Ramadan Bukan Sekadar Puasa: Kurikulum Langit untuk Umat Manusia

Ramadan Bukan Sekadar Puasa: Kurikulum Langit untuk Umat Manusia

Bulan suci Ramadan kembali menghampiri kita, namun tidak ada jaminan kita akan bertemu dengannya lagi di masa mendatang. Keagungan bulan ini hadir di depan mata, disambut oleh beragam tipe manusia dengan cara yang berbeda-beda.

Ada yang menyambutnya dengan penuh suka cita dan persiapan matang, sementara yang lain mungkin hanya menjalaninya dengan rutinitas biasa tanpa makna yang mendalam. Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyambut kedatangan bulan penuh berkah ini.

Pertama, ada orang yang menyambut Ramadan dengan sikap biasa-biasa saja. Bagi mereka, Ramadan hanyalah rutinitas tahunan yang tidak membawa perubahan berarti. Kehadiran bulan yang mulia ini tidak memberikan pengaruh apa pun, kecuali kewajiban untuk berpuasa menahan lapar dan dahaga. 

Bagi orang seperti ini, Ramadan berlalu tanpa meninggalkan makna atau bekas dalam hidupnya. Ia melewatkannya begitu saja, tanpa merasakan keistimewaan atau transformasi spiritual.

Kedua, ada orang yang menyambut Ramadan dengan sikap sinis. Mereka merasa terbebani dengan datangnya bulan suci ini. Ibadah terasa berat, dan puasa dianggap sebagai beban. 

Bagi mereka, Ramadan adalah masa yang menyebalkan karena harus menahan diri dari kebiasaan makan dan berbuat sesuka hati. Mereka bahkan menganggap kedatangan Ramadan sebagai musibah yang mengganggu kenyamanan hidup. Naudzubillah min dzalik, semoga kita dijauhkan dari sikap seperti ini.

Ketiga, ada orang yang menyambut Ramadan dengan penuh antusiasme dan kegembiraan. Mereka merasa istimewa dan bersemangat menyambut bulan penuh berkah ini. 

Namun, dalam kelompok ini, terdapat dua golongan. Pertama, golongan yang bersemangat tetapi hanya fokus pada aspek lahiriah, seperti berbuka puasa dengan makanan mewah atau mengikuti tradisi tanpa memahami makna spiritual yang mendalam. Kedua, golongan yang bersemangat dengan mempersiapkan diri secara lahir dan batin, meningkatkan ibadah, memperbaiki diri, dan merenungkan makna Ramadan sebagai momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Dua golongan ini menunjukkan bahwa antusiasme dalam menyambut Ramadan bisa memiliki makna yang berbeda, tergantung pada niat dan pemahaman masing-masing individu.

Kita termasuk dalam golongan yang mana? Semoga kita menjadi bagian dari mereka yang menyambut bulan Ramadan dengan penuh semangat, didasari oleh keimanan dan pemahaman yang mendalam. Semoga pula kita mampu mengisi Ramadan kali ini dengan memperbanyak amal kebaikan, baik dalam hubungan kita dengan Allah (hablumminallah) maupun dalam hubungan kita dengan sesama manusia (hablumminannas).

Ayat-ayat yang membahas tentang puasa Ramadan sebenarnya turun bukan di bulan Ramadan, melainkan di bulan Syakban, tepatnya pada tahun kedua hijriah. Kita menyebutnya sebagai “ayat-ayat paket puasa”, karena sering kali umat Islam hanya fokus pada ayat (183) surah al-Baqarah ketika membicarakan puasa Ramadan.

Padahal, kurikulum Ramadan itu mencakup satu paket lengkap, mulai dari ayat (183) hingga ayat (187) surah al-Baqarah.

Pembahasan mengenai kurikulum ini masih relevan hingga saat ini dan sejalan dengan petunjuk atau sunah Nabi Muhammad SAW, baik dari sisi historis maupun persiapan spiritual. Para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat tentang puasa diturunkan pada bulan Syakban, satu bulan sebelum Ramadan, agar Nabi memiliki waktu yang cukup untuk menjelaskan berbagai aspek penting terkait puasa. 

Baik itu mengenai keutamaan, tata cara pelaksanaan, maupun persiapan yang diperlukan agar umat Islam dapat menjalankan ibadah Ramadan dengan sempurna sesuai dengan kehendak Allah.

Dengan adanya pendidikan pra-Ramadan yang langsung diberikan oleh Nabi, pendidikan yang bersumber dari tuntunan kenabian umat Islam, baik yang hidup di masa itu maupun generasi setelahnya hingga kini, diharapkan dapat mempersiapkan diri secara lahir dan batin. 

Dengan hati yang lapang dan kesiapan penuh, mereka akan lebih mudah menerima serta menjalankan setiap perintah Allah di bulan Ramadan, sehingga dapat mencapai kualitas ibadah yang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

Nantinya, kita akan membahas lebih dalam apa yang Allah inginkan melalui Ramadan. Dengan adanya pendidikan pra-Ramadan ini, yang langsung diajarkan oleh Nabi SAW, diharapkan seluruh umat Islam, baik pada masa itu maupun yang terus berlanjut hingga sekarang, memiliki kelapangan hati dan kesiapan untuk menerima segala perintah yang diberikan selama Ramadan. 

Dengan persiapan yang matang ini, diharapkan kita dapat mencapai kualitas Ramadan yang diinginkan oleh Allah Swt.

Dalam bahasa Arab, seseorang yang memiliki kelapangan hati sehingga siap menerima dan menyambut apa pun dengan baik disebut dengan istilah marhaban, yang berasal dari kata rahiba yarhabu. 

Ketika orang Arab mengucapkan “marhaban ya Akhi” kepada seorang tamu, itu berarti mereka menyambutnya dengan penuh kehangatan, seolah ingin mengatakan, “Saya benar-benar menerima Anda dengan lapang dada.” 

Ungkapan ini juga sering diiringi dengan frasa “nazaltu ahlan wahalaltum sahlan”, yang kemudian disingkat menjadi “ahlan wa sahlan”. Ungkapan ini menggambarkan keramahan dan keterbukaan dalam menerima tamu, di mana tamu dipersilakan untuk merasa nyaman dan diperlakukan dengan baik, baik dalam hal tempat duduk, makanan, maupun hal lainnya.

Tarhib itu asalnya usaha untuk melapangkan hati seluas-luasnya. Sehingga siap menerima dan menyambut apa pun yang dihadapi kemudian. Jika tarhib ini dilekatkan dengan Ramadan maka memberikan kesan upaya untuk melapangkan keadaan hati dan jiwa. Sehingga, ketika Ramadan datang sebagai tamu istimewa itu apa pun yang diperintahkan siap untuk dilakukan. Itu gambarannya. 

Materi tarhib Nabi Muhammad SAW yang pernah beliau sampaikan kepada sahabatnya yang menjadi kurikulum untuk diwariskan, setidaknya mendekati kualitas para sahabat-sahabat ataupun tabiin di era itu yang bisa kita capai di masa-masa yang berbeda.

Tarhib, dalam esensinya, adalah seni melapangkan hati dan jiwa seluas-luasnya, bagaikan membersihkan ruang tamu sebelum kedatangan tamu agung. Jika tarhib dikaitkan dengan Ramadan, maka maknanya menjadi lebih mendalam, ia adalah persiapan batin agar ketika bulan suci tiba, kita tidak sekadar menjadi tuan rumah yang kikuk, tetapi benar-benar siap menyambutnya dengan penuh antusiasme dan kesiapan menjalankan segala perintah Allah.

Mari kita mengulik kurikulum tarhib ala Nabi SAW. Apa yang beliau ajarkan kepada para sahabat sehingga mereka bisa menyambut Ramadan dengan kesiapan yang luar biasa? Jika kita bisa mengadopsi warisan ini, setidaknya kita bisa mendekati walaupun mungkin tidak menyamai kualitas keimanan para sahabat dan tabi’in. Tentu, mereka punya level “high-class iman,” sedangkan kita masih di level “cicilan bertahap,” tetapi tak ada salahnya berusaha, bukan?

Kata tarhib secara bahasa berasal dari usaha untuk melapangkan hati seluas-luasnya, sehingga seseorang siap menerima dan menyambut segala sesuatu yang dihadapinya. Ketika istilah tarhib dikaitkan dengan bulan Ramadan, hal ini memberikan makna bahwa seseorang berupaya melapangkan hati dan jiwanya, agar saat Ramadan tiba sebagai tamu istimewa, ia siap menjalankan segala perintah dengan penuh keikhlasan.

Lalu, bagaimana bentuk tarhib yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya? Materi tarhib yang beliau sampaikan menjadi sebuah kurikulum yang diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga umat Islam dapat meneladani semangat para sahabat dan tabiin di masa itu. 

Dengan memahami dan mengamalkan warisan ini, diharapkan kita dapat mendekati kualitas spiritual mereka, meskipun hidup dalam zaman yang berbeda.

Penting diketahui bahwa goal dari Ramadan itu ada tiga. Seseorang disebut berhasil melewati pendidikan Ramadan, setidaknya ia bisa mendapatkan tiga goal yang diharapkan, yang langsung Allah tuangkan dalam Al-Qur’an.

Pertama, yang dinamakan dengan peningkatan ketakwaan personal. Ada di surah al-Baqarah ayat (183). Jadi Ramadan didesain oleh Allah sebagai waktu ibadah, dengan harapan supaya setiap Muslim terbentuk karakter dengan tingkat ketakwaan personal yang tinggi, seperti termaktub dalam surah al-Baqarah ayat (183). 

ﯾَﺄَُّيهﺎٱَِّذل-َﻦَءاَﻣُﻨﻮ۟اُﻛِﺘَﺐَﻋَﻠْﻴُُكمٱﻟِّﺼَﻴﺎُمََامكُﻛِﺘَﺐَﻋَلىٱَِّذل-َﻦِﻣﻦَﻗْﺒِﻠُْكمَﻟَﻌَّﻠُْكمَﺗَّﺘُﻘﻮَن

Ketika menunjuk tattaqun itu menggunakan kata kerja kedua. Allah mengkhitab kita personal. “Aku siapkan puasa ini untuk kalian menjadi personal yang bertakwa.”

Ramadan juga disiapkan oleh Allah, untuk membentuk ketakwaan sosial, jadi bukan sekedar secara pribadi menjadi lebih baik, tetapi ternyata kebaikan personal ini baru punya nilai optimal dalam pandangan Al-Qur’an jika auranya sudah mampu ditebarkan ke lingkungannya. 

Karena itu puasa tidak biasa desainnya. Puasa, secara bersamaan, akan melatih untuk berinteraksi secara sosial dan mengoptimalkan semua karakter sosial kita. Sehingga goal-nya akan terlihat, bukan hanya memiliki hubungan baik dengan Allah, tetapi juga dengan manusianya. Jadi kalau dengan Allah-nya baik dengan manusianya tidak baik, belum sempurna Ramadannya.

Ketakwaan personal, ketakwaan sosial ada di ayat (187) dan karakter syukurnya berada di ayat (185).

Bulan Ramadan bukan bulan yang biasa. Puasanya pun bukan puasa biasa kalau kita kerjakan dengan benar.

Pertama, dari semua sudut pandang baik terkait pahalanya, keutamaannya itu akan mengalahkan puasa-puasa yang pernah dikerjakan sebelumnya tidak ada tandingannya. Jika diurutkan dari segi turunnya ayat, salah satu keutamaan puasa Ramadan adalah untuk memuliakan umatnya Nabi Muhammad SAW lewat rasulnya. 

Seperti yang pernah disampaikan Allah kepada Muhammad, bahwa puasa yang dikerjakan umatnya lebih unggul dibandingkan dengan umat sebelumnya yang pernah menjalankan puasa.

Jadi berbahagialah umat Nabi Muhammad SAW yang mendekat kepada Ramadan, karena di dalamnya ada keutamaan-keutamaan yang mengalahkan semua jenis puasa yang pernah berlaku di masa lampau.

Diceritakan pada zaman Nabi Zulkarnain alaihissalam bersama dengan pasukannya, ketika berjalan di malam yang gelap gulita. Lalu Nabi Zulkarnain as memberi perintah kepada seluruh pasukannya. “Apa pun yang tersangkut atau yang tersandung di kaki kalian, kalian ambil dan kumpulkan.”

Ketika mendengar perintah tersebut, ada beberapa reaksi dari pasukannya. Kelompok pertama berkata, “Perjalanan kita sudah sangat jauh dan melelahkan. Mengambil sesuatu yang tersandung di kaki hanya akan menjadi beban yang sia-sia.” Dengan pemikiran itu, mereka pun tidak mengumpulkan apa pun sepanjang perjalanan.

Sementara itu, kelompok kedua memilih untuk menaati perintah Nabi Zulkarnain alaihissalam dengan sikap yang lebih moderat. Mereka berpikir, “Setidaknya ambillah sedikit dari apa yang mengganjal di kaki kita, siapa tahu ada manfaatnya.”

Adapun kelompok ketiga memiliki keyakinan penuh pada perintah pemimpin mereka. Mereka berkata, “Jika ini adalah perintahnya, pasti ada hikmah di baliknya, meskipun kita belum memahaminya sekarang.” Dengan keyakinan itu, mereka mengumpulkan setiap benda yang tersangkut atau tersandung di kaki mereka.

Ketika mereka tiba di tujuan dan cahaya siang mulai menyinari, mereka dikejutkan oleh apa yang mereka temukan. Ternyata, benda-benda yang mereka kumpulkan sepanjang perjalanan adalah emas yang berharga! Saat itu, muncul penyesalan di antara mereka, terutama bagi mereka yang tidak mengumpulkan apa pun atau hanya mengambil sedikit. Mereka akhirnya menyadari bahwa apa yang tampak sepele dan merepotkan di perjalanan, sebenarnya adalah harta yang luar biasa nilainya.

Kelompok pertama menyesali keputusan mereka. “Seandainya saja kita mengambil setidaknya satu saja dari benda yang tersandung di kaki kita, pasti kita tidak akan menyesal sedalam ini.”

Kelompok kedua yang hanya mengambil sedikit pun merasakan hal yang sama. “Andai saja kita lebih banyak mengumpulkan dan memenuhi kantong kita, tentu hasilnya akan jauh lebih besar, dan kita tidak akan merasa sekecewa ini.”

Sementara itu, kelompok ketiga yang telah taat dan mengambil semampunya juga merasa ada yang kurang. “Jika saja kita mengganti isi karung kita dengan benda-benda berharga yang kita temukan tadi malam, tentu hasilnya akan jauh lebih banyak dari yang kita dapatkan sekarang.”

Begitulah akhirnya setiap kelompok tenggelam dalam penyesalan. Gambaran ini menyerupai keadaan di akhirat kelak ada yang menyesal, dan ada yang paling menyesal.

Orang-orang kafir akan berkata, “Seandainya saja dulu aku beriman, seandainya aku menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, maka meskipun aku harus melewati siksa, pada akhirnya aku akan menuju surga.”

Sementara itu, orang mukmin yang hanya beribadah sekadarnya pun akan merenung, “Andai saja aku lebih banyak beramal saleh, lebih banyak bersedekah, lebih khusyuk dalam salat, lebih ikhlas dalam puasa, dan lebih dermawan dalam zakat, tentu aku akan mendapatkan pahala yang lebih besar dan tempat yang lebih tinggi di surga.”

Semoga di akhir Ramadan ini, kita tidak termasuk golongan yang paling menyesal karena kurang memanfaatkan bulan suci ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menyesal karena melewatkan kesempatan untuk beribadah lebih banyak, berbuat baik kepada sesama, dan bersedekah dengan tulus. Mari jadikan Ramadan ini sebagai momen terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih pahala yang berlimpah.

Ketika cinta telah berbicara, tak ada lagi ruang bagi kesedihan atau keluh kesah. Rasa lapar, haus, dan keletihan selama menjalankan ibadah Ramadan tak lagi menjadi beban, melainkan bagian dari perjalanan yang indah. Dengan cinta, segala sesuatu yang awalnya terasa pahit akan berubah menjadi manis. 

Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa merasakan kebahagiaan dan kecintaan terhadap Ramadan, dengan sepenuh hati memanfaatkan setiap nilai ibadah yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, rahmat dan ampunan Allah akan selalu menyertai kita. Amin, amin, ya Rabbal ‘alamin.

*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)