Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Selamatkan Satu Anak, Selamatkan Satu Generasi

Selamatkan Satu Anak, Selamatkan Satu Generasi

Bangli: Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) sekaligus Kepala BKKBN Wihaji berkunjung ke Desa Suter, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, pada Sabtu,21 Desember 2024. Kunjungan bertujuan memonitor pelaksanaan program Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting) dan memastikan keluarga berisiko stunting di wilayah tersebut mendapatkan perhatian.

Meskipun Bali memiliki angka prevalensi stunting terendah di Indonesia, yakni 7,2% berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, Desa Suter tetap menjadi lokus kunjungan. Hal ini disebabkan masih adanya anak balita yang belum termonitor.

“Kunjungan kami ini untuk memastikan pelaksanaan program di lapangan. Menyelamatkan satu anak berarti menyelamatkan satu generasi,” ujar Wihaji dalam kegiatan bertajuk Kolaborasi Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting Bersama Mitra Kerja Tahun 2024.

Kegiatan tersebut juga dihadiri Pj. Gubernur Bali SM Mahendra Jaya, serta sejumlah pejabat pusat dan daerah. Dalam sambutannya, Wihaji menekankan pentingnya intervensi bagi balita dan ibu hamil yang terindikasi stunting tanpa terkecuali.

“Bukan hanya soal jumlah, tetapi soal keadilan. Alhamdulillah, tokoh adat, pejabat, dan bupati di Bali sepakat menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga berisiko stunting,” kata Wihaji.

Menurutnya, gotong royong menjadi kunci keberhasilan Bali dalam menangani stunting. “Di Bangli, penanganannya dilakukan secara bersama-sama dengan semangat gotong royong,” tambahnya.

Wihaji menjelaskan bahwa negara tetap hadir melalui program Genting untuk menangani stunting. Namun, kolaborasi lintas sektor tetap diperlukan. “Tidak semua bisa diatasi oleh negara. Kita menerapkan konsep pentahelix, yaitu kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media, dan akademisi. Dengan begitu, warga yang tidak terjangkau bantuan negara dapat terbantu oleh orang tua asuh,” ujarnya.

Dalam program Genting, BKKBN menargetkan menyasar satu juta anak asuh secara nasional. Implementasinya tetap merujuk pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. “Presisi adalah kunci. Data harus akurat hingga ke tingkat nama dan alamat,” tegas Wihaji.

Ia menambahkan, program ini terinspirasi oleh filosofi Tri Hita Karana, yang mengajarkan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Prinsip ini juga dianggap berkontribusi pada rendahnya angka prevalensi stunting di Bali.

Dalam kunjungannya, Wihaji menyempatkan berdialog dengan dua keluarga risiko stunting di Desa Suter, yakni keluarga I Wayan Sariawan dan I Komang Budiarta.
Ketidakadilan Sosial dalam Kasus Stunting
Pj. Gubernur Bali SM Mahendra Jaya menyoroti bahwa masalah stunting tidak hanya berkaitan dengan kesehatan, tetapi juga ketidakadilan sosial. 

“Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dan pola asuh yang tidak tepat, terutama pada keluarga dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini menghambat tumbuh kembang anak, sehingga masa depannya menjadi tidak kompetitif,” ujarnya.

Mahendra juga menjelaskan bahwa tingginya angka stunting mencerminkan rendahnya kualitas hidup keluarga di suatu wilayah. “Jika angka stunting tinggi, berarti banyak keluarga yang tidak bahagia dan kualitas hidupnya rendah,” katanya.

Untuk mengatasi masalah ini, Pemprov Bali mengalokasikan anggaran sebesar Rp71,8 miliar pada 2024 untuk program percepatan penurunan stunting. Selain itu, Pemprov Bali juga mengembangkan platform Sigenting (Sistem Monitoring Pencegahan Kemiskinan dan Stunting) untuk memantau, mengevaluasi, dan mengintervensi keluarga risiko stunting dengan data yang terintegrasi lintas sektor.

“Sebanyak 166 desa di Bali menjadi lokus intervensi kami, dengan dukungan 3.327 Tim Pendamping Keluarga,” tambah Mahendra.

Dengan berbagai langkah ini, Bali diharapkan dapat terus mempertahankan posisinya sebagai provinsi dengan tingkat prevalensi stunting terendah di Indonesia.

Bangli: Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) sekaligus Kepala BKKBN Wihaji berkunjung ke Desa Suter, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, pada Sabtu,21 Desember 2024. Kunjungan bertujuan memonitor pelaksanaan program Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting) dan memastikan keluarga berisiko stunting di wilayah tersebut mendapatkan perhatian.
 
Meskipun Bali memiliki angka prevalensi stunting terendah di Indonesia, yakni 7,2% berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, Desa Suter tetap menjadi lokus kunjungan. Hal ini disebabkan masih adanya anak balita yang belum termonitor.
 
“Kunjungan kami ini untuk memastikan pelaksanaan program di lapangan. Menyelamatkan satu anak berarti menyelamatkan satu generasi,” ujar Wihaji dalam kegiatan bertajuk Kolaborasi Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting Bersama Mitra Kerja Tahun 2024.
Kegiatan tersebut juga dihadiri Pj. Gubernur Bali SM Mahendra Jaya, serta sejumlah pejabat pusat dan daerah. Dalam sambutannya, Wihaji menekankan pentingnya intervensi bagi balita dan ibu hamil yang terindikasi stunting tanpa terkecuali.
 
“Bukan hanya soal jumlah, tetapi soal keadilan. Alhamdulillah, tokoh adat, pejabat, dan bupati di Bali sepakat menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga berisiko stunting,” kata Wihaji.
 
Menurutnya, gotong royong menjadi kunci keberhasilan Bali dalam menangani stunting. “Di Bangli, penanganannya dilakukan secara bersama-sama dengan semangat gotong royong,” tambahnya.
 
Wihaji menjelaskan bahwa negara tetap hadir melalui program Genting untuk menangani stunting. Namun, kolaborasi lintas sektor tetap diperlukan. “Tidak semua bisa diatasi oleh negara. Kita menerapkan konsep pentahelix, yaitu kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media, dan akademisi. Dengan begitu, warga yang tidak terjangkau bantuan negara dapat terbantu oleh orang tua asuh,” ujarnya.
 
Dalam program Genting, BKKBN menargetkan menyasar satu juta anak asuh secara nasional. Implementasinya tetap merujuk pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. “Presisi adalah kunci. Data harus akurat hingga ke tingkat nama dan alamat,” tegas Wihaji.
 
Ia menambahkan, program ini terinspirasi oleh filosofi Tri Hita Karana, yang mengajarkan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Prinsip ini juga dianggap berkontribusi pada rendahnya angka prevalensi stunting di Bali.
 
Dalam kunjungannya, Wihaji menyempatkan berdialog dengan dua keluarga risiko stunting di Desa Suter, yakni keluarga I Wayan Sariawan dan I Komang Budiarta.
Ketidakadilan Sosial dalam Kasus Stunting
Pj. Gubernur Bali SM Mahendra Jaya menyoroti bahwa masalah stunting tidak hanya berkaitan dengan kesehatan, tetapi juga ketidakadilan sosial. 
 
“Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dan pola asuh yang tidak tepat, terutama pada keluarga dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini menghambat tumbuh kembang anak, sehingga masa depannya menjadi tidak kompetitif,” ujarnya.
 
Mahendra juga menjelaskan bahwa tingginya angka stunting mencerminkan rendahnya kualitas hidup keluarga di suatu wilayah. “Jika angka stunting tinggi, berarti banyak keluarga yang tidak bahagia dan kualitas hidupnya rendah,” katanya.
 
Untuk mengatasi masalah ini, Pemprov Bali mengalokasikan anggaran sebesar Rp71,8 miliar pada 2024 untuk program percepatan penurunan stunting. Selain itu, Pemprov Bali juga mengembangkan platform Sigenting (Sistem Monitoring Pencegahan Kemiskinan dan Stunting) untuk memantau, mengevaluasi, dan mengintervensi keluarga risiko stunting dengan data yang terintegrasi lintas sektor.
 
“Sebanyak 166 desa di Bali menjadi lokus intervensi kami, dengan dukungan 3.327 Tim Pendamping Keluarga,” tambah Mahendra.
 
Dengan berbagai langkah ini, Bali diharapkan dapat terus mempertahankan posisinya sebagai provinsi dengan tingkat prevalensi stunting terendah di Indonesia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

(ALB)