Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri perbankan merespons keputusan Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate di level 4,75%.
Mereka menilai ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) ke depan mulai terbatas, seiring meningkatnya ketidakpastian global dan potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah menjelang akhir tahun.
Direktur Utama KB Bank Kurnady Darma Lie mengatakan, meski kebijakan penurunan suku bunga BI sebesar 150 basis poin sepanjang tahun ini diharapkan memberi dorongan tambahan bagi pemulihan ekonomi, dampaknya terhadap pertumbuhan masih memerlukan waktu.
Menurutnya, transmisi kebijakan moneter memiliki jeda waktu alias lagging, sehingga efek terhadap pertumbuhan tahun ini kemungkinan masih terbatas dan baru akan terasa lebih nyata pada 2026.
“Ruang penurunan suku bunga tambahan diperkirakan mulai terbatas, mengingat dinamika eksternal seperti ketidakpastian arah kebijakan The Fed dan potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah di akhir tahun,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (23/10/2025).
Kurnady menambahkan, dengan inflasi domestik yang masih terkendali, BI memang masih memiliki ruang untuk mempertahankan kebijakan propertumbuhan.
Namun langkah ke depan kemungkinan akan bergeser ke arah policy calibration, guna menyeimbangkan stabilitas makroekonomi dengan dorongan terhadap pertumbuhan.
Perbankan Masih Hati-hati
Senada, Direktur Risiko, Kepatuhan, dan Hukum Allo Bank Ganda Raharja Rusli menyebutkan bahwa BI kemungkinan akan berhati-hati dalam melanjutkan penurunan suku bunga acuan.
Dia menilai, menjaga selisih antara BI rate dan suku bunga acuan Amerika Serikat (Fed rate) menjadi kunci untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
“Para analis memperkirakan Fed rate masih bisa turun dua kali lagi sampai akhir 2025, total 50 basis poin. BI rate bisa saja mengikuti, namun kemungkinan lebih sedikit, untuk menjaga gap BI rate dan Fed rate, mengingat perlunya menjaga stabilitas rupiah di akhir tahun,” tuturnya.
Sementara itu, Corporate Secretary Bank Mandiri M. Ashidiq Iswara menilai keputusan BI untuk menahan BI rate di level 4,75% pada Oktober 2025 merupakan langkah yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Dia menambahkan, penguatan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) juga dapat memperkuat transmisi likuiditas ke sektor keuangan dan perekonomian riil.
“Fokus kami tetap pada penyaluran pembiayaan sektor-sektor produktif dan strategis dengan prinsip kehati-hatian,” katanya.
Adapun, BI mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 4,75%. Keputusan mempertahankan suku bunga itu masih melanjutkan tren pelonggaran kebijakan moneter akomodatif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan bahwa keputusan untuk mempertahankan suku bunga itu ditetapkan dengan memperhatikan sejumlah indikator perekonomian baik global maupun domestik, termasuk perkembangan kredit di sektor perbankan.
“Keputusan ini konsisten dengan perkiraan inflasi 2025-2026,” ujar Perry, Rabu (22/10/2025).
Sejalan dengan itu, bank sentral juga tetap mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar basis poin (bps) ke level 3,75% dan suku bunga Lending Facility 5,5%.
Perry mengatakan keputusan suku bunga ini sejalan dengan perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang rendah, serta tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% dan upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian global, serta memperkuat pertumbuhan ekonomi.
“Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi dengan tetap mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah,” jelasnya.
Keputusan BI itu kembali di luar ekspektasi pasar. Pasalnya, sebelumnya konsensus ekonom yang dihimpun memproyeksikan Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuan alias BI Rate ke level 4,50% dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Rabu (22/10/2025).
