Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Revisi UU ASN: Antara Netralitas dan Dilema Otonomi Daerah Nasional 14 Januari 2025

Revisi UU ASN: Antara Netralitas dan Dilema Otonomi Daerah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Januari 2025

Revisi UU ASN: Antara Netralitas dan Dilema Otonomi Daerah
Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
ADA
yang menggelitik dalam revisi UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang tengah digodok. Di satu sisi, alasan menjaga netralitas ASN dari politik praktis menjadi dalih yang tampaknya tak terbantahkan.
Namun, di sisi lain, gagasan untuk mengalihkan kewenangan penetapan pejabat eselon II dari daerah ke pemerintah pusat justru memunculkan ironi.
Bagaimana mungkin semangat desentralisasi yang menjadi fondasi
otonomi daerah
dapat berdiri tegak jika kewenangan kunci daerah tergerus? Bukankah solusi semacam ini lebih mirip pergeseran masalah daripada penyelesaian?
Ketika pemerintahan daerah dikebiri wewenangnya, yang tersisa hanyalah bayang-bayang birokrasi tanpa roh otonomi.
Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat kehilangan kendali atas tim strategis mereka. Jika ini terjadi, kepada siapa rakyat akan meminta pertanggungjawaban atas gagalnya program pembangunan lokal? Inilah dilema nyata yang dihadirkan oleh wacana revisi ini.
Otonomi daerah bukan sekadar slogan, melainkan ruh dari desentralisasi itu sendiri. Dengan desentralisasi, kepala daerah memiliki ruang untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan kebutuhan lokal yang unik.
Namun, dengan kewenangan penetapan pejabat strategis seperti eselon II berada di tangan pemerintah pusat, daerah tidak lagi memiliki kebebasan dalam memilih pejabat yang mampu menjawab tantangan lokal.
Situasi ini memunculkan risiko signifikan: efektivitas pelaksanaan program daerah bisa terganggu.
Pejabat yang ditunjuk oleh pusat mungkin memiliki agenda yang berbeda atau bahkan kurang memahami kebutuhan masyarakat lokal.
Pada akhirnya, daerah hanya menjadi perpanjangan tangan pusat tanpa memiliki daya inovasi dan respons terhadap kebutuhan warga.
Mengalihkan kewenangan ke pusat tidak hanya mengurangi fleksibilitas daerah, tetapi juga menciptakan kesan sentralisasi berlebihan.
Risiko hilangnya akuntabilitas lokal menjadi nyata, ketika kepala daerah merasa tidak memiliki kendali atas kinerja pejabat yang dipaksakan oleh pusat.
Hal ini dapat menciptakan friksi antara pusat dan daerah, terutama jika pejabat yang ditunjuk tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat lokal.
Lebih jauh lagi, koordinasi yang panjang antara pusat dan daerah dalam penetapan pejabat dapat memperlambat pengambilan keputusan yang krusial.
Bukankah ini kontraproduktif dengan kebutuhan pelayanan publik yang cepat dan efektif?
Ironisnya, DPR sebagai lembaga legislatif yang seharusnya menjadi benteng bagi semangat desentralisasi justru menjadi pengusul utama gagasan ini.
Alih-alih memperjuangkan keseimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah, DPR tampak terlalu mudah menyerah pada wacana sentralisasi.
Sikap ini tidak hanya mengkhianati prinsip dasar reformasi birokrasi, tetapi juga memperlihatkan betapa lemahnya keberpihakan mereka terhadap kepentingan daerah.
Jika DPR terus menerapkan pendekatan ini, mereka hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat daerah dan pemerintah pusat.
Menjaga netralitas ASN dari politik praktis adalah cita-cita yang tak bisa disangkal. Namun, alih-alih mengalihkan kewenangan ke pusat, mengapa tidak memperkuat sistem merit di daerah?
Sistem merit adalah jantung dari birokrasi yang profesional, di mana pengangkatan pejabat didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.
Dengan sistem ini, loyalitas politik dapat diminimalisasi tanpa harus mencabut hak daerah untuk menentukan pejabatnya sendiri.
Sistem merit yang efektif di daerah tidak hanya memperkuat otonomi, tetapi juga memastikan bahwa birokrasi tetap berjalan dalam koridor profesionalisme. Kunci keberhasilan sistem ini adalah transparansi dan akuntabilitas.
Proses rekrutmen pejabat harus melibatkan pihak-pihak independen yang bebas dari tekanan politik. Teknologi juga dapat menjadi alat bantu penting.
Platform digital berbasis kecerdasan buatan dapat digunakan untuk menilai kinerja dan kompetensi calon pejabat secara objektif.
Namun, perbaikan sistem merit tidak cukup hanya pada tataran teknis. Perlu ada penguatan budaya birokrasi yang menempatkan kompetensi dan integritas di atas loyalitas pribadi.
Pemerintah pusat, dalam hal ini, harus mengambil peran strategis dengan memberikan pelatihan, sertifikasi, dan bimbingan teknis kepada ASN di daerah. Hal ini dapat mengatasi kesenjangan kapasitas yang sering kali menjadi alasan di balik campur tangan pusat.
Selain itu, pengawasan terhadap sistem merit di daerah harus dilakukan secara ketat, tapi proporsional.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dapat diberdayakan lebih lanjut untuk memastikan bahwa proses seleksi berjalan sesuai prinsip-prinsip meritokrasi.
Pengawasan ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan daerah, melainkan untuk memastikan bahwa sistem berjalan adil dan transparan.
Dengan perbaikan yang sistematis seperti ini, kepala daerah tetap memiliki kendali penuh atas tim strategis mereka, tanpa mengorbankan prinsip netralitas ASN. Otonomi daerah tetap hidup, tetapi dengan birokrasi yang lebih profesional dan responsif.
Banyak negara telah berhasil menjaga keseimbangan antara netralitas birokrasi dan otonomi lokal.
Di Jerman, misalnya, pengangkatan pejabat di tingkat lokal sepenuhnya menjadi kewenangan daerah, meskipun tetap diatur oleh standar kompetensi nasional.
Sementara itu, Australia telah membuktikan bahwa sistem merit berbasis kompetensi yang diawasi oleh lembaga independen mampu menciptakan birokrasi yang netral tanpa mengurangi otonomi lokal.
Revisi UU ASN
adalah peluang emas untuk menciptakan birokrasi yang lebih profesional dan netral. Namun, itu harus dilakukan tanpa mengorbankan esensi otonomi daerah.
Solusinya bukanlah mengalihkan kewenangan ke pusat, melainkan memperbaiki sistem merit di daerah.
Dengan cara ini, daerah tetap memiliki fleksibilitas untuk menentukan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, sambil memastikan bahwa proses seleksi pejabat berjalan transparan, akuntabel, dan bebas dari intervensi politik.
Jika kita serius ingin membangun birokrasi yang netral, kita harus fokus pada penguatan kapasitas daerah, bukan melemahkannya.
Dengan semangat desentralisasi yang hidup, rakyat di daerah akan merasakan manfaat dari pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, tanpa kehilangan kendali atas nasib mereka sendiri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.