Beberapa poin penting dalam RUU Haji dan Umrah menjadi sorotan. Salah satu poin krusial adalah perubahan nomenklatur Badan Penyelenggara (BP) Haji menjadi kementerian.
Dengan perubahan ini, penyebutan Kepala BP Haji juga akan berubah menjadi menteri. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaan haji.
Selain itu, RUU ini juga membahas aturan yang memperbolehkan petugas haji tidak harus beragama Islam. Ketentuan ini secara spesifik ditujukan kepada petugas embarkasi di daerah-daerah di Indonesia yang mayoritas warganya bukan muslim. Penting untuk dicatat bahwa ketentuan ini tidak berlaku untuk panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) di Arab Saudi, yang tetap harus beragama Islam.
Poin penting lainnya adalah mengenai penetapan kuota haji. Dalam aturan baru, kuota haji setingkat kabupaten/kota akan ditetapkan oleh menteri. Ini merupakan perubahan signifikan dari aturan sebelumnya yang menyebutkan bahwa kuota di tingkat kabupaten/kota ditetapkan oleh gubernur. Perubahan ini bertujuan untuk menyeragamkan dan mempercepat proses penetapan kuota.
Perubahan nomenklatur dari Badan Penyelenggara (BP) Haji menjadi kementerian, dengan Kepala BP Haji menjadi menteri.
Aturan yang memperbolehkan petugas embarkasi di daerah mayoritas non-muslim untuk tidak harus beragama Islam, namun tidak berlaku untuk PPIH di Arab Saudi. Penetapan kuota haji setingkat kabupaten/kota akan dilakukan oleh menteri, bukan lagi oleh gubernur.
Reporter: Nur Habibie
Sumber: Merdeka.com
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5027970/original/078589300_1732859541-Gambar_WhatsApp_2024-11-29_pukul_09.35.40_4ca886d2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)