Sanksi & Konflik Tekan Rantai Pasok, Biaya Pengiriman Komoditas Melonjak Tajam!

Sanksi & Konflik Tekan Rantai Pasok, Biaya Pengiriman Komoditas Melonjak Tajam!

Bisnis.com, JAKARTA — Konflik geopolitik, sanksi, dan peningkatan produksi komoditas telah mengacaukan rantai pasok dunia. Situasi itu telah mengakibatkan tarif pengiriman komoditas global, mulai dari energi hingga bijih curah, melonjak tajam.

Melansir Bloomberg pada Kamis (4/12/2025), pendapatan harian kapal tanker pengangkut minyak mentah di rute-rute utama mencatat lonjakan terbesar sepanjang tahun ini, melesat hingga 467%. 

Sementara itu, tarif angkutan gas alam cair (LNG) meningkat lebih dari empat kali lipat, dan biaya pengiriman komoditas seperti bijih besi naik sekitar dua kali lipat. Kenaikan tersebut cukup kontras dengan pola musiman, di mana ongkos angkut biasanya melemah pada akhir tahun seiring turunnya permintaan.

Lonjakan tarif terjadi karena waktu tempuh kapal di lautan semakin panjang akibat perubahan rute pengiriman. Sejumlah eksekutif pelayaran memperkirakan kondisi pasar yang ketat akan berlanjut setidaknya hingga awal tahun depan.

“Kami melihat pasar pengapalan fisik yang benar-benar ketat, seperti era lama,” kata CEO Frontline Management AS, Lars Barstad, dalam paparan kinerja perusahaan pada akhir bulan lalu. 

Perusahaan tersebut mengoperasikan armada tanker minyak, termasuk kapal pengangkut minyak raksasa (very large crude carriers/VLCC). 

“Kami sama sekali belum melihat tanda-tanda pelemahan,” ujarnya.

Untuk segmen tanker minyak mentah, kenaikan tarif dipicu peningkatan produksi di Timur Tengah serta lonjakan permintaan Asia terhadap pasokan minyak setelah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada dua raksasa minyak Rusia. 

Di sisi lain, tarif pengapalan LNG dari AS ke Eropa belakangan mencapai level tertinggi dalam dua tahun, seiring proyek-proyek baru di Amerika Utara menyerap lebih banyak kapal untuk pengiriman bahan bakar tersebut.

Indikator acuan kapal curah yang mengangkut komoditas seperti gandum dan bijih besi juga naik ke level tertinggi dalam 20 bulan pada akhir November. Kenaikan dipicu ekspektasi beroperasinya proyek besar bijih besi di Guinea serta gangguan cuaca di sekitar China yang menekan pasokan.

Secara lebih luas, konflik di sekitar jalur-jalur kritis turut mendongkrak biaya pengiriman. Serangan kelompok Houthi yang didukung Iran terhadap kapal dagang di Laut Merah memaksa sebagian armada berlayar memutar lewat Afrika. 

Kondisi ini meningkatkan “ton-miles” indikator permintaan yang mengalikan volume muatan dengan jarak tempuh bmenandakan kargo kini harus diangkut lebih jauh dari biasanya.

Meski tarif pengapalan sedikit turun dari puncaknya di akhir November, biaya yang masih tinggi telah mengguncang berbagai segmen pasar pelayaran. Sejumlah pembeli LNG asal AS dikabarkan mempertimbangkan menunda pemuatan kargo, sementara para pemilik tanker berupaya memaksimalkan pendapatan.

Dalam beberapa pekan terakhir, operator supertanker memilih rute pelayaran yang lebih panjang demi mengunci laba lebih besar. Kondisi ini mendorong sebagian kilang India menggunakan dua kapal yang lebih kecil—alih-alih satu kapal besar seperti biasa—untuk memastikan pengiriman minyak dari Timur Tengah tetap tepat waktu, menurut para pialang kapal.

Namun, di tengah lonjakan laba yang jarang terjadi setelah bertahun-tahun tertekan, perusahaan pelayaran tetap bersikap hati-hati dalam melakukan ekspansi armada maupun mengambil keputusan strategis besar. 

Harga kapal baru tergolong mahal, sementara tarif pengangkutan berpotensi kembali jatuh seiring bertambahnya jumlah kapal dan kemungkinan dibukanya kembali jalur Laut Merah.

“Sebagai pemilik kapal, tentu Anda sudah menikmati keuntungan dan tidak berada dalam tekanan. Tapi suasananya juga belum bisa dibilang euforia, karena prospek industri masih penuh ketidakpastian” kata Direktur Drewry Maritime Services, Jayendu Krishna.