Ridwan Kamil dan Retaknya Pesona Politik Pencitraan
Praktisi Humas/Manajer Eksekutif PR Politik Indonesia
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DALAM
politik modern, pengelolaan citra telah menjadi bagian penting dari strategi komunikasi seorang politisi.
Ia tidak hanya menyangkut bagaimana seorang tokoh hadir di ruang publik, tetapi juga cara membangun kedekatan emosional, menumbuhkan rasa percaya, dan membentuk harapan kolektif di benak masyarakat.
Di era media sosial, proses ini berlangsung jauh lebih intens. Publik tidak hanya mengenal kebijakan seorang politisi, tetapi juga kepribadian, gaya berkomunikasi, hingga potongan kehidupan pribadinya.
Namun, praktik politik belakangan menunjukkan satu paradoks. Citra yang dibangun terlalu sempurna justru paling rapuh ketika realitas menyimpang.
Di ruang digital yang bergerak cepat, satu celah kecil saja bisa meruntuhkan reputasi yang selama ini dibangun.
Ketika jarak antara persona yang dikonstruksi selama bertahun-tahun dan kenyataan yang terungkap kian melebar, kekaguman dapat berubah menjadi kekecewaan dalam sekejap.
Fenomena ini tampak dalam cara publik memaknai perjalanan politik
Ridwan Kamil
.
Jauh sebelum menjabat Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil telah dikenal sebagai figur yang mahir mengelola citra di media sosial. Ia menampilkan diri sebagai pemimpin yang humanis, kreatif, religius moderat, dekat dengan anak muda, sekaligus komunikatif.
Ketika menjabat sebagai gubernur Jawa Barat, pola komunikasi itu tidak berubah, bahkan semakin intens.
Akun instagramnya
@ridwankamil
berfungsi sebagai etalase kerja sekaligus ruang personal: dari agenda pemerintahan hingga kisah rumah tangga bersama sang istri, Atalia Praratya, yang juga dikenal netizen dengan nama ”Bu Cinta”, secara rutin dibagikan melalui feed akun tersebut.
Narasi keluarga harmonis dan relasi yang setara menjadikan mereka dijuluki
couple goals.
Sosok pemimpin tidak lagi hadir sebagai figur birokratis yang berjarak secara sosial, melainkan sebagai pribadi yang terasa dekat dan “ideal”.
Citra keluarga sempurna dan pemimpin yang manusiawi menjadi bagian penting dari daya tariknya. Dalam bahasa komunikasi politik, hal ini sering disebut sebagai
political branding.
Political branding
merujuk pada upaya sistematis membangun identitas politik melalui simbol, narasi, dan emosi yang konsisten, sehingga publik tidak hanya mengenal kebijakan seorang pemimpin, tetapi juga merasa dekat secara personal dengan sosoknya.
Dalam konteks ini, kehidupan keluarga, gaya komunikasi, dan cerita keseharian bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari strategi membangun kepercayaan dan legitimasi politik.
Needham, dalam artikelnya “Brand Leaders: Conservative Politics in the UK” (
Journal of Political Marketing
, 2005), menganalogikan politisi modern sebagai merek yang membutuhkan identitas jelas, nilai-nilai inti, serta konsistensi simbolik dan naratif untuk membangun kepercayaan publik.
Dalam kerangka ini, keberhasilan merek politik bergantung pada kemampuannya menjaga kejelasan pesan, diferensiasi, relevansi, dan daya emosional di mata publik.
Gagasan tersebut kemudian dipertegas oleh Scammell (2015), yang melihat politisi sebagai personal brand yang dibangun melalui simbol, nilai, dan narasi emosional, seiring dengan menguatnya personalisasi politik di era media dan budaya populer.
Media sosial mempercepat proses ini karena memungkinkan relasi yang terus-menerus, intim, dan personal antara pemimpin dan rakyat.
Akibatnya, dukungan politik sering kali tumbuh bukan hanya dari kinerja kebijakan, tetapi dari rasa kedekatan dengan persona sang pemimpin.
Pada titik ini, ekspektasi publik melihat Ridwan Kamil tidak hanya sebagai pejabat publik, tetapi sebagai simbol figur ideal yang cerdas, bersih, dan terasa dekat dengan masyarakat.
Namun, masalah muncul ketika realitas sosial dan politik menghadirkan cerita yang tidak sejalan dengan citra yang dibangun.
Pasca-Pilkada Jakarta 2024, berbagai isu personal mencuat, mulai dari dugaan korupsi, isu perselingkuhan, hingga gugatan cerai dari sang istri.
Rangkaian persoalan ini menjadi tekanan berlapis yang mengguncang citra dan prospek politik yang telah ia bangun selama lebih dari satu dekade.
Dalam komunikasi publik, yang berpengaruh bukan sekadar fakta, tetapi juga makna di baliknya.
Ketika seorang tokoh yang selama ini dianggap sebagai panutan diguncang isu personal, yang terguncang bukan cuma namanya, tetapi juga kepercayaan publik yang selama ini membuatnya dihormati dan dipercaya.
Ketika skandal personal menghantam secara emosional, publik merasa dikhianati pada tingkat yang paling mendasar oleh sosok yang selama ini mereka percaya dan kagumi.
Fenomena ini tidak bisa dibaca semata sebagai kegagalan individu. Ia mencerminkan persoalan yang lebih luas dalam komunikasi politik modern, yakni politik yang terlalu bertumpu pada persona.
Akibatnya, publik belajar mencintai atau membenci politik melalui sosok, bukan melalui kinerja nyata. Ketika sosok itu terguncang, kepercayaan pun ikut runtuh. Demokrasi menjadi semakin emosional dan rapuh.
Dalam kasus Ridwan Kamil, kekecewaan publik menunjukkan betapa tingginya harapan yang pernah dilekatkan padanya.
Ia tidak hanya dinilai dari kinerjanya sebagai pejabat, tetapi juga dari integritas pribadinya. Ketika keduanya dianggap tidak lagi sejalan, citra dan kepercayaan publik padanya ikut tergerus.
Media sosial menciptakan ilusi kedekatan. Warga merasa mengenal pemimpinnya, padahal yang mereka lihat adalah cerita yang telah dikurasi.
Ketika realitas menghadirkan versi berbeda, yang muncul adalah kebingungan dan keguncangan tentang siapa sebenarnya sosok yang selama ini mereka kagumi.
Erving Goffman (1959) dalam teorinya tentang dramaturgi sosial memberikan kerangka untuk memahami fenomena ini. Ia menyebut kehidupan sosial sebagai panggung tempat individu mengelola kesan di hadapan audiens.
Di ‘panggung depan’ (
front stage
), politisi menampilkan versi diri yang ingin dilihat publik, sementara di ‘panggung belakang’ (
back stage
) mereka menyimpan sisi-sisi yang lebih pribadi dan tidak selalu rapi.
Media sosial membuat panggung depan itu nyaris tanpa henti. Dalam situasi seperti ini, ketika realitas pribadi tidak sejalan dengan citra yang dipertontonkan, publik mudah memaknainya sebagai bentuk kebohongan atau bahkan pengkhianatan terhadap kepercayaan.
Peristiwa yang dialami Ridwan Kamil mengingatkan kita pada batas daya tahan politik
pencitraan
.
Di era media sosial, membangun persona memang cepat dan murah. Citra bisa dirangkai dari unggahan, visual yang rapi, dan narasi yang menyentuh emosi.
Namun mempertahankan kepercayaan publik menuntut sesuatu yang jauh lebih mahal dan sulit, yaitu integritas, konsistensi, serta kejujuran dan kinerja nyata.
Persoalan utamanya bukan semata pada satu figur, melainkan pada cara politik kita semakin dipersempit menjadi urusan siapa yang paling disukai, paling relatable, atau paling layak diidolakan.
Ketika demokrasi digerakkan oleh pesona personal, bukan oleh kinerja dan akuntabilitas, ia menjadi rapuh. Kepercayaan publik mudah naik, tetapi juga mudah runtuh.
Bagi politisi, ini berarti media sosial seharusnya tidak diperlakukan hanya sebagai panggung estetika diri, melainkan sebagai ruang keterbukaan, dialog kebijakan, dan pertanggungjawaban.
Kedekatan dengan warga seharusnya dibangun melalui kejujuran dan kerja nyata, bukan sekadar lewat citra yang dikurasi.
Bagi publik, pelajaran yang tak kalah penting adalah keluar dari politik pengidolaan menuju politik penilaian yang lebih rasional. Pemimpin perlu dilihat sebagai pejabat yang harus diawasi, bukan sebagai figur sempurna yang harus diidolakan.
Demokrasi tidak bisa hidup dari pesona. Ia membutuhkan jarak kritis, baik dari warga kepada pemimpin, maupun dari pemimpin kepada dirinya sendiri.
Politik seharusnya tidak lagi bertumpu pada figur yang tampak ideal, melainkan pada sistem yang bisa diuji dan dikoreksi. Dari situlah kepercayaan publik dapat tumbuh lebih sehat dan bertahan lama.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Ridwan Kamil dan Retaknya Pesona Politik Pencitraan
/data/photo/2025/12/26/694deb271b489.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)