Jakarta –
Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sebuah keniscayaan di era digital seperti saat ini. Namun tak sedikit yang mengalami kesulitan mengadopsi AI dan cara mengatasi tantangan ke depannya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Searce, perusahaan konsultan teknologi, mengungkapkan adopsi AI memberikan peluang utama untuk mendorong pertumbuhan bisnis dan return of investment (ROI) jangka panjang.
“Untuk benar-benar mendapatkan peningkatan ROI yang pasti, organisasi sebaiknya perlu melakukan pendekatan yang berpusat pada hasil yang didukung oleh tata kelola yang tepat, kerangka kerja yang terukur, dan proses manajemen yang berkesinambungan. Hal ini memungkinkan tujuan bisnis dibangun sejak awal dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan menghasilkan manfaat akhir yang signifikan,” ujar Country Director Searce Indonesia, Benedikta Satya di Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Keberhasilan inisiatif AI
Tingkat keberhasilan inisiatif AI masih sering kali tidak sepenuhnya optimal, hanya 51% responden yang mengatakan bahwa inisiatif AI mereka “sangat berhasil”, dan 42% mengatakan bahwa inisiatif tersebut “agak berhasil”. Selain itu, hanya 61% responden yang mengatakan bahwa mereka “sangat setuju” bahwa organisasi mereka memandang AI sebagai prioritas utama.
Terlepas dari masalah ROI, seperempat responden berpendapat bahwa organisasi mereka akan meningkatkan investasi di bidang AI hingga lebih dari 50% pada tahun 2024 dan tahun-tahun mendatang dan hanya 8% responden mengatakan bahwa mereka akan meningkatkan investasi hingga 100% atau lebih.
Ketika ditanya berapa banyak pendapatan organisasi mereka yang dialokasikan untuk inisiatif AI pada tahun 2024, seperempat responden mengatakan bahwa organisasi mereka akan membelanjakan antara $11-25 juta, dengan 7% tambahan mengatakan bahwa organisasi mereka akan membelanjakan lebih dari $25 juta pendapatan untuk inisiatif AI tahun ini.
Privasi Data
Penelitian tahun ini juga melihat hambatan-hambatan utama bagi organisasi yang ingin mengadopsi AI. Ada tiga hambatan terbesar yang disebutkan oleh responden, yaitu privasi data (45%) diikuti oleh penggunaan teknologi lama (40%) serta kurangnya sumber daya yang berkualitas (40%).
“Untuk mendapatkan kesuksesan implementasi AI, sebuah organisasi harus terlebih dahulu mengidentifikasi dan memitigasi keterbatasan yang ada sehingga mereka dapat memiliki jalur adopsi yang paling optimal,” kata Bene.
Disampaikannya, tantangan dalam setiap bisnis tentunya berbeda dan penting bagi sebuah organisasi untuk menemukan mitra yang dapat membantu mereka mengidentifikasi dan memberikan konsultasi untuk berinovasi.
“Apakah itu berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan untuk mengurangi kekhawatiran seputar privasi data atau mengusulkan solusi kreatif untuk masalah teknologi sebelumnya. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mengetahui inti permasalahan terbesar yang mereka hadapi,” jelasnya.
GenAI
GenAI tetap menjadi inisiatif utama bagi organisasi saat ini dengan 70% responden mengatakan bahwa mereka memiliki setidaknya tiga proyek bisnis yang menggunakan GenAI dalam produksi.
Dari temuan laporan ini ketika ditanya kepada responden untuk area bisnis apa saja organisasi mereka menggunakan GenAI jawabannya adalah untuk mendukung layanan pelanggan (68%), penelitian internal (60%) dan pembuatan konten (53%).
Dampak Solusi AI
Hampir dua pertiga (63%) organisasi mengatakan bahwa mereka telah melakukan pembelian solusi yang sudah ada di pasar untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan akan teknologi AI, dibandingkan membangunnya secara internal.
Selain itu, 54% mengatakan bahwa mereka telah membeli solusi yang telah tersedia di pasar namun juga bermitra dengan pihak lain untuk layanan yang terkait dengan solusi tersebut. Sementara, hanya 9% yang mengatakan bahwa mereka telah membeli solusi yang tersedia namun tetap mengandalkan sumber daya internal mereka untuk menjalankan bisnis.
Laporan State of AI 2024 ini dilakukan dengan melakukan survei terhadap 300 eksekutif teknologi senior dan C-suite, termasuk Chief AI Officer, Chief Data & Analytics Officer, Chief Transformation Officer, dan Chief Digital Officer dari berbagai organisasi perusahaan global di Amerika Serikat dan Inggris yang memiliki pendapatan setidaknya USD 500 juta.
Kendati demikian, Bene menyebutkan adopsi AI di kedua negara maju itu bisa menjadi acuan bagi Indonesia dalam mengimplementasikan teknologi terbaru tersebut.
“Adopsi AI di Indonesia terus menunjukkan peningkatan, sekaligus mencerminkan keyakinan yang tumbuh dalam teknologi ini untuk mendorong inovasi dan efisiensi bisnis. Namun, banyak juga organisasi masih mengalami kesulitan mengadopsi AI dengan cara yang relevan untuk mencapai hasil bisnis yang maksimal,” pungkasnya
(agt/fyk)