Reposisi Polri: Menjaga Presiden atau Demokrasi?
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
REFORMASI
Polri sudah lama digembar-gemborkan. Namun, publik melihat seperti berjalan di tempat.
Pertanyaannya bukan lagi apakah Polri butuh reformasi, melainkan ke mana arah reformasi itu akan dibawa.
Apakah Polri akan direposisikan untuk semakin dekat dengan presiden atau semakin dekat dengan demokrasi?
Di sinilah titik krusial reformasi sektor keamanan saat ini: bukan semata-mata soal profesionalitas teknis, melainkan pilihan besar mengenai konfigurasi kekuasaan dalam sistem presidensial Indonesia.
Konstitusi memberikan mandat kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Namun dalam sistem presidensial yang sehat, kekuasaan eksekutif — termasuk alat pemaksa negara — harus dikendalikan, bukan diabsorbsi.
Dan di titik itulah persoalan reposisi Polri menjadi sangat menentukan masa depan demokrasi Indonesia.
Tak dapat dimungkiri, Polri kini menjadi lembaga negara dengan kewenangan paling luas: dari penyelidikan, penyidikan, intelijen keamanan, pengaturan lalu lintas, pengamanan unjuk rasa, hingga penindakan terorisme dan kejahatan lintas negara.
Semua itu berada dalam satu rantai komando yang langsung bermuara kepada presiden.
Di atas kertas, konsentrasi kewenangan ini dimaksudkan untuk koordinasi yang efisien. Dalam praktiknya, konsentrasi kekuasaan koersif dalam satu tangan selalu menyimpan risiko.
Dalam sejumlah negara presidensial, kekuatan polisi menjadi penanda maturitas demokrasi. Semakin polisi menjadi perpanjangan tangan presiden, semakin tipis garis pemisah antara pemerintahan dan kekuasaan atas warga negara.
Apalagi dalam negara kesatuan yang terpusat seperti Indonesia, ketika pusat salah arah, tidak ada “polisi negara bagian” atau “polisi kota” yang dapat menjadi penyeimbang sebagaimana di sejumlah negara federal.
Polri adalah mata, telinga, dan tangan negara — sekaligus instrumen paling menentukan antara keamanan dan penindasan.
Tidak ada yang salah dengan kekuasaan kepolisian bila seluruh mandat dijalankan dengan pendekatan hukum dan hak asasi manusia.
Persoalannya muncul ketika mandat diperluas tanpa pengawasan memadai. Prosedur hukum bisa berubah menjadi legitimasi kekuasaan, dan dalih keamanan dapat sewaktu-waktu menjelma menjadi justifikasi represivitas.
Pada titik ini,
reformasi Polri
bukan hanya soal meningkatkan kompetensi, tetapi mendefinisikan ulang mandat: apakah Polri bertugas menjaga stabilitas pemerintahan atau menjaga kebebasan warga negara?
Dua tugas itu seolah dapat dipadukan, tetapi sejarah politik Indonesia justru menunjukkan bahwa ketika yang dijaga adalah stabilitas kekuasaan, kebebasan warga menjadi pihak pertama yang dikorbankan.
Dalam demokrasi, kekuasaan tanpa pengawasan selalu bermasalah. Namun, pengawasan terhadap Polri hingga saat ini belum memadai.
Mekanisme internal berada dalam lingkup tertutup dan hirarkis; mekanisme eksternal masih lemah dan sering berhadapan dengan dinding tebal korps.
Bahkan lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjadi penyeimbang masih terbatasi oleh struktur hukum dan kebiasaan politik yang memosisikan Polri lebih sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif daripada sebagai institusi publik yang wajib tunduk pada pengawasan rakyat.
Pengawasan sipil yang kuat bukan untuk melemahkan polisi, melainkan memperkuat legitimasi penegakan hukum.
Ketika tindakan kepolisian tidak bisa ditanya, maka kepercayaan publik akan runtuh — dan saat kepercayaan itu hilang, penegakan hukum tidak lagi berdiri atas kewibawaan, melainkan atas ketakutan.
Dalam kerangka presidensial, presiden adalah panglima eksekutif. Namun, presidensialisme tidak pernah dirancang untuk menempatkan presiden sebagai satu-satunya pusat kekuasaan.
Presiden memang perlu memimpin Polri, tetapi tidak untuk menguasai Polri. Sayangnya, pola relasi politik selama ini membuat Polri memiliki ketergantungan struktural dan psikologis terhadap kekuasaan presiden.
Akibatnya, institusi kepolisian kerap dianggap sebagai “penjaga pemerintahan”, bukan “penjaga republik”.
Dalam desain demokrasi modern, presiden memegang komando administratif, tetapi Polri harus tetap berdiri dalam kerangka hukum, bukan sebagai perpanjangan kekuasaan yang sedang memerintah.
Relasi Polri–presiden perlu didesain ulang — bukan untuk menjauhkan, tetapi untuk menyehatkan.
Reposisi Polri bukan slogan dan bukan jargon politik. Ia adalah pekerjaan dasar untuk menghubungkan kembali kekuasaan kepolisian dengan tujuan demokrasi.
Di dalam sistem presidensial, mustahil untuk memindahkan Polri keluar dari eksekutif — Presiden tetap menjadi pemegang komando pemerintahan.
Namun reformasi tidak menuntut Polri menjauh dari presiden, melainkan membangun jarak sehat antara kekuasaan politik dan kekuasaan koersif.
Di sinilah reposisi menemukan maknanya: bagaimana Polri tetap berada di bawah presiden, tetapi tidak menjadi instrumen kekuasaan presiden.
Reposisi mengharuskan perubahan orientasi yang bersifat mendasar. Polri tidak boleh melihat dirinya sebagai perisai pemerintah, tetapi sebagai penjaga warga negara.
Ketika polisi mengidentifikasi diri sebagai alat stabilitas kekuasaan, setiap kritik akan diperlakukan sebagai ancaman. Namun, ketika polisi mengidentifikasi diri sebagai penjaga hukum, kritik menjadi bagian dari kesehatan demokrasi.
Karena itu, reposisi bukan hanya merombak struktur organisasi, tetapi mengubah ideologi kelembagaan: dari polisi yang mencari legitimasi kekuasaan menjadi polisi yang memperoleh legitimasi dari publik.
Reposisi juga menuntut perubahan relasi antara Polri dan pengawasan. Selama ini pengawasan eksternal diperlakukan seperti gangguan, padahal justru di situlah wibawa dibangun.
Kepolisian yang berani diawasi adalah kepolisian yang percaya diri akan kebenaran kewenangannya.
Transparansi dalam penyidikan, keterbukaan dalam penanganan kekerasan, hingga mekanisme hak gugat masyarakat terhadap tindakan kepolisian bukan ancaman bagi Polri — itu adalah fondasi legitimasi Polri di mata rakyat.
Reposisi akhirnya bermuara pada satu gagasan besar: Polri yang kuat bukan Polri yang dekat dengan kekuasaan, melainkan Polri yang dipercaya publik.
Selama kekuasaan menjadi sumber kekuatan Polri, Polri akan selalu rapuh. Namun, ketika kepercayaan masyarakat menjadi penyangga utama, tidak ada kekuasaan yang mampu membelokkan profesionalitas kepolisian.
Reformasi Polri hanya akan berbuah bila reposisi Polri berani disentuh — dari corong kekuasaan menjadi penopang demokrasi.
Demokrasi tidak dapat hidup tanpa kepolisian. Namun, demokrasi juga bisa mati di tangan kepolisian. Ketika polisi digunakan untuk menjaga kekuasaan, demokrasi menjadi slogan hampa.
Ketika polisi menjaga hak warga negara, demokrasi tumbuh tegak di atas rasa aman dan keadilan.
Karena itu, agenda reposisi Polri bukan agenda elite, bukan agenda presiden, bukan pula agenda aktivis.
Itu adalah agenda publik, karena menyangkut bagaimana negara melindungi rakyat dan bagaimana rakyat mempercayai negara.
Jika reformasi Polri hanya berhenti pada perubahan struktur, pangkat, atau gaji, tanpa menyentuh orientasi kekuasaan, maka reformasi itu telah gagal, bahkan sebelum dimulai.
Reposisi Polri adalah penentu masa depan republik: apakah Indonesia akan melahirkan presidensialisme yang demokratis, atau presidensialisme yang koersif.
Kini pilihan berada di meja kekuasaan dan di kesadaran publik. Reformasi Polri tidak akan berubah menjadi kenyataan bila reposisi Polri tidak disentuh.
Pertanyaannya tinggal satu: Polri akan menjaga siapa? Presiden yang berkuasa, atau demokrasi yang menyelamatkan bangsa?
Kita membutuhkan polisi yang kuat — tetapi kekuatan itu harus ditopang hukum, bukan politik. Kita membutuhkan polisi yang berwibawa — tetapi kewibawaan itu harus bersumber dari kepercayaan publik, bukan dari ketakutan warga.
Kita membutuhkan polisi untuk melindungi negeri — tetapi negeri ini bukan milik penguasa, melainkan milik rakyat.
Reposisi Polri adalah jalan menuju reformasi Polri. Dan hanya dengan itu demokrasi Indonesia dapat bernapas lega.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Reposisi Polri: Menjaga Presiden atau Demokrasi?
/data/photo/2025/11/14/6916deb2b8b0f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)