Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Sahut-sahutan di Senayan untuk revisi UU Pemilu

Sahut-sahutan di Senayan untuk revisi UU Pemilu

sudah 26 tahun reformasi, … kita sepakat bahwa demokrasi kita harus bergeser dari demokrasi prosedural ke demokrasi substansial

Jakarta (ANTARA) – “Pengalaman adalah guru terbaik,” merupakan pepatah yang semestinya selalu dimaknai dalam aktivitas demokrasi yang paling konkret dilakukan masyarakat di Indonesia, yakni dalam pemilihan umum.

Tak terasa negara Indonesia yang sepakat untuk menerapkan sistem demokrasi ini tak lama lagi menginjak usia 80 tahun. Selama itu pula, sistem pemilu terus berubah-ubah mengikuti perkembangan situasi politik.

Walaupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung baru digelar lima kali sejak tahun 2004, pesta demokrasi di negeri ini sebetulnya sudah ada sejak tahun 1955 dengan adanya pemilu legislatif.

Dahulu, pemilu legislatif merupakan gerbang awal untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebab, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berperan untuk menentukan sosok pemimpin bangsa.

Dari beragam pengalaman yang muncul selama perjalanannya, sistem pemilu akhirnya diganti dengan sistem pemilihan secara langsung. Kini, rakyat pun bisa secara langsung memilih calon eksekutif maupun legislatif dengan mencoblos kertas berisi foto beserta nama kandidat.

Namun seperti pepatah di awal, sistem pemilu terkini yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 masih menyisakan kompleksitas, berdasarkan penilaian sejumlah pihak. Maka ide untuk transformasi kian berkembang, agar sistem pemilu selalu bisa disempurnakan.

Kini, DPR RI melalui Badan Legislasi sedang menyerap masukan dari berbagai kalangan untuk menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029. Salah satu aspirasi yang kerap menjadi pembahasan hangat adalah untuk merevisi sistem pemilu dengan memasukkan RUU Pemilu dalam Prolegnas.

Keserentakan

Pemilu 2019 merupakan sejarah bagi Indonesia karena menjadi pesta demokrasi yang pertama kalinya dilaksanakan secara serentak, dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, Anggota DPD RI, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Dengan begitu, ada lima surat suara yang musti dicoblos oleh masyarakat di dalam bilik suara. Setelah membuka lipatan dan melipat kembali lima surat suara, tentunya mereka pun memasukkan satu per satu surat suara ke dalam lima kotak yang berbeda.

Adanya sistem pemilu serentak merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pemilu 2019 dan seterusnya harus dilaksanakan secara serentak dengan lima kotak.

Pertimbangannya, MK mendorong agar pemilu serentak itu menciptakan efektivitas terhadap sistem presidensial, serta mempertimbangkan efisiensi penyelenggaraan pemilu.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024