Jakarta (beritajatim.com) — Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyambut positif langkah Presiden Prabowo Subianto yang akan menghapus kebijakan kuota impor, terutama untuk komoditas yang berkaitan langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat.
Langkah ini dinilai sebagai awal dari reformasi besar dalam sistem perdagangan dan kebijakan impor nasional.
“Presiden Prabowo menangkap aspirasi pengusaha dengan memerintahkan penghapusan kuota impor barang kebutuhan pokok. Ini merupakan angin segar bagi pembenahan sistem impor kita yang selama ini sarat distorsi dan praktik rente,” tegas Said Abdullah dalam keterangannya, Rabu (9/4/2025).
Kuota Impor Rawan Disalahgunakan
Menurut Said, sistem kuota impor selama ini justru menjadi celah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Beberapa kasus hukum tercatat melibatkan skema ini, seperti impor beras tahun 2007, daging sapi tahun 2013, gula kristal tahun 2015, hingga bawang putih pada 2019.
“Sudah sejak 21 Februari 2020, kami di Banggar DPR meminta pemerintah mengganti sistem kuota dengan tarif. Tujuannya agar lebih adil dan menghindari rente antara pemilik otoritas dan pengusaha,” ujarnya.
Pada 17 Maret 2024, Banggar DPR kembali mendorong pemerintah mengadopsi sistem tarif impor. Said menyebut, dengan kebijakan tarif, negara tidak hanya memperoleh barang dengan harga lebih wajar dan kompetitif, tetapi juga berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan melalui bea masuk.
Namun demikian, ia menegaskan, tarif harus dibebaskan untuk impor komoditas yang masuk kategori hajat hidup orang banyak.
Lebih lanjut, Said menjabarkan enam poin penting sebagai arah reformasi kebijakan impor nasional:
1. Menjaga Neraca Perdagangan: “Kebijakan impor harus mempertimbangkan *trade balance* agar neraca perdagangan tetap surplus dan cadangan devisa terjaga. Kita bisa belajar dari kebijakan tarif Presiden Trump,” jelasnya.
2. Impor sebagai Substitusi Sementara: Impor sebaiknya hanya dilakukan saat produksi dalam negeri belum mampu mencukupi. Ke depan, Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan dari produksi sendiri, terutama di sektor pangan dan energi.
3. Perkuat Industri Lokal: Kebijakan impor harus sejalan dengan upaya meningkatkan *Tingkat Kandungan Dalam Negeri* (TKDN). “Jangan sampai industri kita seperti tekstil tergerus lagi akibat banjir produk impor,” katanya.
4. Diversifikasi Negara Asal Impor: Ia menilai pentingnya memperluas mitra impor untuk menghindari ketergantungan pada satu negara. Hal ini krusial dalam era rantai pasok global yang semakin kompleks.
5. Deregulasi Impor Pangan dan Energi: “Deregulasi harus mempermudah akses rakyat terhadap komoditas, dengan harga yang lebih terjangkau, agar tidak membebani masyarakat maupun fiskal negara,” ucap Said.
6. Optimalkan Free Trade Agreement (FTA): Indonesia telah meratifikasi FTA dengan sedikitnya 18 negara. Skema ini harus dimanfaatkan untuk meningkatkan Revealed Comparative Advantage* (RCA) produk lokal agar ekonomi nasional makin berdaya saing.
Said Abdullah berharap pemerintah benar-benar menjadikan momentum ini sebagai titik balik reformasi sistem perdagangan internasional Indonesia. Ia menilai langkah Presiden Prabowo sudah tepat, dan kini saatnya memperkuat fondasi agar kebijakan impor tidak lagi menjadi alat rente, tapi alat untuk kemandirian ekonomi bangsa. (ted)
