Bisnis.com, JAKARTA — Laporan Bank Indonesia menunjukkan bahwa indeks ketersediaan lapangan kerja (IKLK) masih berada di zona pesimis, bahkan terus memburuk.
Sejak Mei 2025, IKLK memang terus berada di zona pesimis atau di bawah nilai acuan 100. IKLK berada di level 92 pada September 2025 atau turun dari bulan sebelumnya di level 93,2.
Padahal, pemerintah sudah mengumumkan sejumlah insentif ekonomi untuk mendukung industri hingga penciptaan lapangan kerja. Misalnya paket stimulus akhir 2025 seperti Program Magang Lulusan Perguruan Tinggi (maksimal fresh graduate satu tahun) untuk minimal 20.000 penerima manfaat.
Kemudian perluasan Pajak Penghasilan (PPh) 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor terkait pariwisata sebanyak 552.000 pekerja.
Tak hanya itu, bantuan Iuran JKK dan JKM bagi pekerja bukan penerima upah (BPU) yang meliputi mitra pengemudi transportasi online/ojek daring, ojek pangkalan, sopir, kurir, logistik untuk 731.361 orang.
Lalu program Padat Karya Tunai (cash for work) Kemenhub dan Kemen PU untuk 609.465 orang, hingga percepatan deregulasi lewat PP 28/2025 (Integrasi sistem kementerian/lembaga dan RDTR digital ke OSS) pada 50 daerah pada 2025 dan lanjut menjadi 300 daerah pada 2026.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengaku tidak heran berbagai program tersebut belum mengangkat ekspektasi ketersediaan kerja secara signifikan.
Bagaimanapun, sambungnya, sebagian besar masih bersifat mereduksi biaya dan menyerap tenaga kerja sementara, bukan menambah pesanan produksi yang memicu perekrutan permanen.
Dia mencontohkan, program Padat Karya Tunai memang membantu masyarakat berpendapatan rendah, tetapi bersifat harian dan jangka pendek sehingga tidak cukup kuat untuk mengubah persepsi peluang kerja di masyarakat.
Begitu pula insentif PPh 21 DTP dan diskon iuran JKK/JKM yang menurunkan beban perusahaan dan pekerja, namun dinilai tidak otomatis mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja.
“Tanpa lonjakan order yang jelas—entah dari ekspor, pariwisata, pengadaan pemerintah yang membeli output UKM, atau proyek bernilai tambah—perusahaan cenderung menunda kontrak baru. Hasilnya, publik masih membaca sinyal pasar kerja sebagai ‘ketat,’ dan IKLK bertahan di bawah 100 walau stimulus diumumkan,” jelas Syafruddin kepada Bisnis, Rabu (8/10/2025).
Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (Core Indonesia) Yusuf Rendy Manilet menilai sejumlah stimulus ekonomi itu memang akan berpengaruh secara signifikan ke persepsi masyarakat.
Dia menjelaskan, tantangan utama kebijakan stimulus kali ini terletak pada aspek cakupan. Skala program magang dan padat karya dinilai masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran nasional.
Akibatnya, stimulus hanya memberikan efek jangka pendek pada sebagian masyarakat penerima, tanpa mampu mengubah secara signifikan ekspektasi pasar kerja secara luas.
“Program-program itu bisa memberi dorongan sementara terhadap konsumsi, terutama bagi penerima langsung, tetapi dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan kemungkinan tetap terbatas,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Rabu (8/10/2025).
Dengan tekanan pendapatan yang berlanjut dan cakupan stimulus yang belum memadai, dia meyakini pemulihan optimisme konsumen, khususnya di kelas menengah, masih memerlukan waktu dan dukungan kebijakan yang lebih terarah.
