Riset Binus: Kebijakan Hilirisasi Indonesia Jadi Inspirasi Negara-negara Asia dan Afrika
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Kebijakan
hilirisasi
pertambangan mineral yang diterapkan Indonesia kini menjadi contoh yang menginspirasi sejumlah negara berkembang di Asia dan Afrika.
Penelitian berjudul “Analisis Mahadata Kebijakan
Hilirisasi
: Strategi dan Diplomasi Indonesia Menghadapi Dinamika Global” yang dilakukan oleh
Binus University
mengungkapkan bahwa keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alamnya mendorong negara-negara lain untuk mengadopsi kebijakan serupa.
Salah satu anggota tim peneliti Binus University Dr Edy Irwansyah menjelaskan bahwa hilirisasi Indonesia tidak hanya berhasil meningkatkan perekonomian nasional, tetapi juga menciptakan model kebijakan yang relevan secara global.
“Indonesia telah menunjukkan bahwa melalui hilirisasi, bahan tambang seperti nikel, tembaga, dan kobalt dapat diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi yang lebih kompetitif di pasar internasional. (Keberhasilan) ini menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk memaksimalkan potensi
sumber daya alam
(SDA) mereka,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (28/12/2024).
Penelitian itu juga mencatat bahwa kebijakan hilirisasi Indonesia telah mendorong negara-negara seperti Filipina yang juga merupakan salah satu pemasok utama nikel di dunia untuk menerapkan kebijakan serupa.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan Indonesia dalam mendorong pengolahan domestik dapat menjadi acuan kebijakan ekonomi bagi negara-negara lain di Asia dan Afrika yang kaya akan sumber daya alam.
“Hilirisasi di Indonesia juga dinilai berhasil menarik investasi asing dan memperkuat posisi negara dalam rantai pasok global. Produk berbasis nikel, seperti bahan baku baterai litium dan
stainless steel
, memberikan nilai ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan bahan mentah,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Lecturer Specialist di Binus University.
Upaya tersebut juga mendorong diversifikasi ekonomi, memperkuat sektor manufaktur, dan menciptakan lapangan kerja baru di wilayah penghasil tambang, seperti Sulawesi dan Maluku.
Meski demikian, penelitian tersebut juga mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penerapan kebijakan hilirisasi.
Salah satu anggota tim peneliti lainnya, Dr Ahmad Sofyan mencatat bahwa salah satu tantangan utama adalah konflik perdagangan internasional, seperti gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor nikel mentah.
Konflik tersebut, kata dia, menunjukkan adanya ketegangan antara upaya proteksionisme domestik untuk pembangunan industri nasional dengan aturan perdagangan bebas global.
“Perselisihan ini menuntut Indonesia untuk memadukan strategi hilirisasi dengan pendekatan diplomasi ekonomi yang konstruktif. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat menimbulkan negatif pada hubungan perdagangan internasional,” jelas Ahmad.
Selain tantangan perdagangan,
isu lingkungan
juga menjadi perhatian penting dalam kebijakan hilirisasi.
Proses pengolahan logam berat seperti nikel dan tembaga berisiko menghasilkan limbah berbahaya yang dapat mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan teknologi yang memadai.
Peningkatan eksploitasi tambang juga berpotensi mempercepat deforestasi dan degradasi lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang kuat dan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan.
Riset tersebut menegaskan bahwa hilirisasi merupakan langkah strategis yang mampu mengubah peran Indonesia dari sekadar eksportir bahan mentah menjadi pusat manufaktur global.
Namun, keberhasilan jangka panjang kebijakan tersebut bergantung pada keberlanjutan, regulasi yang inklusif, dan pengelolaan yang cermat.
“Indonesia telah menjadi model bagi banyak negara berkembang, tetapi kebijakan ini harus terus dievaluasi untuk memastikan keberlanjutan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan pemerataan manfaat bagi masyarakat,” jelas Edy.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.