Rekonstruksi Iman Melalui Ramadan

Rekonstruksi Iman Melalui Ramadan

Hampir semua agama merekomendasikan periode puasa. Banyak Muslim dewasa berpuasa selama bulan suci Ramadan setiap tahun. Puasa Ramadan sebagai salah satu jenis puasa intermiten adalah intervensi non-farmakologis yang  memperbaiki kesehatan secara keseluruhan.

Puasa Ramadhan menciptakan perubahan gaya hidup. Jika kita mengontrol perubahan gaya hidup selama bulan Ramadan, puasa intermiten (IF) Ramadan mengurangi stres oksidatif. Pengaruh Islamic IF selama dan di luar Ramadan pada perubahan sirkadian dalam lipid peroxidation marker malondialdehyde (MDA) selama dan di  luar sambil mengendalikan pembaur potensial (Bahammam et al., 2016). Ritual puasa akan memastikan planet sehat yang berkelanjutan. 

Ilmu kesehatan mengatakan, puasa Ramadan merupakan strategi perlindungan terhadap stres oksidatif dan kerusakan sel. Puasa Ramadan menjaga kondisi kesehatan tubuh meskipun dalam posisi dikarantina akibat dampak Corona-19 (Khatib, 2022). Latihan sepak bola bersamaan puasa Ramadan untuk waktu yang lama terbukti meningkatkan kesehatan kardiometabolik pada individu yang sehat. Karena olahraga dan puasa memberikan manfaat  kesehatan secara mandiri (Zainudin et al., 2022). 

Di antara ciri yang terdapat pada jiwa yang sehat yakni kemampuan manusia dalam kaitan pengendalian diri (self control). Pengendalian diri berfungsi penting terhadap kualitas kesehatan jiwa berdampak meningkatnya daya tahan mental ketika ia menghadapi berbagai macam stres dalam kehidupan (Ahmad, 2020). 

Maka dari itu, ketika seseorang berpuasa, sejatinya melatih kemampuan penyesuaian diri pada tekanan tersebut, sehingga menjadi ia memiliki daya tahan serta lebih sabar dalam menghadapi berbagai tekanan hidup yang ada. 

Di sisi lain, puasa adalah upaya untuk menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan melanggar ketentuan ajaran Islam. Puasa tidak hanya berorientasi pada ibadah fisik, tetapi juga ibadah spiritual yang dapat menyelamatkan dan menyejahterakan manusia, baik jasmani maupun  rohani, di dunia dan akhirat.

Sangat disayangkan, sering kali dan banyak umat Islam menganggap ibadah itu hanya sekadar menjalankan rutinitas dari hal yang dianggap kewajiban, seperti halnya puasa Ramadan. Sering kali mereka melupakan bahwa aspek ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian terhadap iman. Maka peneliti tertarik untuk mengaji tentang puasa Ramadan sebagai media reklamasi iman sehingga makna puasa akan lebih terlihat dalam kacamata keimanan. 

Orientasi bertaqwa disebabkan ibadah puasa merupakan sarana menuju derajat takwa. Puasa Ramadan bisa mengendalikan nafsu serta mengalahkan syahwat. Selain itu, supaya orang  yang berpuasa waspada terhadap jebakan syahwat yang acap kali muncul melalui unsur makanan, minuman ataupun bersetubuh (Al-Baghawi, 2014). 

Tafsir Jalalain (2018) menjelaskan, puasa Ramadan supaya kalian semua dapat bertaqwa dari segala maksiat, karena dengan menjalani puasa seseorang bisa menaklukkan syahwatnya yang merupakan sumber dari berbagai tindakan maksiat. 

Pada surat al-Baqarah ayat (183-187), Allah Swt tidak hanya menyebut ketakwaan sebagai tujuan puasa Ramadan, namun predikat hamba yang bersyukur menjadi target dari ibadah tersebut. Oleh sebab itu, ketakwaan pada ending-nya akan terkait erat dengan rasa syukur seorang hamba. Kecuali ayat ke-184, semuanya selalu dirangkai kata “La’alla”, yang berarti  menunjukkan sebuah harapan. 

Maka, puasa Ramadan menjadi pembangkit harapan, di mana bermodal optimisme, kaum muslim bisa menyongsong perubahan serta peningkatan menuju arah yang lebih baik dan bermakna dalam hidupnya (Thaib & Hasballah, 2014). 

Tinjaun bahasa Arab, kata taqwa berasal dari bentuk fi’il “ittaqa-yattaqi”, yang dapat diartikan takut, waspada serta berhati-hati (Munawwir, 2020). Termin bertakwa dari kemaksiatan dikandung maksud supaya manusia takut serta waspada terjerumus dalam kubangan maksiat. 

Secara istilah, definisi tawa yakni menjalani ketaatan terhadap Allah Swt dengan dalil (cahaya  Allah), mengharapkan ampunan-Nya, meninggalkan unsur maksiat dengan cahaya Allah, serta  memiliki sikap takut kepada azab dari Allah (Adz- Dzahabi, 2017). 

Dari sini menjadi jelas bahwa keterikatan antara ibadah puasa Ramadan dengan ketakwaan, puasa merupakan salah satu dari sebab terbesar menuju derajat ketakwaan seseorang, sebab orang yang menjalani puasa berarti sudah menjalankan perintah Allah, pada kesempatan sama menjauhi apa yang telah dilarang-Nya. 

Seseorang yang sedang menjalani puasa Ramadan menjaga diri dari tindakan haram seperti makan, minum, dan semacamnya padahal secara kejiwaan manusia mempunyai kecenderungan atas hal tersebut. Ia rela menahan semua itu demi ketaatan terhadap Allah Swt, serta berharap memperolah pahala dari-Nya. Semua tindakan ini  merupakan wujud dari takwa. 

Ibadah puasa Ramadan hakikatnya mempersempit ruang gerak setan dalam aliran darah seseorang, sehingga dampak pengaruh setan pada dirinya melemah. Hal ini merupakan imbas dikuranginya perilaku maksiat. Secara bersamaan gairah puasa itu bisa memperbanyak ketaatan terhadap Allah, yang mana hal ini merupakan tabiat bagi orang bertakwa. Dengan ibadah puasa Ramadan, orang kaya sekalipun merasakan bagaimana perihnya rasa lapar, hingga ia lebih peduli terhadap kaum fakir miskin yang hidup kekurangan (As-Sa’di, 2016). 

Pada surat al-Baqarah tentang perintah puasa Ramadan, merupakan sebuah penjelasan penting bahwa Allah Swt menghendaki supaya umat muslim bertakwa dengan perintah jamak “mereka”. Kata “mereka” dari ayat tersebut menunjukkan pesan moral yang tidak hanya tertuju pada satu individu saja, akan tetapi menunjuk makna banyak, yakni bagaimana komunitas umat muslim mewujudkan ketakwaan pribadi-pribadi mereka ke dalam bentuk tindakan kolektif  (Habannakah, 2010). 

Dari sini dapat dipahami, komunitas Muslim di seluruh dunia menjunjung tinggi Ramadan. Muslim berusaha untuk meningkatkan karakter moral dan kebiasaan moral yang baik  selama bulan ini untuk meningkatkan kesempatan mereka menerima berkah (Din & Ramli,  2023). Bukan umat Muslim saja, bahkan sebagian umat manusia di dunia menjalankan ibadah puasa. 

Berbagai agama turut memerintahkan umatnya untuk menjalankan puasa sesuai dengan tata cara dan pelaksanaannya masing-masing dengan tujuan yang sama, yakni mendekatkan diri  pada Sang Pencipta (Aqiilah, 2020). 

Puasa Ramadan merupakan pedoman hidup, bagaimana seseorang dapat mengatur waktu dan ibadahnya semaksimal mungkin, melatih kesabaran dan melatih hatinya untuk dapat beribadah hanya dengan fokus kepada Allah. Pola hidup yang bisa konsisten dan menjadi pola keseharian setelah Ramadan merupakan salah satu indikator diterimanya rangkaian ibadah  selama bulan Ramadan. 

Secara pada hakikat, Ramadan adalah madrasah besar yang  mengajarkan siswanya berbagai disiplin ilmu seperti ikhlas, jujur, sabar, pemaaf, dermawan, rida dengan ketentuan Allah. Sebab Ramadan ibarat sebuah madrasah, tentu akan melahirkan para alumni dengan berbagai predikat yang disandangnya, ada yang kemudian lulus dan mendapat predikat takwa sesuai dengan tujuan puasa itu sendiri, namun banyak juga yang gagal dan kemudian tinggal kelas (Ilmiah et al., 2021).

Orang yang menjalani puasa Ramadan merasakan semangat spiritual yang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Mereka lebih semangat membaca Al-Qur’an, salat berjemaah, bangun malam demi bisa melaksanakan salat tahajud, berbagi makanan dengan sesama terutama saat berbuka puasa, sabar menunggu azan Magrib, merasa diawasi Allah dalam berpuasa agar mereka lebih jujur dengan diri mereka sendiri. 

Banyak hikmah dalam puasa Ramadhan, semisal menjadikan seseorang mampu meraih derajat takwa, meningkatkan keimanan, melatih  keikhlasan, memberi ketenangan hati, melatih seseorang untuk selalu merasakan kehadiran  Allah, melatih kesabaran, mendidik seseorang untuk memiliki jiwa sosial tinggi, empati, mendidik seseorang berjiwa besar, dan melatih perlaku kejujuran (Ali et al., 2022). 

Penjelasan di atas, mengindikasikan bahwa ketakwaan tersebut harus mewujud diawali dari individu, meluas keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Realisasi takwa dapat diwujudkan melalui proses bertahap. Maka dari itu, bulan Ramadan merupakan momen tepat  bagi umat muslim menjadikan titik tolak pembinaan serta pembiasaan individu serta masyarakat untuk taat terhadap perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sehingga membentuk iman yang  mendalam, menuju hamba Allah yang bertakwa (Thaib & Hasballah, 2014). 

Pelajaran yang dapat dipetik melalui pendidikan puasa Ramadan, bahwa terdapat relasi vertikal yang spesial antara hamba dan Rabb-Nya pada bulan suci tersebut. Umat muslim diperintah membangun relasi vertikal, bersamaan dengan relasi horizontal, membangun kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial, hubungan pribadi dan sesama mesti seimbang.  

Sebelas bulan ke depannya umat muslim diharapkan tetap konsisten dengan pembinaan di bulan Ramadhan sampai kepada bulan Ramadan berikutnya, dengan adanya peningkatan nilai keimanan. Dari pembinaan individu yang bertakwa dapat menjadi sebuah pembenahan keteladanan dalam lingkup sosial, dan secara kolektif menjadi masyarakat yang bertakwa. 

*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)