Reinkarnasi Feodalisme di Negeri Demokrasi
Akademisi dan Peneliti
DALAM
percakapan publik, kata feodalisme kerap muncul sebagai sindiran terhadap mentalitas yang tunduk, relasi patron-klien, atau ketimpangan sosial yang menahun. Namun, apakah tradisi feodalisme masih relevan di era modern yang menjunjung demokrasi, meritokrasi, dan kesetaraan?
Pertanyaan ini penting, sebab warisan feodalisme sering kali tidak tampak sebagai sistem politik formal, melainkan mengendap sebagai pola pikir dan perilaku sosial yang menghambat kemajuan.
Secara historis, feodalisme lahir dari sistem sosial-politik Eropa abad pertengahan, di mana kekuasaan dan tanah dipegang oleh kaum bangsawan, sementara rakyat kecil menjadi bawahan atau pengikut (
vassal
). Hubungan antara penguasa dan rakyat bersifat personal, hierarkis, dan tidak berbasis hukum rasional.
Dalam konteks modern, istilah feodalisme digunakan secara sosiologis untuk menggambarkan budaya sosial yang hierarkis, paternalistik, dan bergantung pada patronase kekuasaan. Feodalisme bukan lagi sekadar sistem politik, tetapi mentalitas sosial yang menempatkan “atasan” sebagai sumber kebenaran dan “bawahan” sebagai penerima pasif.
Sosiolog Indonesia, Koentjaraningrat, pernah menyoroti bahwa budaya feodal memunculkan sikap
nrimo
, rasa sungkan berlebih, dan ketergantungan terhadap figur otoritas. Akibatnya, kreativitas dan rasionalitas sering teredam oleh rasa takut atau loyalitas personal.
Dalam tatanan masyarakat modern, feodalisme secara prinsip tidak relevan. Ada tiga alasan utama. Pertama, feodalisme bertentangan dengan demokrasi. Demokrasi menuntut partisipasi warga secara setara, sementara feodalisme mengandaikan ketimpangan derajat sosial. Dalam sistem feodal, hak istimewa ditentukan oleh keturunan atau kedekatan dengan kekuasaan, bukan oleh legitimasi rakyat.
Kedua, feodalisme meniadakan meritokrasi. Dalam masyarakat modern, penghargaan seharusnya diberikan berdasarkan prestasi dan kemampuan. Namun, budaya feodal mendorong
like and loyalty politics
—di mana kedekatan pribadi lebih dihargai daripada kompetensi. Akibatnya, muncul birokrasi yang tidak efisien dan lingkungan kerja yang penuh subordinasi.
Ketiga, feodalisme memperlemah keadilan sosial. Ketika posisi dan penghargaan sosial didasarkan pada hierarki tradisional, mobilitas sosial menjadi tertutup. Masyarakat kelas bawah sulit naik karena struktur sosial tidak ditentukan oleh kinerja, melainkan oleh “siapa yang dikenal” atau “dari keluarga mana.”
Meski secara normatif tidak relevan, feodalisme masih sangat terasa dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia. Dalam politik, budaya “asal bapak senang” masih kuat, pemimpin sering diposisikan sebagai “raja kecil” yang harus dihormati tanpa kritik. Loyalitas personal lebih diutamakan daripada akuntabilitas publik.
Fenomena “pencitraan” dan kultus individu dalam politik elektoral menunjukkan bahwa kekuasaan sering dipersonalisasi, bukan diinstitusionalisasi.
Dalam birokrasi, banyak aparatur yang lebih sibuk menjaga hubungan dengan atasan daripada meningkatkan kinerja. Struktur hierarkis yang kaku memperkuat pola patron-klien, membuat reformasi birokrasi sering tersendat.
Dalam dunia pendidikan, sisa feodalisme tampak dalam hubungan dosen-mahasiswa atau guru-siswa yang terlalu vertikal. Kritik dianggap kurang ajar, bukan bagian dari dialog ilmiah. Padahal, pendidikan modern menuntut partisipasi dan argumentasi rasional, bukan sekadar kepatuhan.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, bahasa dan gestur sosial masih menunjukkan sisa feodalisme: rasa sungkan berlebihan, kultus terhadap jabatan, serta kebiasaan menilai seseorang dari status, bukan kontribusinya.
Feodalisme bertahan bukan karena sistemnya diakui secara resmi, melainkan karena ia berakar dalam struktur sosial dan psikologis masyarakat.
Dengan demikian, feodalisme tidak relevan untuk dipertahankan, tetapi masih relevan untuk dikaji dan dikritisi. Ia menjadi cermin bagi masyarakat Indonesia dalam menilai sejauh mana nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan benar-benar hidup, bukan sekadar slogan.
Kita tidak perlu menolak semua warisan tradisi; penghormatan terhadap yang lebih tua dan sopan santun tetap penting. Namun, penghormatan tidak boleh berarti kepatuhan buta. Perlu dibedakan antara menghormati karena nilai, dan tunduk karena hierarki.
Untuk mengatasi warisan feodal, diperlukan transformasi budaya menuju meritokrasi dan rasionalitas publik. Pemimpin harus dilihat sebagai pelayan masyarakat, bukan tuan yang berkuasa. Pendidikan perlu menumbuhkan keberanian berpikir kritis dan kesetaraan dialogis. Birokrasi perlu dibangun atas dasar profesionalisme, bukan patronase.
Feodalisme mungkin telah mati sebagai sistem politik, tetapi masih hidup sebagai mentalitas sosial. Ia merasuk dalam bahasa, perilaku, dan cara kita memperlakukan kekuasaan. Karena itu, tantangan terbesar bangsa ini bukan sekadar mengganti sistem, melainkan mengubah cara berpikir dan bersikap terhadap otoritas.
Dalam masyarakat yang benar-benar modern, kesetaraan bukan ancaman terhadap tradisi, melainkan syarat bagi kemajuan. Dan selama kita masih takut menyanggah yang berkuasa, selama itu pula feodalisme belum benar-benar berakhir.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Reinkarnasi Feodalisme di Negeri Demokrasi Nasional 14 Oktober 2025
/data/photo/2025/10/14/68ee38b695422.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)