Seni Tani Berperang Melawan Food Waste dari Kebun Kota

Seni Tani Berperang Melawan Food Waste dari Kebun Kota

Bisnis.com, JAKARTA – Di sebuah pagi cerah di kawasan Cigadung, Kota Bandung, bau tanah basah bercampur aroma ampas kopi menyergap hidung. Di tengah deretan rumah dan jalan sempit yang sibuk, sebuah lahan seluas 1.700 meter persegi menjelma menjadi kebun sayur.

Bedengan-bedengan rapi berisi sawi, kale, selada, hingga wortel tumbuh subur. Bukan perkebunan luas seperti di pedesaan, melainkan petak-petak kecil yang hidup di tengah kepadatan kota.

Di sinilah Seni Tani menanam harapan. Mereka bukan hanya menanam sayuran, tetapi juga menumbuhkan kesadaran baru: pangan kota bisa diproduksi, bukan sekadar dikonsumsi. Bahwa setiap helai daun dan setiap umbi yang dipetik, bisa menjadi senjata melawan krisis pangan sekaligus ancaman besar lain—food waste.

Indonesia, menurut laporan Bappenas (2021), membuang 23–48 juta ton makanan per tahun. Angka itu setara memberi makan 61–125 juta orang, hampir setengah populasi negeri ini. FAO bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang food waste terbesar di dunia.

Data dan Estimasi Timbulan Sampah Makanan Tahun 2019-2023

No.

Tahun

SIPSN (ribu ton)

SIPSN dan Estimasi (ribu ton)

1

2019

9.065

22.354

2

2020

8.701

22.642

3

2021

8.540

22.666

4

2022

11.688

23.001

5

2023

7.053

23.318

Catatan : Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN)

Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas) 2024, diolah

Penyebabnya berlapis. Distribusi pangan yang panjang dan tidak merata, budaya konsumsi yang serba instan, serta standar pasar yang menolak sayuran “jelek”. Wortel bercabang, tomat terlalu kecil, atau kol dengan bentuk tak sempurna kerap langsung disisihkan dari rak supermarket. Padahal, semua itu tetap layak makan.

Di sisi lain, kota tumbuh menjadi ruang konsumsi raksasa. Lahan hijau menyusut, sementara sampah organik rumah tangga—yang lebih dari 50 persen isinya berupa sisa makanan—menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Alih-alih kembali ke tanah, sisa pangan membusuk menghasilkan gas metana, salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Lalu, siapa yang berani menantang pola ini?

Jawaban itu datang pada 2020. Pandemi Covid-19 menjadi titik balik. Ketika distribusi pangan sempat terganggu dan fenomena panic buying terjadi di kota-kota besar, Vania Febriyantie—warga Bandung yang resah dengan keterputusan orang kota dari sumber makanannya—memutuskan bertindak.

“Meski saya tidak kekurangan makanan saat itu, melihat berita tentang distribusi pangan yang terhenti membuat saya berpikir: bagaimana jika kita bisa menanam sendiri di kota? Bukankah ada banyak lahan tidur yang terbengkalai?” ujarnya kepada Bisnis.

Dari keresahan itu, lahirlah Seni Tani. Mereka menghidupkan lahan tidur seluas 912 meter persegi di Arcamanik menjadi kebun pangan produktif. Lahan itu tersebar di tiga titik berbeda, sebagian milik pribadi, sebagian lagi di bawah jaringan listrik SUTT milik Pemkot Bandung. Dari sinilah gerakan dimulai: membangunkan tanah kota yang “mati” menjadi tanah yang kembali hidup.

Empat tahun berlalu, perjalanan penuh suka duka itu terus berlanjut. Kini, di Cigadung, kebun baru berdiri. Bagi Vania dan komunitasnya, setiap jengkal tanah yang berhasil ditanami adalah perlawanan kecil melawan krisis pangan dan food waste.

Tani Sauyunan: Bertani dengan Kebersamaan

Seni Tani tidak berjalan sendiri. Mereka mengadopsi model Community-Supported Agriculture (CSA), atau pertanian dengan dukungan komunitas, yang diadaptasi menjadi Tani Sauyunan.

Dalam sistem ini, anggota CSA—keluarga atau individu yang berkomitmen—membayar di muka untuk hasil panen satu musim. Skema ini memberi kepastian finansial bagi petani, tanpa harus tunduk pada fluktuasi pasar. Sebaliknya, anggota mendapatkan paket sayur segar setiap minggu, dikirim menggunakan karung daur ulang yang ditukar kembali.

“Konsep sauyunan berarti kebersamaan. Produksi dan konsumsi pangan jadi tanggung jawab bersama. Petani tidak sendirian, konsumen juga ikut menanggung risiko dan hasil,” ujar Vania.

Menurutnya, di balik sistem ini ada manfaat berlapis mulai dari lingkungan dengan emisi transportasi ditekan karena distribusi lokal, plastik berkurang lewat sistem tas daur ulang, dan sampah organik diolah menjadi kompos.

Lalu, manfaat sosial dengan ada ruang gotong royong, regenerasi petani muda, dan pendidikan berkelanjutan dan ekonomi di mana pendapatan petani lebih stabil, rantai pasok dipotong, dan biaya produksi ditekan lewat ekonomi sirkular berbasis limbah.

CSA bukan sekadar transaksi, tapi ikatan emosional. Anggota CSA terhubung lewat grup WhatsApp, berbagi resep, cerita kebun, hingga mengunjungi langsung lahan. Konsumen tahu siapa yang menanam sayur mereka, dan petani tahu siapa yang akan mengonsumsinya.