai kurang efektif.
“Misalnya, soal tingginya angka pengangguran lulusan SMK belum ada antisipasi dengan program yang memadai,” ungkapnya.
BACA JUGA: Dedi Mulyadi Tolak Pengadaan Mobil Dinas Baru, Alihkan Anggaran untuk Kepentingan Masyarakat
Sampai saat ini, menurutnya angka pengangguran di wilayah Provinsi Jawa Barat, posisi tertinggi justru berasal dari lulusan SMK.
“Kita tahu pengangguran tertinggi berasal dari lulusan SMK, tetapi tidak ada program konkret untuk mengatasi hal itu,” terangnya.
Selain itu, Maulana juga menyinggung terkait masalah pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), untuk guru honorer yang dinilai tidak seimbang dengan kebutuhan.
Legislator Komisi 5 itu menambahkan, pengangkatan PPPK terutama bagi para guru honorer itu, salah satu yang menjadi perhatian karena jumlah dengan formasi yang dibutuhkan tidak sesuai.
“Ada bidang tertentu yang tidak punya formasi karena alasan jumlahnya sudah berlebih, sementara di sisi lain produksi guru bidang tersebut juga terus berjalan di perguruan tinggi tanpa kendali,” bebernya.
BACA JUGA: Cegah Mafia Anggaran, Gubernur Terpilih Dedi Mulyadi Tegas Tak Bentuk Tim Akselerasi ataupun Transisi!
Maulana juga menyoroti mengenai program rehabilitasi sosial bagi pekerja seks komersial (PSK) yang saat ini dinilai tidak realistis.
“Misalnya, pemerintah memberikan pelatihan kepada mereka di UPTD rehabilitasi prostitusi, lalu hanya diberi Rp700 ribu untuk modal usaha. Mana cukup?,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan ini perlu dievaluasi, tujuannya agar program yang ada benar-benar dapat memberikan manfaat dan dampak yang nyata.