RUU Perampasan Aset: Cermin yang Ditutup Nasional 11 September 2025

RUU Perampasan Aset: Cermin yang Ditutup
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

RUU Perampasan Aset: Cermin yang Ditutup
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
ADA
saat ketika sebuah rancangan undang-undang seperti cahaya senja. Redup, samar, dan hampir padam.
RUU Perampasan Aset pernah berada di titik itu. Ia diajukan, dibicarakan, lalu ditunda. Bertahun-tahun tersangkut di meja DPR, menunggu giliran yang tak kunjung datang.
Namun pada 9 September 2025, kabar baru datang. DPR akhirnya memasukkan RUU ini ke dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Kedua 2025.
“RUU Perampasan Aset dimasukkan sebagai inisiatif DPR dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Kedua 2025,” kata Ketua Baleg DPR, Bob Hasan.
Senja yang pekat itu seakan menyisakan cahaya jingga. Belum terang penuh, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa kabut panjang mulai terbuka.
Korupsi di negeri ini tidak hanya soal uang tunai. Ia menjelma rumah di atas bukit, vila di tepi pantai, apartemen di Singapura, hingga rekening dolar di luar negeri. Semua bersembunyi di balik nama kerabat, perusahaan cangkang, atau rekening samaran.
RUU Perampasan Aset hadir untuk menutup celah itu. Prinsipnya sederhana: negara berhak merampas aset yang tak jelas asal-usulnya, bahkan sebelum ada putusan pidana.
Non-conviction based asset forfeiture
—model yang dipakai Italia melawan mafia, Amerika Serikat melawan kartel narkoba, dan Filipina memburu kekayaan Marcos—menjadi rujukan.
Pertanyaannya: mengapa Indonesia, dengan sejarah panjang korupsi, justru tertinggal dalam langkah ini?
Di Senayan, RUU ini lama diperlakukan seperti tamu yang tak diundang. Perdebatan lebih banyak tentang kepentingan ketimbang substansi.
Ada yang khawatir aturan ini bisa dipakai sebagai alat politik. Ada pula yang resah, sebab banyak elite juga menyimpan harta dengan asal-usul yang samar.
Maka, rapat ditunda. Panitia kerja tak kunjung terbentuk. Alasan prosedural dikedepankan: perlu sinkronisasi dengan regulasi lain, harus ada kepastian hukum, harus jelas mekanisme pengawasan.
Kini, setidaknya secara formal, pintu sudah terbuka. DPR mengambil inisiatif legislasi, menandai bahwa perdebatan tidak bisa lagi diulur tanpa arah.
Pertanyaannya: apakah pintu itu sungguh akan dibuka lebar, atau hanya sedikit diselipkan untuk menenangkan amarah publik?
Secara filosofis, pertanyaan pun muncul: apakah perampasan aset tanpa putusan pidana tidak melanggar asas
due process of law
? Bukankah setiap orang berhak dianggap tak bersalah sebelum terbukti?
Pertanyaan itu penting. Namun, filsafat hukum memberi jalan lain. Gustav Radbruch pernah mengatakan: hukum yang menjauh dari keadilan kehilangan legitimasi.
RUU Perampasan Aset mencoba mendekatkan hukum pada keadilan substantif. Pasal 28D UUD 1945 memang menjamin kepastian hukum. Namun, Pasal 23 mengamanatkan bahwa keuangan negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
 
Bagaimana mungkin amanat itu terwujud bila miliaran rupiah dibiarkan mengendap di rekening gelap?
Banyak pihak juga mengusulkan agar pembahasan RUU ini diselaraskan dengan revisi KUHAP, supaya mekanisme perampasan aset tetap tunduk pada pengawasan pengadilan. Usulan itu penting untuk memastikan aturan ini tak berubah menjadi alat kekuasaan.
Ketakutan menjadi wajah paling nyata dari perjalanan panjang RUU ini. Takut bahwa negara akan terlalu kuat. Takut mekanisme ini bisa dipakai untuk menyingkirkan lawan politik.
Dan yang paling terasa: takut bahwa para pembuat aturan sendiri bisa terseret oleh jerat yang mereka pasang.
Maka, draf ini dipinggirkan. Ditunda. Seperti seseorang yang memilih menutup mata daripada menatap kebenaran.
Namun, setelah gelombang demonstrasi Agustus 2025, ketakutan itu mulai retak. Dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, desakan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan menjadi suara keras di jalanan Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, hingga Medan.
Rakyat seakan berkata: cukup sudah. Aset koruptor harus kembali kepada pemilik sejati—bangsa ini.
Sebelum demonstrasi itu, isu RUU Perampasan Aset lebih sering tenggelam. Media menulis seperlunya, LSM bersuara, tetapi gaungnya kalah oleh hiruk-pikuk
reshuffle
kabinet atau drama politik harian.
Demonstrasi besar memang kerap terjadi, tetapi jarang sekali untuk menuntut percepatan RUU ini.
Padahal, akibat lambannya pembahasan, yang hilang bukan sekadar aset. Yang hilang adalah masa depan: uang untuk sekolah gratis, subsidi pangan, rumah sakit, semua menguap bersama harta yang tak tersentuh.
Senyap itu berbahaya. Sebab dalam senyap, korupsi bisa kembali tumbuh, mengakar, dan bersembunyi dengan nyaman.
Bangsa ini pernah belajar dari krisis 1998. Ketika utang menumpuk, ketika korupsi merajalela, ketika rakyat marah. Reformasi lahir bukan sekadar pergantian presiden, melainkan janji untuk menegakkan negara hukum.
RUU Perampasan Aset seharusnya bagian dari janji itu. Namun, dua dekade lebih berlalu, kita masih berada di titik yang sama. Korupsi tetap diperlakukan sebagai “extraordinary crime”, tetapi penanganannya tetap biasa-biasa saja.
Ingatan itu perlahan kabur. Seperti senja yang menelan cahaya, kita seakan rela membiarkan janji reformasi tenggelam di ufuk.
Kini, bangsa ini berada di persimpangan. Apakah RUU itu akan kembali terjebak, ataukah dimanfaatkan sebagai momentum untuk menegaskan komitmen? Pilihan itu bukan hanya milik DPR atau pemerintah, tetapi juga rakyat.
RUU ini bisa saja disahkan dengan berbagai modifikasi: pengawasan ketat, mekanisme keberatan bagi pemilik aset, dan penguatan peran pengadilan. Semua bisa menjadi pagar agar hukum tidak berubah jadi alat kekuasaan.
Namun, tanpa keberanian politik, semuanya hanya akan jadi draf di atas meja.
Senja memang tak bisa dicegah, tetapi senja bukan berarti gelap total. Ada cahaya jingga yang masih bisa memberi harapan. Begitu pula RUU Perampasan Aset. Ia mungkin sedang redup, tetapi bukan mustahil bangkit kembali.
Yang dibutuhkan hanya satu: keberanian. Keberanian negara untuk berpihak pada rakyat, bukan pada harta yang disembunyikan. Keberanian DPR untuk menatap cermin, meski wajah mereka sendiri mungkin terpantul.
Dan keberanian kita, sebagai warga, untuk tidak diam. Karena senja kala RUU ini hanya bisa berubah jadi fajar baru bila ada suara yang tak henti-henti menyeru: aset koruptor harus kembali ke rakyat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.