PIKIRAN RAKYAT – Kurs rupiah resmi menembus titik psikologis yang selama ini menjadi kekhawatiran banyak pihak, Rp17.000 per dolar AS. Level itu terpantau dalam perdagangan DNDF di pasar valas pada Jumat 4 April 2025 malam.
Angka ini merupakan yang terburuk dalam beberapa tahun terakhir, memicu kekhawatiran publik dan pasar finansial.
Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang patut bertanggung jawab? Dan yang terpenting, adakah jalan keluar?
Faktor Global: Data Kuat AS dan Kebijakan The Fed
Menurut analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, pelemahan rupiah kali ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
“Banyak data fundamental yang memengaruhi pelemahan mata uang rupiah. Salah satunya adalah rilis data tenaga kerja di Amerika Serikat. Datanya di luar ekspektasi, lebih baik dibandingkan dengan data sebelumnya,” tuturnya, abtu 5 April 2025.
Kabar ini disusul oleh pernyataan dari Federal Reserve (The Fed) yang menegaskan belum saatnya menurunkan suku bunga.
Mereka menyebut inflasi masih tinggi dan risiko ekonomi global belum mereda, terutama akibat perang dagang yang semakin memburuk. Akibatnya, indeks dolar AS menguat secara signifikan, sementara mata uang negara berkembang seperti rupiah terkena imbasnya.
Perang Dagang yang Membakar Ekonomi Dunia
Kondisi kian pelik akibat keputusan Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor terhadap puluhan negara—termasuk Indonesia. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan kenaikan tarif sebesar 32% untuk produk Indonesia.
Negara Asia Tenggara lainnya pun turut terkena: Malaysia (24%), Kamboja (49%), Vietnam (46%), dan Thailand (36%).
“Seharusnya Indonesia melawan,” ucap Ibrahim Assuaibi.
Dia menilai, pemerintah terlalu lunak dan lebih memilih bernegosiasi ketimbang mengenakan tarif balasan.
“Kita bisa kenakan tarif balasan hingga 32 persen terhadap produk-produk dari AS,” ujar Ibrahim Assuaibi.
Ketegangan Geopolitik: Dari Gaza hingga Ukraina
Tidak berhenti sampai di situ, ketegangan global juga berperan memperparah kondisi rupiah. Serangan Israel ke Gaza yang tak kunjung reda serta kembali memanasnya konflik Rusia-Ukraina menciptakan ketidakpastian besar di pasar global.
“Meski Bank Indonesia melakukan triple intervention di pasar, kemungkinan dampaknya tidak akan signifikan. Saya perkirakan, rupiah bisa tembus Rp17.050 saat pasar dibuka Senin nanti,” kata Ibrahim Assuaibi.
Upaya Bank Indonesia: Triple Intervention Di Tengah Libur Panjang
Bank Indonesia (BI) mengonfirmasi bahwa mereka sedang melakukan “triple intervention” untuk menahan laju depresiasi rupiah. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyebut intervensi dilakukan melalui tiga saluran: pasar spot valuta asing, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pasar sekunder Surat Berharga Negara (SBN).
“BI terus memonitor perkembangan pasar keuangan global dan domestik pasca pengumuman kebijakan tarif Trump yang baru,” tuturnya.
Namun, BI juga menyampaikan bahwa selama masa libur Idul Fitri dan Hari Suci Nyepi, kegiatan operasi moneter ditiadakan sementara dan akan kembali normal pada 8 April 2025.
Prabowo dan Strategi Jangka Panjang: Harapan di Tengah Keterpurukan?
Di sisi lain, Pemerintah melalui Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto sedang menjalankan strategi besar untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.
“Presiden Prabowo, sebagai ‘Strategist in Chief,’ terus membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik,” kata Deputi PCO, Noudhy Valdryno.
Beberapa strategi yang disoroti antara lain:
Penguatan demokrasi dan supremasi sipil melalui UU TNI yang baru Modernisasi pertahanan negara Kemandirian pangan dan energi seperti pembangunan food estate dan kilang minyak Penciptaan lapangan kerja dan penguatan ekonomi rakyat, salah satunya melalui program makan bergizi gratis (MBG) Peningkatan kualitas SDM lewat Sekolah Rakyat, smart board, dan cek kesehatan gratis Akselerasi hilirisasi dan industrialisasi melalui BPI Danantara Pembangunan ekonomi desa Pemberantasan korupsi dengan mendukung penegakan hukum yang kuat
Pelemahan rupiah bukan hanya akibat satu faktor tunggal. Ini adalah gabungan dari dinamika global, kebijakan luar negeri negara adidaya, konflik geopolitik, dan bagaimana Indonesia menyikapi semua itu.
Langkah-langkah strategis jangka panjang memang penting. Namun, dibutuhkan pula respons jangka pendek yang tangkas dan tegas untuk menjaga kepercayaan pasar dan daya beli masyarakat.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News