Menurut dia, terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah dan Bank Indonesia cenderung membiarkan pelemahan rupiah terjadi secara perlahan, yakni pertama, untuk meningkatkan daya saing ekspor.
Pelemahan rupiah membuat produk ekspor Indonesia lebih kompetitif di pasar global. Dengan nilai tukar yang lebih rendah, harga barang ekspor dalam mata uang asing menjadi lebih murah, sehingga lebih diminati oleh pasar luar negeri.
Selain itu, keuntungan dari ekspor juga meningkat, yang pada akhirnya dapat mendongkrak penerimaan pajak negara dari sektor ekspor.
“Yang pertama untuk membantu ekspor kita biar tetap mendapatkan keuntungan yang besar, dapat pajak yang besar juga dari ekspor,” ujarnya.
Kedua, yakni menarik Investasi Asing. Dengan nilai tukar rupiah yang lebih lemah, biaya investasi di Indonesia menjadi lebih murah bagi investor asing. Harga saham, suku bunga, serta biaya tenaga kerja dalam denominasi dolar menjadi lebih menarik, mendorong arus masuk investasi langsung ke Indonesia.
“Semakin lemah mata uang kita, semakin murah, maka investasi di Indonesia semakin murah. Harga saham semakin murah, harga suku bunga semakin murah, harga susunan hutang semakin murah gitu,” tutur dia.
Ketiga, menyesuaikan dengan Kebijakan Global. Lantaran banyak negara di dunia, terutama negara berkembang, mengalami pelemahan mata uang akibat kebijakan moneter ketat dari Amerika Serikat. Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi di Amerika, sehingga banyak investor menarik dananya dari negara berkembang dan kembali ke aset berbasis dolar yang dianggap lebih aman.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3337099/original/045821000_1609328706-20201230-Rupiah-Ditutup-Menguat-8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)