Jakarta –
Pemerintah Indonesia berencana mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi pada tahun ini disertai klaim bahwa Arab Saudi membuka kuota untuk 600.000 pekerja Indonesia dengan jaminan gaji lebih dari Rp6,5 juta untuk setiap pekerja.
Melalui pencabutan moratorium ini, pemerintah Indonesia bisa meraup Rp31 triliun dari remitensi. Namun, pegiat pekerja migran menyebut masih banyak masalah terjadi di lapangan saat uji coba dan belum ada upaya evaluasi yang melibatkan pekerja dan organisasi pekerja migran.
Pemerintah berencana mengirimkan pekerja migran ke Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, pada tahun ini. Rencana ini akan mengakhiri moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia ke Timur Tengah yang telah berlangsung sejak 2015.
“Insya Allah dalam waktu dekat ini penandatanganan MoU akan dilakukan pada 20 Maret 2025,” kata Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding, seperti dikutip kantor berita Antara.
“Kami sudah melakukan perundingan dengan Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi,” kata Karding dalam konferensi pers pada Jumat (14/03) lalu setelah dia melaporkan rencana ini kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dia mengeklaim Presiden Prabowo menyambut baik rencana ini.
Jika semua berlangsung dengan lancar, kata Abdul Kadir Karding, pengiriman pekerja migran Indonesia akan dimulai pada Juni mendatang.
Gaji pekerja meningkat dan bisa umrah, negara dapat devisa
“Di bawah raja baru, perlindungan mereka lebih baik. Lebih maju. Mereka, misalkan, menjamin gaji di angka 1500 riyal. Ada perlindungan dalam konteks asuransi kesehatan, jiwa, dan ketenagakerjaan,” kata Karding. Jumlah 1.500 riyal setara dengan Rp6.538.500.
“Yang menarik lagi setiap selesai kontrak dua tahun, untuk orang Indonesia dikasi bonus sekali umrah,” sambungnya.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
Selama ini pekerja domestik asal Indonesia dibayar sekitar 1.200 riyal, kata Roland Kamal dari Serikat Buruh Migran Indonesia di Jeddah. “Negara lain seperti Filipina itu 1.500 riyal,”
Apabila pemerintah memanfaatkan kuota tersebut secara penuh, yang yang masuk dari remiten (pengiriman uang dari buruh migran ke dalam negeri) juga tidak sedikit.
“Devisa yang kemungkinan masuk dari situ Rp31 triliun,” ungkap Karding.
Terlepas dari prospek devisa puluhan triliun rupiah, apa saja yang harus dilakukan jika pemerintah ingin mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Saudi?
Apa konsekuensinya jika hal-hal yang menyebabkan timbulnya moratorium belum diatasi?
Mengapa ada moratorium pengiriman tenaga kerja migran ke Timur Tengah pada 2015?
Moratorium tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Keputusan ini keluar setelah berbagai kasus kekerasan, pelecehan, kondisi kerja, dan masalah gaji yang buruk dan tidak manusiawi mengemuka.
Beberapa kasus hukuman mati terhadap pekerja migran Indonesia di Arab Saudi menjadi pemicu desakan publik yang kuat bagi pemerintah untuk mengambil tindakan moratorium.
Pada 1999, Siti Zainab binti Duhri Rupa asal Bangkalan Madura dituduh membunuh majikannya. Pengadilan menjatuhkan vonis hukuman mati pada 2001 dan dia dieksekusi pada 2015.
Pada 2012, Karni binti Medi Tarsim, asal Brebes Jawa Tengah divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan anak majikannya. Eksekusi mati dilakukan pada 2015.
Pada 2018, pemerintah Arab Saudi mengeksekusi hukuman mati buruh migran Indonesia, Tuti Tursilawati. Eksekusi dilakukan tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah Indonesia. Tuti didakwa membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utibi.
Dari penjelasan yang diterima pihak keluarga, Tuti membunuh majikannya sebagai upaya pembelaan diri. Sebab, Tuti dilaporkan sering menerima tindakan kekerasan, termasuk ancaman pemerkosaan.
Berdasarkan catatan Migrant Care, pemerintah Arab Saudi sudah mengeksekusi tiga buruh migran lainnya tanpa pemberitahuan ke pemerintah Indonesia.
Yanti Irianti, buruh migran asal Cianjur, Jawa Barat, dihukum mati pada medio Januari 2018.
Pada Maret 2018, buruh migran asal Jawa Timur bernama Muhammad Zaini Misrin dieksekusi mati di Arab Saudi. Zaini diadili karena dituduh membunuh majikannya pada 2004.
Pada medio Juni 2011, Ruyati, buruh migran asal Sukatani, Bekasi juga dieksekusi. Dalam persidangan, Ruyati mengaku membunuh karena sering menerima perlakuan tidak menyenangkan dari majikannya.
Apa saja yang harus dilakukan jika pemerintah ingin mencabut moratorium?
Timbulnya kasus-kasus eksekusi mati terhadap pekerja migran Indonesia sangat terkait dengan penanganan di hulu, kata sejumlah pegiat.
Savitri Wisnu Wardhani dari Jaringan Buruh Migran mengatakan pemerintah seharusnya sudah hadir sebelum perekrutan dilakukan.
Dia menuding pemerintah tidak serius menerapkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).
“Implementasinya tidak dilakukan, khususnya di tingkat kabupaten dan desa. [Seharusnya disediakan] informasi, access to justice, pembiayaan, hal-hal yang menyangkut jaminan sosial, itu yang harus didahulukan. Seharusnya di hulu, di tingkat kabupaten dan desa, diperbaiki benar-benar,” cetusnya.
UU PPMI disahkan pada 2017 untuk memberikan jaminan hak, kesempatan, dan perlindungan bagi setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak di dalam dan luar negeri tanpa diskriminasi. UU ini mencakup perlindungan, sanksi, dan tata kelola terkait pekerja migran.
Pendapat senada juga disampaikan Roland Kamal dari Serikat Buruh Migran Indonesia di Jeddah.
“[Perbaikan harus] dari hulunya. Bagaimana calon tenaga kerja kita yang akan dikirim secara trial atau secara uji coba itu betul-betul direkrut secara prosedural,” kata Roland.
Di hulu juga harus ada pemaparan informasi secara jelas kepada calon tenaga kerja. “Mereka dikasih pembekalan bahwa inilah gambaran di lapangan,” sambungnya.
Proses pembekalan keterampilan juga penting untuk memastikan kualitas pekerja migran.
Hal lainnya yang penting adalah tes psikologis untuk para pekerja migran, kata Roland.
Bagaimana dengan sistem data pekerja migran?
Data pekerja migran ke Arab Saudi juga perlu dibenahi sehingga perlindungan bisa diterapkan dengan tepat.
Pada 2022, pemerintah meluncurkan aplikasi bernama Sistem Komputerisasi untuk Pelayanan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (SISKOP2MI) untuk orang-orang yang berminat untuk jadi pekerja migran.
Sistem ini dikembangkan oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang bertransformasi menjadi Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.
Sistem ini mengintegrasikan akses ke lowongan kerja, pendaftaran dan seleksi, hingga perlindungan untuk calon pekerja migran.
Aktivis buruh migran berunjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, 20 Maret 2018, memprotes pelaksanaan hukuman pancung terhadap Muhammad Zaini Misrin Arsyad (53) yang bekerja di Saudi (Getty Images)
Sistem ini, menurut Menteri Abdul Kadir Karding, akan diintegrasikan dengan layanan Musaned yang mempertemukan para pencari pekerja dengan perusahaan atau individu yang membutuhkan pekerja.
Abdul Kadir Karding menyebut ada 25.000 pekerja migran setiap tahunnya yang masuk secara tidak prosedural ke Arab Saudi setelah moratorium diberlakukan pada 2015.
Untuk mencegah hal itu, menurut Karding, perbaikan tata kelola secara umum integrasi data telah dilakukan.
“Majikan yang mau ambil pekerja harus daftar di Musaned. Mereka harus punya deposit untuk gaji,” ujar Karding.
Pemerintah Arab Saudi meluncurkan platform Musaned di bawah Kementerian Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Sosial pada 2016.
“Jadi [buruh migran] yang unprocedural akan masuk [didata] dan dikontrol bersama,” tutur Karding.
Mengutip pemberitaan media propemerintah Saudi Gazzette, pada awal bulan Maret 2025, platform ini telah mencatatkan 852.660 kontrak baru dan 1.214.259 CV pekerja. Jumlah entitas bisnis yang berinteraksi di platform ini telah mencapai 4.048.420 pengguna. Platform ini juga memungkinkan para pekerja domestik untuk berganti majikan tanpa persetujuan majikan sebelumnya.
Pada 2021, Arab Saudi memperkenalkan reformasi ketenagakerjaan yang mengendorkan restriksi bagi para pekerja migran dan memungkinkan pekerja mengganti pekerjaan tanpa persetujuan dari pemberi kerja sebelumnya.
Tapi organisasi pengamat hak asasi manusia Human Right Watch menilai ikhtiar tersebut belum dapat mengenyahkan praktik sistem kafala yang menurut mereka memberikan kekuasaan berlebih kepada majikan terhadap status hukum dan mobilitas para pekerja.
Apakah sistem tata kelola pengiriman tenaga kerja ke Saudi sudah berjalan baik?
Pada 2023, pemerintah mulai menguji coba layanan satu pintu Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi.
Namun, menurut Roland Kamal dari Serikat Buruh Migran Indonesia di Jeddah, uji coba tersebut tidak membawa perubahan. “Yang kami soroti di sini, selama enam bulan [terakhir] pengiriman tenaga kerja Indonesia menggunakan SPSK ternyata tidak ada perbaikan,” ungkapnya.
Kebanyakan tenaga kerja migran yang memanfaatkan jalur SPSK kabur dari majikan, kata Roland.
Pegiat buruh migran berdemonstrasi di depan kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, 20 Maret 2018, memprotes pelaksanaan hukuman pancung terhadap Muhammad Zaini Misrin Arsyad (53) yang bekerja di Saudi (Getty Images)
“Antara beban kerja dengan gaji itu tidak sesuai. Orang sini [majikan] bayar 3.200 [riyal] per bulan, yang diterima tenaga kerja cuma 1.200 [riyal].”
Dari sedemikian banyak kasus, yang melapor melalui kanal resmi hanya sedikit, “Yang lapor hanya satu, yang secara prosedural.”
Savitri Wisnu Wardhani dari Jaringan Buruh Migran juga menyebut evaluasi sistem SPSK tidak transparan dan minim partisipasi.
“Sampai sekarang belum ada evaluasi publik yang melibatkan pekerja migran atau organisasi pekerja migran,” kata Savitri.
Dari hasil pemantauannya, sistem ini malah disalahgunakan agen-agen pengirim tenaga kerja. “Agen yang menyalahgunakan juga tidak diberikan sanksi,” klaimnya.
Jaringan Buruh Migran juga mengeklaim terdapat sejumlah kasus trafficking dari Jawa Barat ke Timur Tengah. “Karena mereka pikir jalur tersebut sudah dibuka,” kata Savitri.
Selain minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam evaluasi moratorium, Savitri juga menyebut prioritas pemerintah seharusnya menyiapkan sistem perlindungan untuk pekerja migran.
“Bagi kami, baik ditutup maupun dibukanya [moratorium] tanpa adanya jaring pengaman perlindungan bagi pekerja migran yang berbasis HAM dan responsif gender ya sama saja. Tetap akan menambah kasus-kasus eksploitasi bagi pekerja migran,” papar Savitri.
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu