TRIBUNNEWS.COM – Mahkamah Agung Israel telah mengambil langkah yang signifikan dengan mengeluarkan perintah untuk mencegah pemecatan Kepala Dinas Keamanan Israel, Ronen Bar.
Pemecatan Bar sebelumnya disetujui oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada 2 Maret 2025, sebagai akibat dari kegagalan intelijen dalam merespons serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober 2023.
Dalam surat yang dikirim oleh Netanyahu kepada anggota kabinet sebelum pemungutan suara, ia menekankan bahwa hilangnya kepercayaan, baik profesional maupun pribadi, antara dirinya dan Bar telah semakin memburuk sejak perang dimulai.
Mengapa Mahkamah Agung Mengintervensi?
Pada 21 Maret 2025, Mahkamah Agung membekukan pemecatan tersebut hingga sidang lebih lanjut dapat dilakukan, yang dijadwalkan paling lambat 8 April.
Ini menunjukkan bahwa proses hukum seputar pemecatan Bar akan terus diperiksa secara mendalam.
Ronen Bar telah menjabat sebagai Kepala Shin Bet sejak Oktober 2021 dengan masa jabatan lima tahun.
Jika pemecatan tersebut benar-benar berlangsung, ini akan menjadi yang pertama dalam sejarah Israel, di mana seorang Kepala Shin Bet diberhentikan oleh pemerintah sebelum masa jabatannya berakhir.
Apa Tanggapan dari Masyarakat dan Oposisi?
Keputusan Netanyahu untuk memecat Bar menuai protes luas di seluruh Israel, dengan ribuan warga turun ke jalan untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka.
Demonstrasi tersebut tidak hanya bertujuan menentang pemecatan Bar, tetapi juga mengkritik kebijakan perang Netanyahu terhadap Gaza.
Bar sendiri menilai bahwa pemecatan dirinya berlandaskan motivasi politik, dan ia tidak menghadiri pemungutan suara kabinet.
Dalam surat yang dikirimkan, Bar menegaskan bahwa keputusan tersebut dipengaruhi oleh konflik kepentingan, karena Shin Bet sedang menyelidiki kantor perdana menteri atas dugaan keterlibatan Qatar dalam pengambilan keputusan Israel.
Apa Pendapat Jaksa Agung dan Oposisi?
Jaksa Agung Gali Baharav-Miara juga memberikan pendapatnya, menegaskan bahwa Bar tidak dapat diberhentikan hingga legalitas tindakan tersebut dievaluasi.
Sementara itu, Gerakan untuk Pemerintahan Berkualitas di Israel, sebuah LSM yang berjuang untuk transparansi dan tata kelola yang baik, telah mengajukan banding terhadap keputusan Netanyahu, menyatakan bahwa pemecatan Bar merupakan keputusan ilegal yang dapat membahayakan keamanan nasional.
Partai oposisi Yesh Atid yang dipimpin oleh Yair Lapid mengecam pemecatan tersebut, menekankan bahwa langkah itu diambil dengan adanya konflik kepentingan yang jelas.
Bagaimana Situasi di Gaza dan Dampaknya di Israel?
Ketegangan politik di Israel terjadi dalam konteks eskalasi perang di Gaza.
Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 telah menyebabkan kematian sekitar 1.200 orang dan penculikan 251 sandera.
Dalam responsnya, Israel melancarkan operasi militer besar-besaran, yang menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, telah mengakibatkan lebih dari 48.500 warga Palestina tewas.
Setelah periode gencatan senjata yang berlangsung beberapa bulan, serangan udara Israel kembali dilanjutkan, dengan lebih dari 400 korban jiwa pada malam pertama pengeboman.
Ketidakpuasan di kalangan rakyat Israel semakin meningkat, dengan banyak yang menuntut diakhirinya perang dan mengkritik langkah Netanyahu yang memecat Bar.
Hamas dan Israel masih terjebak dalam jalan buntu dalam negosiasi untuk memperpanjang gencatan senjata.
Meskipun Hamas menawarkan pembebasan seorang sandera Amerika dan empat jenazah sebagai imbalan, Israel tetap memperketat blokade terhadap Gaza sejak awal Maret, menghentikan seluruh pasokan makanan, bahan bakar, dan medis ke wilayah tersebut untuk menekan Hamas.
Dengan situasi yang semakin memanas baik di lapangan maupun di politik, ketidakpastian di Israel dan Gaza tampaknya akan terus berlanjut.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).