Jakarta, CNBC Indonesia – Berbagai lapisan masyarakat, mulai dari ekonom hingga pelaku usaha menjerit daya beli masyarakat Indonesia anjlok pada tahun ini, membuat aktivitas ekonomi melambat.
Dari sisi level konsumsi rumah tangga saja, selama tiga kuartal tahun ini terus tumbuh di bawah 5%. Per kuartal III-2024 saja, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91% (yoy). Membuat laju pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 hanya 4,95%.
Meski begitu, pemerintah masih bersikeras menganggap daya beli masyarakat Indonesia tetap terjaga, sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Ia mendasari sudut pandang ini dari indeks keyakinan konsumen per November yang masih naik ke level 125,9, hingga indeks penjualan riil yang juga masih tumbuh meski hanya 1,7%.
“Ini indikator dari sisi konsumsi yang semuanya masih positif,” kata Sri Mulyani pada pertengahan Desember lalu, saat konferensi pers APBN jelang akhir tahun, dikutip Rabu (25/12/2024).
Berkebalikan dengan Sri Mulyani, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro, yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan era periode pertama Jokowi bahkan menegaskan, daya beli masyarakat sudah nampak jelas tengah jatuh.
Bambang mengatakan, untuk melihat data sebenarnya daya beli masyarakat bisa merujuk pada realisasi kondisi ekonomi pada kuartal III-2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurutnya, kuartal III-2024 bisa menjadi acuan dalam melihat daya beli sesungguhnya masyarakat RI karena tidak ada faktor musiman yang menolong angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
“Jadi sebenarnya kalau saya melihat turunnya pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi dari di atas 5% menjadi di bawah 5% itu sebenarnya tanda yang clear bahwa ada potensi pelemahan daya beli,” kata Bambang dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia.
Bambang menganggap, data konsumsi rumah tangga saat tidak adanya faktor musiman bisa mencerminkan kondisi riil daya beli masyarakat karena memang pertumbuhan ekonomi Indonesia paling dominan ditopang konsumsi rumah tangga, dengan porsi mencapai 53,08%.
Data ini pun, kata Bambang, diperburuk dengan jelasnya data penurunan jumlah kelas menengah. Sebagaimana diketahui, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia masih sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.
“Kombinasi itulah dari menurunnya kelas menengah dan masih tingginya aspiring middle class dan near poor yang mengindikasikan ada kemungkinannya pelemahan konsumsi. Kalau daya beli kita melemah otomatis konsumsi juga melemah,” ucap Bambang.
Pengusaha di sektor properti pun juga telah teriak bahwa daya beli masyarakat Indonesia teramat tertekan. Mereka menganggap, kondisi ini terlihat dari data penjualan rumah tapak di Jabodetabek yang turun 25% pada tahun ini dibanding tahun 2023 lalu.
“Jadi 25% penurunannya di bawah,” kata Associate Director Leads Property, Martin Samuel Hutapea kepada CNBC Indonesia, awal Desember ini.
Padahal pengembang sudah rajin membuat banyak rumah, sayang penyerapannya justru terkendala. Sebagai contoh di kuartal III 2024 ini ada tambahan pasokan 2,800 unit, namun penjualannya jauh di bawah itu yakni 1,900 unit. Sebagian besar penyerapannya ada di wilayah Tangerang.
Di sisi lain, harga rumah juga terus mengalami kenaikan yang tak sebanding dengan gaji atau pendapatan masyarakat. Menurut riset Leads Property, kenaikan harga rumah menyeluruh terjadi di Jabodetabek, namun paling tinggi ada di Depok mencapai 12%, sedangkan Jakarta sebesar 5% dan Bogor sebesar 3%.
“Faktor daya beli salah satunya, kan daya beli hubungannya juga sama price-sensitive, harga,” ujar Martin.
Sementara itu, kalangan pengusaha ritel yang tergabung ke dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengungkapkan bahwa penjualan toko-toko ritel saat ini merosot drastis gara-gara pembeli merosot. Membuat penjualan barang turun harga sehingga tercermin dari munculnya fenomena baru, yakni deflasi lima bulan beruntun yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Sebagaimana diketahui, BPS telah mengumumkan, deflasi lima bulan beruntun terjadi sejak Mei 2024 yang sebesar 0,03%, lalu berlanjut pada Juni 2024 sebesar 0,08%, dan Juli 2024 sebesar 0,18%. Lalu, pada Agustus 2024 sebesar 0,03%, dan per September 2024 makin dalam menjadi 0,12%.
“Karena produktivitas atau basket size dari konsumen itu turun, nah dengan konsumen turun belanja maka otomatis semuanya berupaya untuk rebranding atau kemasannya diperkecil supaya turun juga harganya, jadi itulah yang membuat deflasi,” kata Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey di kawasan Gedung Kadin Indonesia, Jakarta.
Oleh sebab itu, Roy membantah pernyataan pemerintah yang mengklaim bahwa kondisi deflasi selama lima bulan berturut-turut ini disebabkan karena pemerintah memasok barang-barang pangan secara giat, hingga menyebabkan harga-harga turun. Menurutnya, yang terjadi sebenarnya malah karena barang yang dijual kemasannya semakin kecil supaya bisa terjual atau dibeli oleh masyarakat yang daya belinya tengah ambruk.
“Jadi daya beli yang menyebabkan deflasi, ya. Bukan karena masalah yang dibilang penurunan harga karena impornya sudah bagus, produktivitasnya sudah bagus, itu satu sisi, tapi sisi lain itu karena memang basket size dari konsumen itu yang turun, sehingga semuanya berusaha turunkan harga,” ucap Roy.
Pengusaha di sektor otomotif pun menyatakan hal serupa. Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menuturkan para pengusaha mobil bahkan akan merevisi target penjualan mobil 2024 sebanyak 1,1 juta unit, dengan mempertimbangkan sejumlah faktor penekan pasar, salah satunya gaji masyarakat yang tak mampu menjangkau harga mobil.
“Salah satu faktor pemicu stagnasi pasar mobil adalah harga mobil baru tidak terjangkau oleh pendapatan per kapita masyarakat. Gap antara pendapatan rumah tangga dan harga mobil baru makin lebar,” katanya dalam diskusi Forum Wartawan Industri pertengahan tahun ini.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas juga mencatat, sebetulnya 40 juta pekerja di Indonesia masih memiliki gaji di bawah Rp 5 juta. Jauh di bawah target pendapatan per kapita hingga akhir 2024 sebesar US$ 5.500 per tahun, atau setara Rp 7,45 juta per bulan.
Di sisi lain, gaji yang rendah itu juga sempat tergerus tingginya inflasi harga pangan bergejolak atau volatile food pada awal tahun ini. Angka tertinggi inflasi harga pangan bergejolak tertinggi pada tahun ini terjadi pada Maret 2024 sebesar 10,33% sebelum akhirnya pada November 2024 menjadi deflasi 0,32%.
Per Mei saja, level inflasi bahan pangan bergejolak masih sebesar 8,14%, jauh di atas kenaikan rata-rata gaji di Indonesia. Mengutip catatan Bank Indonesia kenaikan gaji untuk aparatur sipil negara atau ASN pada periode 2019-2024 hanya sebesar 6,5% dengan catatan untuk periode 2020-2023 tak ada kenaikan gaji ASN. Adapun, kenaikan UMR atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada 2020-2024.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro menambahkan, kondisi deflasi yang terjadi di komponen volatile food ini sebetulnya imbas dari mekanisme harga yang sulit turun ketika sudah mencapai level tinggi. Masalah ini bisa diterjemahkan dengan teori sticky price atau sticky cost.
“Ya kita harus mengikuti teori yang namanya sticky price jadi artinya sekali harga itu naik itu susah turun. Dia mungkin tidak naik lagi, jadi dia mungkin ketika naik itulah inflasinya, misalnya 8%. Sesudah itu padahal dia akan naik lagi atau turun sedikit di situlah inflasinya 0% atau deflasi tapi kan harga tinggi itu sudah terjadi,” tutur Bambang.
Namun, saat nasi sudah menjadi bubur, pemerintah merespons ambruknya daya beli masyarakat Indonesia ini dengan menggelontorkan paket kebijakan ekonomi yang berisi 15 insentif. Selain itu, pemerintah juga telah memutuskan untuk menaikkan UMP 2025 sebesar 6,5%.
“Jelang memasuki pergantian tahun 2025, Pemerintah secara konsisten terus berupaya untuk dapat menjaga daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat,” kata Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto melalui siaran pers, Kamis lalu.
Ia memerinci, bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, Pemerintah akan menyediakan 5 fasilitas kebijakan berupa:
1. PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1% dari kebijakan PPN 12% untuk minyak goreng sawit curah yang dikemas dengan merek “MINYAKITA”, sehingga PPN yang dikenakan tetap sebesar 11%.
2. PPN DTP sebesar 1% dari kebijakan PPN 12% juga diberlakukan untuk tepung terigu, sehingga PPN yang dikenakan pada tepung terigu juga tetap sebesar 11%.
3. Gula industri juga menjadi komoditas yang memperoleh fasilitas PPN DTP sebesar 1% dari kebijakan PPN 12%, sehingga dikenakan PPN sebesar 11%. Adapun gula industri tersebut merupakan input penting bagi industri makanan minuman, dimana industri makanan dan minuman memiliki share sebesar 36,3% terhadap total industri pengolahan.
4. Pemberian Bantuan Pangan berupa beras sebanyak 10 kilogram per bulan kepada masyarakat desil 1 dan 2 selama 2 bulan (Januari dan Februari 2025), dengan sasaran sebanyak 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP).
5. Diskon sebesar 50% untuk pelanggan dengan daya terpasang listrik hingga 2200 VA selama 2 bulan (Januari-Februari 2025), dengan menyasar sebanyak 81,42 juta pelanggan, mencakup konsumsi 9,1 Twh/bulan yang setara 35% total konsumsi listrik nasional.
Adapun yang ditujukan untuk kelas menengah terdiri dari 8 paket kebijakan insentif, yaitu:
1. PPN DTP Properti bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar dengan dasar pengenaan pajak sampai dengan Rp2 miliar. Skema insentif tersebut diberikan sebesar diskon 100% untuk bulan Januari – Juni 2025 dan diskon 50% untuk bulan Juli – Desember 2025.
2. PPN DTP Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) atau Electric Vehicle (EV) dengan rincian sebesar 10% atas penyerahan EV roda empat tertentu dan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 40%, dan sebesar 5% atas penyerahan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 20% sampai dengan kurang dari 40%.
3. PPnBM DTP EV sebesar 15% atas impor KBLBB roda empat tertentu secara utuh (Completely Built Up/CBU) dan penyerahan KBLBB roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (Completely Knock Down/CKD).
4. Pembebasan Bea Masuk EV CBU sebesar 0%, sesuai program yang sudah berjalan.
5. Pemberian insentif PPnBM DTP sebesar 3% untuk kendaraan bermotor bermesin hybrid.
6. Insentif PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10juta/bulan yang berlaku untuk sektor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, dan furnitur.
7. Optimalisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi para pekerja yang mengalami PHK dengan memberikan dukungan berupa manfaat tunai 60% flat dari upah selama 6 bulan, manfaat pelatihan Rp2,4 juta, kemudahan akses informasi pekerjaan, dan akses Program Prakerja.
8. Diskon sebesar 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) selama 6 bulan bagi sektor industri padat karya yang diasumsikan untuk 3,76 juta pekerja.
Selain itu, juga ada dua fasilitas insentif bagi dunia usaha terutama untuk perlindungan kepada UMKM dan Industri Padat Karya, yakni melalui:
1 Perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% sampai dengan tahun 2025 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang telah memanfaatkan selama 7 tahun dan berakhir di tahun 2024. Untuk WP OP UMKM lainnya tetap dapat menggunakan PPh Final 0,5% selama 7 tahun sejak pertama kali terdaftar sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, dan untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta/tahun maka akan diberikan pembebasan PPh.
2. Pembiayaan Industri Padat Karya untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas dengan skema subsidi bunga sebesar 5% dan range plafon kredit tertentu.
(wia)