RUU KUHAP Dibahas Kilat, Presiden dan DPR Didesak Hentikan Proses yang Berjalan

RUU KUHAP Dibahas Kilat, Presiden dan DPR Didesak Hentikan Proses yang Berjalan

RUU KUHAP Dibahas Kilat, Presiden dan DPR Didesak Hentikan Proses yang Berjalan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (
YLBHI
) mendesak
Presiden Prabowo Subianto
dan
DPR
segera menghentikan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (
RUU KUHAP
) yang sedang berjalan.
Sebab, menurut YLBHI, pembahasan RUU KUHAP dilakukan dengan kilat dan melanggar prinsip negara hukum, partisipasi publik, dan
hak asasi manusia
(HAM).
“YLBHI mendesak Presiden dan DPR segera menghentikan proses yang berlangsung, mengulang proses dengan baik dan melibatkan publik secara sejati dan bermakna,” kata Ketua Umum YLBHI M Isnur, dalam keterangan tertulis, Selasa (15/7/2025).
Isnur mengatakan, pembahasan RKUHAP di DPR dibahas dengan sangat cepat dan ugal-ugalan.
Dia mengatakan, 1.676 daftar isian masalah hanya dibahas dalam 2 hari (10 Juli-11 Juli 2025).
“Bagi kami ini menunjukan pengabaian terhadap prinsip penyusunan undang-undang yang benar, dan jelas sekali berdampak kualitas pembahasan suatu undang-undang yang akan berdampak terhadap publik,” ujar dia.
Isnur mengatakan, kilatnya pembahasan juga sudah terlihat sebelumnya, sebagai draf yang diusulkan DPR RI draf ini muncul tiba-tiba pada awal februari 2025, dan langsung disepakati jadi draf versi DPR pada awal maret 2025.
Dia mengatakan, beberapa anggota DPR tidak mengetahui draf tersebut dan tidak pernah dibahas di dalam pertemuan terbuka dan meminta pandangan fraksi-fraksi.
“Begitu juga ketika proses penyusunan daftar isian masalah versi pemerintah, beberapa akademisi dan ahli yang dilibatkan dalam penyusunan sebagai drafter mengakui hanya ada pertemuan 2 kali dan belum membahas draf dan bagaimana pengaturan RKUHAP ini, mereka mengakui hanya sebagai pajangan,” tutur dia.
Di sisi lain, Isnur mengatakan, pembahasan pasal-pasal RKUHAP sangat dangkal dan tidak menyentuh substansi persoalan lapangan yang selama ini dialami banyak korban sistem peradilan pidana dalam kasus-kasus salah tangkap, kekerasan atau penyiksaan,
undue delay
dan kriminalisasi serta pembatasan akses bantuan hukum tidak dijamin sepenuhnya dalam RKUHAP.
Dia mengatakan, DPR bersama pemerintah malah memperluas kewenangan penegak hukum polisi yang melegitimasi tindakan subjektif untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyadapan, penggeledahan.
“Mirisnya subjektif polisi dalam upaya paksa tidak didukung dengan mekanisme pengawasan yang ketat oleh lembaga eksternal yang independen. Kerangka hukum yang melegitimasi tindakan subjektif polisi sangat terbuka terjadinya penyalahgunaan wewenang,” kata dia.
Berikut ini 11 persoalan krusial yang ditemukan YLBHI bersama koalisi masyarakat sipil di RUU KUHAP:
1. Polri jadi makin
super power
dalam proses penyidikan membawahi penyidik non-Polri dikecualikan hanya untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Penyidik Polri menjadi penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Syarat kepangkatan, pendidikan, dan sertifikasi akan diatur dengan peraturan (Pasal 6 sampai dengan 8 jo Pasal 20).
2. TNI semua matra bisa menjadi penyidik tindak pidana. (Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4)). Ini membuka ruang bagi TNI untuk menjadi penyidik dalam tindak pidana umum.
3. Polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Pasal ini berbahaya karena bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1×24 jam.
4. Polisi bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin pengadilan dengan dalih mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penyidik.
5. Alasan penahanan dipermudah. Jika dianggap tidak bekerja sama dalam pemeriksaan atau dianggap memberikan informasi tidak sesuai fakta dapat ditahan oleh penyidik. (Pasal 93 Ayat (5)).
6. Penggeledahan sewenang-wenang dilegitimasi. Penggeledahan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak dan bukan hanya pada benda yang terkait dengan tindak pidana. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif penyidik. (Pasal 105 jo Pasal 106).
7. Penyitaan sewenang-wenang dilegitimasi. Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif penyidik. (Pasal 112 Ayat (3)).
8. Pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen. Jika Penyidik mengabaikan laporan, masyarakat hanya diarahkan untuk mengadu kepada atasan penyidik atau pejabat pengawas penyidikan—itupun baru bisa dilakukan setelah 14 hari.
Mekanisme ini sepenuhnya berada di lingkup internal kepolisian, yang selama ini terbukti gagal menangani pelanggaran, terutama jika pelakunya adalah anggota kepolisian itu sendiri.
9. Keadilan untuk semua hanya akan jadi jargon karena bantuan hukum tidak untuk semua orang, hanya untuk tersangka yang tidak mampu atau tidak mempunyai advokat sendiri yang diancam pidana kurang dari 5 tahun. Sedangkan bantuan hukum untuk kelompok rentan tidak diakomodir.
10. Hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dihapus dalam draf KUHAP baru. Jika tersangka tidak mampu atau tidak punya kuasa hukum, justru penyidik yang akan menunjuk pengacara—bukan si tersangka yang memilih.
Ini membuka ruang praktik kuasa hukum formalitas atau
pocket lawyer
, yang hanya jadi pelengkap tanpa membela kepentingan hukum tersangka. (Pasal 145 ayat (1)).
11. Ada bahaya penyadapan sewenang-wenang. Poin ini diatur dalam Pasal 124 yang bilang bahwa penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian subjektif penyidik.
Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR RI selesai membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bersama pemerintah, Kamis (10/7/2025).
Pembahasan DIM dari pemerintah yang berisi 1.676 poin usulan untuk materi RUU KUHAP tersebut diketahui berlangsung selama 2 hari, sejak Rabu (9/7/2025).
“Jumlahnya kan tadi kita berapa, 1.676 DIM. DIM tetap 1.091, DIM redaksional 295,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, saat konferensi pers di Gedung DPR RI, Kamis.
Saat ditanya apakah masih ada DIM yang tersisa untuk dibahas, Habiburokhman menegaskan bahwa seluruhnya telah selesai dibahas dan ditetapkan.
Politikus Gerindra itu merincikan bahwa pemerintah menyampaikan 1.091 usulan tetap, 295 usulan redaksional, 68 usulan diubah, 91 usulan dihapus, dan 131 usulan substansi baru.
“Iya, sudah selesai, ada yang ngikutin enggak? Makanya saya bacain. DIM diubah 68, dihapus 91, substansi baru 131, jumlah total 1.676,” ujar Habiburokhman.
Dengan demikian, lanjut Habiburokhman, Komisi III DPR RI sepakat untuk langsung membentuk tim perumus (Timus) dan tim sinkronisasi (Timsin) RUU KUHAP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.