Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Rapat Bersama Komisi II DPR, Perludem Beri 10 Catatan soal Pilkada 2024

Rapat Bersama Komisi II DPR, Perludem Beri 10 Catatan soal Pilkada 2024

Rapat Bersama Komisi II DPR, Perludem Beri 10 Catatan soal Pilkada 2024
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (
Perludem
) menyampaikan 10 catatan kritis terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (
Pilkada
) Serentak 2024, dalam rapat dengar pendapat bersama
Komisi II DPR
RI, Rabu (26/2/2025).
Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) dan
pilkada
pada tahun yang sama sangat membebani penyelenggaraan pemilu.
Kondisi tersebut pada akhirnya berdampak kepada keprofesionalan penyelenggaraan Pemilu dalam melaksanakan tahapan demi tahapan.
“Kalau bicara Pilkada serentak nasional 2024, maka ini adalah Pilkada yang diselenggarakan di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres. Hampir semua mengakui adanya beban berat akibat himpitan tahapan pemilu dan pilkada, yang kemudian mengganggu profesionalitas penyelenggara,” kata Titi di Gedung DPR RI, Rabu (26/2/2025).
Di samping itu, Titi juga menyoroti dampaknya terhadap peserta pemilu dan masyarakat.
Sebab, masyarakat pada akhirnya lebih banyak menaruh perhatian pada pilpres, sehingga kurang fokus dalam mengawal pileg dan pilkada.
“Fokus peserta serta konsentrasi dan orientasi masyarakat atas proses pemilu dan pilkada,” ujar Titi.
Dalam paparannya, Titi pun mengungkapkan 10 catatan yang menjadi perhatian Perludem terkait pelaksanaan
Pilkada Serentak 2024
:
1. Beban Berat Penyelenggara dan Peserta Pemilu
Perludem menilai pelaksanaan pilkada di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres menimbulkan beban berat bagi penyelenggara dan peserta pemilu. Hal ini mengganggu profesionalitas penyelenggara serta fokus masyarakat dalam mengawal proses pemilu dan pilkada.
2. Kampanye Tidak Optimal Mengangkat Isu atau Permasalahan Lokal
Kampanye pilkada juga dinilai cenderung tidak optimal dalam mengangkat isu lokal karena terpengaruh residu pilpres.
Banyak calon lebih menonjolkan branding koalisi politik nasional dibanding politik gagasan dan program daerah.
3. Perbedaan Pengaturan UU Pemilu dan Pilkada Membuat Kerancuan
Perludem berpandangan, adanya perbedaan aturan dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada menyebabkan kebingungan serta inkonsistensi dalam pelaksanaannya.
Beberapa penyelenggara bahkan menyamakan aturan Pilkada dengan Pemilu hanya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.85/PUU-XX/2022.
4. UU Pilkada Kerap Diuji di Pengadilan
Sejak 2016, Undang-Undang Pilkada belum mengalami perubahan signifikan, sehingga banyak aturan yang dianggap tidak relevan.
Akibatnya, aturan tersebut sering diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA), memicu ketidakpastian hukum dan polemik di masyarakat.
5. Penyelenggara Tidak Utuh memahami Putusan MK dan Masih Ada Ketidakpatuhan
Perludem melihat masih adanya beberapa penyelenggara yang belum sepenuhnya memahami dan mematuhi putusan MK, terutama dalam penyusunan aturan teknis Pilkada. Contohnya, masih terdapat ketidaksesuaian dalam pengaturan periodisasi masa jabatan dan syarat pencalonan mantan terpidana.
6. Adanya Ketidaksepahaman atau Perbedaan Tafsir antara KPU dan Bawaslu
Ketidaksepahaman antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menafsirkan aturan Pilkada mengakibatkan kekacauan dalam tahapan penyelenggaraan. Contoh kasus terjadi dalam pencalonan terpidana di Pilkada Gorontalo Utara.
7. Masih Terjadi Rekrutmen Calon Anggota KPU di Tengah Tahapan Krusial Pilkada
Perekrutan anggota KPU di tengah tahapan Pilkada dinilai Perludem mengganggu jalannya proses pemilu.
Contohnya, seleksi calon anggota KPU Provinsi Lampung dan beberapa kabupaten/kota di Lampung dilakukan pada Oktober-November 2024, yang bertepatan dengan tahapan krusial Pilkada.
8. Penegakan Hukum Pilkada Tidak Optimal
Menurut Perludem, kerangka waktu penanganan pelanggaran dalam Pilkada masih terlalu sempit, sehingga tidak efektif dalam memberikan keadilan pemilu maupun efek jera bagi pelanggar.
9. Gangguan Cuaca karena Pemungutan Suara Jelang Akhir Tahun
Pemungutan suara yang dijadwalkan pada bulan November berpotensi terganggu oleh faktor cuaca. Gangguan distribusi logistik dan kendala saat hari pemilihan dapat terjadi di berbagai daerah, seperti Sumatera Utara dan Pekalongan.
10. Tingginya Suara Tidak Sah
Di sejumlah daerah, angka suara tidak sah cukup tinggi, yang mengindikasikan adanya “protest voting” dari pemilih.
Fenomena ini menunjukkan keterputusan hubungan antara aspirasi pemilih dengan pasangan calon yang bertarung dalam pilkada.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Merangkum Semua Peristiwa