Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha perhotelan dan restoran menaruh harapan besar pada momentum libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) untuk mendongkrak kinerja bisnis yang sepanjang 2025 masih berada dalam tekanan.
Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebut momen Nataru menjadi salah satu periode krusial di akhir tahun yang diharapkan mampu mendorong tingkat hunian dan perputaran ekonomi sektor pariwisata.
Maulana menuturkan, peningkatan pergerakan wisatawan selama Nataru berpotensi terjadi seiring dengan berbagai insentif pemerintah, seperti diskon tarif tol dan potongan harga tiket pesawat. Insentif tersebut diharapkan mampu mendorong mobilitas masyarakat dan berdampak langsung pada kenaikan okupansi hotel dan kunjungan ke restoran.
“Harapannya tentu dengan berbagai insentif itu benar-benar terjadi peningkatan okupansi, setidaknya selama tiga sampai lima hari puncak liburan,” ujarnya kepada Bisnis dikutip, Sabtu (20/12/2025).
Secara historis, tingkat hunian hotel pada periode akhir tahun di destinasi favorit bisa menembus 90%.
Namun, dengan kondisi saat ini, PHRI menilai capaian tersebut cukup berat secara nasional. Maulana memperkirakan okupansi di kisaran 70%–80% sudah tergolong positif, terutama mengingat adanya sejumlah daerah yang terdampak bencana dan gangguan akses, khususnya di beberapa wilayah Sumatra.
“Beberapa daerah seperti Sumatra Barat yang biasanya menjadi tujuan wisata domestik mengalami kendala karena bencana dan akses jalan terputus. Ini tentu memengaruhi pergerakan wisatawan,” jelasnya.
Sebaliknya, situasi di Pulau Jawa relatif lebih kondusif, meski tetap dihadapkan pada risiko cuaca ekstrem yang bisa menahan mobilitas.
Lebih jauh, Maulana mengakui bahwa sepanjang 2025 industri hotel dan restoran belum menunjukkan pemulihan. Secara year-on-year hingga awal Oktober 2025, okupansi industri perhotelan masih tertekan hampir 5% dan bahkan lebih rendah dibandingkan capaian 2022. Penurunan tersebut berdampak signifikan terhadap pendapatan, dengan rata-rata penurunan revenue yang disebut mencapai sekitar 60%.
Tekanan itu tak lepas dari kebijakan efisiensi dan pengetatan anggaran pemerintah yang berimbas pada minimnya aktivitas perjalanan dinas dan kegiatan pemerintah di daerah. Padahal, selama ini belanja pemerintah menjadi salah satu penopang utama industri hotel, khususnya di daerah.
Menatap 2026, PHRI melihat tantangan masih berlanjut. Efisiensi anggaran dan pemotongan transfer ke daerah dikhawatirkan membuat aktivitas ekonomi daerah tetap terbatas. Oleh karena itu, PHRI berharap pemerintah mulai mendorong belanja lebih awal di tahun depan serta memikirkan program alternatif untuk menggantikan pasar pemerintah, termasuk menghidupkan kembali kegiatan MICE (meeting, incentive, convention, exhibition).
“Selama ini MICE sangat membantu industri hotel dan pariwisata daerah. Dampaknya besar, bukan hanya untuk hotel, tetapi juga ekonomi kreatif dan UMKM,” kata Maulana.
Di tengah tekanan tersebut, libur Nataru tetap dipandang sebagai momentum penting. Bersama libur Lebaran dan libur sekolah, Nataru menjadi salah satu periode yang paling dinanti pelaku usaha karena berpotensi memicu lonjakan kinerja. Pelaku industri pun didorong untuk mengoptimalkan promosi, mengangkat keunikan daerah, serta menawarkan konsep liburan khas Nataru yang berfokus pada kebersamaan dan rekreasi keluarga.
“Kalau dimaksimalkan, Nataru bisa memberi dampak positif, terutama untuk wisatawan domestik dan daerah-daerah yang sudah siap menyambut kunjungan,” katanya.
