Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan bagi umat Islam. Pada bulan ini, ibadah puasa diwajibkan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt serta sarana meningkatkan ketakwaan (QS Al-Baqarah:183). “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Salah satu aspek penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang memiliki keutamaan khusus, seperti sahur dan ngabuburit. Kedua waktu ini tidak hanya memiliki dimensi ibadah, juga mengandung hikmah dan keberkahan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis.
Sahur dan ngabuburit tidak hanya memiliki dimensi ibadah dalam Islam, juga telah berkembang menjadi tradisi budaya populer di berbagai negara muslim, terutama di Indonesia. Sahur yang awalnya merupakan anjuran agama untuk mempersiapkan fisik dan spiritual sebelum berpuasa, kini menjadi bagian dari kebiasaan sosial yang penuh dengan keberagaman, mulai dari sahur on the road, acara sahur bersama, hingga berbagai program televisi yang menemani umat muslim menjelang subuh.
Dalam praktiknya, puasa umat Islam memiliki karakteristik yang membedakannya dari puasa umat-umat sebelumnya, termasuk ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Salah satu aspek yang menjadi pembeda adalah anjuran untuk makan sahur sebelum terbit fajar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Dari Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR Muslim nomor 1.096)
Hadis ini menegaskan bahwa sahur bukan sekadar kebiasaan sebelum berpuasa, tetapi juga merupakan sunah yang menjadi ciri khas ibadah puasa dalam Islam. Dengan adanya anjuran sahur, umat Islam tidak hanya mengikuti sunah Nabi SAW. juga membedakan diri dalam cara beribadah dibandingkan dengan umat sebelumnya.
Hal ini menunjukkan Islam adalah agama yang memiliki aturan dan tata cara ibadah yang khas serta penuh keberkahan bagi pemeluknya. Sahur tidak hanya memberikan kekuatan fisik untuk menjalani puasa, juga memiliki keberkahan.
عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً رواه البخاري (1923)، ومسلم (1095)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah SAW bersabda,”Makan sahurlah kalian, karena dalam sahur itu ada keberkahan.” (HR Bukhari nomor 1923 dan Muslim nomor 1095). Hadis ini merupakan salah satu bentuk anjuran Rasulullah SAW kepada umatnya agar selalu melaksanakan sahur sebelum berpuasa. Rasulullah SAW tidak hanya memberikan perintah untuk sahur, juga menekankan dalam sahur terdapat keberkahan.
Selain itu, waktu sahur termasuk dalam sepertiga malam terakhir yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa dan memohon ampunan kepada Allah Swt.
وَبِالۡاَسۡحَارِ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُوۡنَ ١٨
wa bil-as-ḫâri hum yastaghfirûn
Artinya: “dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat: 18)
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan sifat orang-orang bertakwa yang senantiasa memohon ampunan kepada Allah pada waktu sahur (sepertiga malam terakhir sebelum subuh). Orang-orang saleh yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang menghidupkan malam dengan ibadah, seperti salat tahajud, berzikir, dan membaca Al-Qur’an, serta pada akhir malam mereka beristigfar (memohon ampunan kepada Allah Swt).
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa istigfar mereka bukan hanya karena dosa-dosa besar, juga sebagai bentuk ketundukan dan rendah hati kepada Allah. Mereka juga mengakui kelemahan diri, meskipun telah banyak beribadah. Ibnu Katsir juga menyebutkan istigfar pada waktu sahur adalah kebiasaan para Nabi dan orang-orang saleh terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat lain dalam Al-Qur’an.
Selain itu, Allah menyebutkan istigfar pada waktu sahur sebagai ciri khas penghuni surga dalam beberapa ayat lain, seperti dalam QS Ali ‘Imran: 17. “Dan orang-orang yang memohon ampunan di waktu sahur.”
Dalam Tafsir al-Misbah (Quraish Shihab) disebutkan ayat ini menekankan bahwa istigfar bukan sekadar ucapan lisan, tetapi merupakan bentuk kesadaran spiritual akan keterbatasan manusia dan kebutuhan akan rahmat Allah. Waktu ashar (menjelang subuh) disebut secara khusus karena merupakan waktu yang penuh keberkahan. Saat itu suasana tenang dan mustajab untuk memohon ampunan. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa orang-orang saleh tidak hanya beribadah pada malam hari, juga menutupnya dengan istigfar sebagai bentuk ketawadukan dan keikhlasan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Demikian pula dengan ngabuburit. Meskipun Islam tidak secara khusus menyebut istilah ngabuburit, tetapi prinsip memanfaatkan waktu dengan hal-hal baik telah banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan hadis. Semula, ngabuburit hanya merujuk pada waktu menunggu berbuka. Kini, ngabuburit telah menjadi fenomena budaya yang diisi dengan berbagai aktivitas, seperti berburu takjil, berkumpul dengan keluarga dan teman, hingga menghadiri kajian keagamaan.
وَٱلْعَصْرِ ١
wal-‘ashr
Demi masa.
إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢
innal-insâna lafî khusr
Sungguh, manusia berada dalam kerugian,
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣
illalladzîna âmanû wa ‘amilush-shâliḫâti wa tawâshau bil-ḫaqqi wa tawâshau bish-shabr
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.
Ayat ini menunjukkan bahwa waktu adalah anugerah yang harus dimanfaatkan dengan hal yang bermanfaat, seperti kajian keagamaan, berbagi makanan untuk berbuka, atau kegiatan sosial yang positif selama ngabuburit. Dalam hadis, Rasulullah SAW juga menyebutkan keutamaan menunggu waktu berbuka dengan ibadah.
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya.” (HR Bukhari nomor 1904, Muslim nomor 1151)
Berburu takjil dan berbagi makanan saat ngabuburit telah menjadi bagian dari budaya Ramadan yang tidak hanya bernilai sosial, juga memiliki makna ibadah dalam Islam. Tradisi ini mencerminkan semangat kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang membutuhkan. Islam sangat menganjurkan berbagi makanan, sebagaimana firman Allah Swt QS Al-Insan Ayat 8-9:
وَيُطۡعِمُوۡنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسۡكِيۡنًا وَّيَتِيۡمًا وَّاَسِيۡرًا ٨
wa yuth‘imûnath-tha‘âma ‘alâ ḫubbihî miskînaw wa yatîmaw wa asîrâ
Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.
اِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِـوَجۡهِ اللّٰهِ لَا نُرِيۡدُ مِنۡكُمۡ جَزَآءً وَّلَا شُكُوۡرًا ٩
innamâ nuth‘imukum liwaj-hillâhi lâ nurîdu mingkum jazâ’aw wa lâ syukûrâ
(Mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu.
Berbagi takjil sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa siapa yang memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tersebut.
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR Tirmidzi nomor 807, Ibnu Majah nomor 1746)
Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan yang memberikan berbagai peluang bagi umat Islam untuk meningkatkan ketakwaan dan memperbanyak amal ibadah. Dua waktu istimewa dalam bulan ini, yaitu sahur dan ngabuburit, tidak hanya memiliki dimensi ibadah, juga telah berkembang menjadi bagian dari budaya populer di masyarakat.
Meskipun telah bertransformasi menjadi bagian dari budaya populer, sahur dan ngabuburit tetap memiliki makna spiritual yang dapat dimaksimalkan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara aspek budaya dan nilai-nilai ibadah agar dua waktu istimewa ini tetap menjadi sarana meningkatkan ketakwaan selama Ramadan.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
